Surau.co. Bagi seorang pencari ilmu yang ingin menapaki jalan hidayah, karya Imam Abū Ḥāmid al-Ghazālī Bidāyat al-Hidāyah ibarat pintu kecil menuju istana besar bernama Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Kitab ini bukan hanya pengantar dari segi ilmu, tetapi juga dari segi ruh. Ia mengajarkan bagaimana seorang hamba memulai perjalanan spiritual dengan langkah yang benar, agar tidak tersesat oleh kesombongan ilmu atau kesibukan amal tanpa makna.
Al-Ghazālī menulis dalam mukadimahnya dengan penuh kasih dan peringatan:
اِعْلَمْ أَنَّ الْعِلْمَ بِلَا عَمَلٍ جُنُونٌ، وَالْعَمَلَ بِلَا عِلْمٍ لَا يَكُونُ.
“Ketahuilah, ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu tidak akan terwujud.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 2)
Kalimat ini menjadi pondasi seluruh ajarannya. Bidāyat al-Hidāyah membimbing manusia agar mampu menyeimbangkan pengetahuan dan pengamalan, sementara Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn memperluas cakrawala itu menjadi sistem spiritual yang utuh.
Fenomena Sehari-hari: Ilmu Banyak, Jiwa Hampa
Dalam kehidupan modern, kita menyaksikan banyak orang cerdas namun gelisah, berilmu tinggi namun mudah sombong. Pengetahuan bertambah, tetapi kebijaksanaan berkurang. Al-Ghazālī sudah menyinggung fenomena ini jauh sebelum zaman digital datang. Ia memperingatkan bahaya ilmu yang tidak menghidupkan hati:
كَمْ مِنْ عَالِمٍ أَضَلَّهُ عِلْمُهُ، وَكَمْ مِنْ عَابِدٍ أَهْلَكَهُ تَعَبُّدُهُ.
“Betapa banyak orang alim yang tersesat karena ilmunya, dan betapa banyak ahli ibadah yang binasa karena ibadahnya.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 5)
Kedua penyakit ini masih sangat nyata. Ada yang menjadikan ilmu sebagai alat prestise sosial, ada pula yang menjadikan ibadah sebagai kebanggaan pribadi. Padahal, ilmu dan ibadah seharusnya menjadi jembatan menuju Allah, bukan dinding pemisah antara diri dan-Nya.
Al-Qur’an menegaskan pentingnya ilmu yang membawa kesadaran:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ.
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.” (QS. Fāṭir [35]: 28)
Ilmu sejati, menurut al-Ghazālī, bukan yang membuat seseorang merasa tahu, tetapi yang membuatnya merasa kecil di hadapan kebesaran Allah.
Bidāyat al-Hidāyah: Disiplin Ruhani Sebelum Makrifat
Imam al-Ghazālī menulis Bidāyat al-Hidāyah sebagai kitab awal yang mengajarkan disiplin amal dan adab — tahap yang harus dilalui sebelum seseorang layak memasuki kedalaman Ihyā’. Kitab ini mengatur seluruh aktivitas harian, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, dengan semangat kesadaran penuh.
Beliau menulis:
اِبْدَأْ نَهَارَكَ بِالطَّهَارَةِ وَالذِّكْرِ، وَاخْتِمْهُ بِالِاسْتِغْفَارِ وَالشُّكْرِ.
“Mulailah harimu dengan kesucian dan dzikir, dan akhiri dengan istighfar serta rasa syukur.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 10)
Kalimat sederhana ini mengandung pelajaran mendalam: manusia tidak hanya hidup di antara aktivitas duniawi, tetapi juga di antara kesucian dan kesadaran ilahi.
Jika Bidāyat al-Hidāyah mengajarkan bagaimana menata perilaku, maka Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn mengajarkan bagaimana memahami makna di balik perilaku itu. Yang satu menata lahir, yang lain menghidupkan batin.
Fenomena Kehidupan: Ibadah yang Kering dari Rasa
Di tengah rutinitas keagamaan yang sibuk, banyak ibadah kehilangan ruhnya. Shalat dilakukan dengan cepat, puasa hanya menjadi rutinitas, dzikir pun kadang tanpa makna. Imam al-Ghazālī menyebut fenomena ini sebagai “ibadah jasad tanpa hati”.
Beliau menulis:
إِذَا خَلَتِ الْعِبَادَةُ مِنَ الْحُضُورِ كَانَتْ صُورَةً بِلَا مَعْنًى، وَحَرَكَةً بِلَا نُورٍ.
“Jika ibadah kosong dari kehadiran hati, maka ia hanyalah bentuk tanpa makna, gerak tanpa cahaya.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 14)
Kutipan ini mengingatkan bahwa kualitas ibadah tidak ditentukan oleh panjangnya waktu, melainkan oleh kedalaman makna. Dalam Ihyā’, al-Ghazālī kemudian menjelaskan lebih jauh bagaimana menghadirkan “hati yang sadar” dalam setiap amal.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ.
“Sesungguhnya dalam tubuh ada segumpal daging; jika ia baik maka baiklah seluruh tubuh, dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, itu adalah hati.” (HR. Bukhārī dan Muslim)
Dengan demikian, Bidāyat al-Hidāyah adalah latihan untuk menjaga hati tetap hidup — agar siap menerima sinar makrifat yang dijelaskan secara luas dalam Ihyā’.
Dari Amal Menuju Makrifat
Al-Ghazālī memandang perjalanan spiritual sebagai tangga yang berlapis. Seseorang tidak akan mencapai puncak makrifat tanpa melewati dasar amal dan adab. Ia menulis:
مَنْ لَمْ يُؤَدِّ فُرُوضَ الشَّرِيعَةِ لَا يَصْلُحُ لَهُ طَرِيقُ الطَّرِيقَةِ.
“Barang siapa belum menunaikan kewajiban syariat, maka jalan tasawuf tidak akan cocok baginya.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 20)
Dalam kalimat ini, beliau menegaskan bahwa jalan spiritual sejati tidak bisa melompat. Seseorang harus menguasai adab syariat terlebih dahulu agar tasawufnya tidak berubah menjadi khayalan.
Ihyā’ kemudian menjadi kelanjutan dari itu — bukan sekadar mengajarkan amal, tetapi menyelami makna di balik amal. Jika Bidāyat adalah gerbang, maka Ihyā’ adalah taman luas di balik gerbang itu.
Refleksi: Menghidupkan Ihyā’ di Zaman Kini
Kita bisa memahami Bidāyat al-Hidāyah sebagai “kitab orientasi spiritual” bagi siapa pun yang ingin menapaki jalan Ihyā’. Ia mengingatkan bahwa sebelum menulis di lembar hati, kita harus membersihkan kertasnya terlebih dahulu.
Imam al-Ghazālī menutup dengan nasihat lembut:
مَنْ أَصْلَحَ بَاطِنَهُ نَفَعَهُ ظَاهِرُهُ، وَمَنْ أَصْلَحَ ظَاهِرَهُ نَفَعَهُ بَاطِنُهُ.
“Barang siapa memperbaiki batinnya, lahirnya akan bermanfaat; dan barang siapa memperbaiki lahirnya, batinnya akan menjadi bercahaya.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 25)
Kalimat ini menunjukkan bahwa perjalanan spiritual bukan hanya urusan ulama, tapi panggilan bagi setiap manusia. Dalam dunia yang kehilangan keseimbangan antara logika dan rasa, antara agama dan empati, menghidupkan Ihyā’ berarti kembali menanamkan kesadaran: bahwa setiap amal kecil adalah langkah menuju Allah.
Bidāyat al-Hidāyah adalah kitab kecil, tapi cahayanya besar — karena di baliknya berdiri Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, karya agung yang menyalakan kembali hati manusia agar hidup dengan ilmu, amal, dan adab.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
