Surau.co. Dalam Bidāyat al-Hidāyah, Imam Abū Ḥāmid al-Ghazālī menulis bukan hanya untuk para ulama atau ahli zuhud, tetapi untuk siapa saja yang ingin menapaki jalan Allah dengan kesadaran penuh. Kitab ini menjadi panduan yang memadukan antara syariat dan tasawuf — antara amal lahir dan adab batin.
Al-Ghazālī memulai dengan kalimat yang menggugah:
اِعْلَمْ أَنَّ أَوَّلَ الطَّرِيقِ إِلَى اللَّهِ هُوَ الْعِلْمُ وَالْعَمَلُ وَالْأَدَبُ.
“Ketahuilah, awal jalan menuju Allah adalah ilmu, amal, dan adab.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 1)
Bagi al-Ghazālī, ilmu tanpa amal hanyalah bayangan, amal tanpa adab hanyalah kebiasaan, dan adab tanpa kesadaran hanya akan menjadi formalitas. Ia mengajarkan bahwa jalan menuju Allah dimulai dari pengamalan syariat yang benar, namun harus dihidupkan oleh roh tasawuf: ketulusan, pengendalian diri, dan cinta kepada Tuhan.
Fenomena Sehari-hari: Antara Ritual dan Kehidupan Nyata
Dalam kehidupan modern, banyak orang beragama secara rutin — shalat lima waktu, puasa, zakat — tetapi masih mudah marah, iri, dan angkuh. Ibadah sering berhenti pada gerakan, tidak sampai menyentuh hati. Inilah krisis yang sudah diprediksi oleh Imam al-Ghazālī berabad-abad lalu.
Beliau menulis dengan nada introspektif:
كَمْ مِنْ صُوَرَةِ صَلَاةٍ لَا رُوحَ فِيهَا، وَكَمْ مِنْ عِبَادَةٍ لَا نُورَ لَهَا.
“Betapa banyak bentuk shalat yang tanpa ruh, dan betapa banyak ibadah yang tanpa cahaya.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 5)
Kritik ini tidak ditujukan untuk mengecilkan syariat, melainkan mengembalikannya ke hakikat. Syariat tanpa tasawuf seperti tubuh tanpa jiwa; sementara tasawuf tanpa syariat hanyalah ilusi spiritual.
Al-Qur’an menegaskan keseimbangan itu dengan indah:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ.
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan (kematian).” (QS. Al-Ḥijr [15]: 99)
Ibadah sejati bukan sekadar kewajiban, tapi perjalanan menuju keyakinan yang hidup di dalam hati.
Amal yang Disertai Kesadaran
Al-Ghazālī menulis dengan tegas bahwa amal harus diiringi niat yang jernih dan kesadaran penuh. Ia berkata:
لَا تَنْظُرْ إِلَى كَثْرَةِ الْعَمَلِ، وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى نِيَّتِكَ فِيهِ.
“Jangan lihat banyaknya amalmu, tetapi lihatlah niatmu di dalamnya.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 8)
Kalimat ini menembus batas waktu. Di era produktivitas yang serba diukur oleh kuantitas, al-Ghazālī mengingatkan bahwa kualitas amal terletak pada keikhlasan.
Bagi beliau, amal bukan hanya tindakan fisik, tetapi cerminan keadaan hati. Ia menulis bahwa amal yang dilakukan tanpa kesadaran akan melahirkan kesombongan rohani — merasa suci, padahal jauh dari Tuhan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى.
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhārī dan Muslim)
Al-Ghazālī menjadikan hadis ini sebagai poros spiritual: amal yang benar adalah amal yang dilakukan dengan niat mendekat kepada Allah, bukan untuk mendapatkan pujian manusia.
Adab: Jiwa dari Amal
Selain amal, al-Ghazālī memberikan perhatian besar pada adab — baik terhadap Allah, terhadap sesama, maupun terhadap diri sendiri. Ia menulis:
الْأَدَبُ نِصْفُ الدِّينِ، وَالْعَدَمُ مِنْهُ سَبَبُ الْفِتْنَةِ وَالْغَفْلَةِ.
“Adab adalah setengah dari agama, dan kehilangan adab adalah sebab timbulnya fitnah dan kelalaian.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 12)
Dalam pandangan al-Ghazālī, adab adalah bentuk ibadah yang paling halus. Ia tak hanya terlihat dari cara seseorang berinteraksi dengan manusia, tetapi juga dari cara ia menundukkan hati di hadapan Allah.
Contohnya, adab dalam shalat tidak sekadar menghadap kiblat, tetapi menghadirkan hati. Adab dalam berbicara bukan hanya berkata jujur, tetapi menimbang makna dan dampaknya.
Al-Qur’an mengajarkan adab yang mendalam dalam setiap amal:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ.
“Wahai orang-orang beriman, jangan batalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan orang lain).” (QS. Al-Baqarah [2]: 264)
Ayat ini mengajarkan bahwa amal yang tampak baik bisa kehilangan nilainya jika dilakukan tanpa adab.
Menyatukan Lahir dan Batin
Imam al-Ghazālī menegaskan bahwa keseimbangan antara syariat dan tasawuf adalah inti dari jalan hidayah. Ia berkata:
مَنْ جَمَعَ بَيْنَ الْعِلْمِ وَالْعَمَلِ وَالْإِخْلَاصِ، فَقَدْ وَصَلَ إِلَى سَعَادَةِ الدَّارَيْنِ.
“Barang siapa memadukan ilmu, amal, dan keikhlasan, maka ia telah mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 15)
Al-Ghazālī menolak pandangan ekstrem yang memisahkan syariat dan tasawuf. Ia menganggap keduanya saling mengisi: syariat menuntun tindakan lahir, tasawuf menyucikan batin. Tanpa keduanya, jalan menuju Allah akan pincang.
Dalam dunia hari ini, pandangan al-Ghazālī terasa relevan. Banyak yang religius secara lahir tapi hampa secara batin, dan ada pula yang spiritual tapi meremehkan hukum syariat. Islam, sebagaimana diajarkan al-Ghazālī, adalah harmoni antara keduanya.
Refleksi: Jalan Tengah untuk Hati yang Tenang
Bidāyat al-Hidāyah bukan hanya buku tuntunan ibadah, tetapi juga peta batin. Ia menuntun agar manusia tidak berhenti pada ritual, tetapi berjalan menuju penghayatan.
Dalam kalimat penutupnya, al-Ghazālī menulis dengan kelembutan seorang pembimbing:
اِبْدَأْ بِإِصْلَاحِ ظَاهِرِكَ بِالشَّرِيعَةِ، ثُمَّ أَنْقِذْ بَاطِنَكَ بِالطَّرِيقَةِ، حَتَّى تَصِلَ إِلَى الْحَقِيقَةِ.
“Mulailah dengan memperbaiki lahirmu melalui syariat, kemudian sucikan batinmu melalui jalan spiritual, hingga engkau sampai pada hakikat.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 17)
Inilah jalan yang ditawarkan oleh al-Ghazālī — jalan amal dan adab, syariat dan tasawuf, yang berpadu dalam harmoni. Dalam keseimbangan inilah, manusia menemukan ketenangan sejati dan mengenal Tuhan bukan hanya dengan akal, tetapi dengan hati.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
