Surau.co. Adab berteman dan bergaul, menurut Imam Abū Ḥāmid al-Ghazālī dalam Bidāyat al-Hidāyah, bukan sekadar urusan sosial, tetapi bagian dari perjalanan spiritual menuju Allah. Beliau melihat hubungan antarmanusia sebagai cermin bagi kebersihan hati. Dengan siapa seseorang berteman, di situlah tampak kualitas dirinya.
Imam al-Ghazālī menulis dengan lembut namun tajam:
اِعْلَمْ أَنَّ صَاحِبَكَ يَجُرُّكَ إِلَى مَا هُوَ فِيهِ، فَانْظُرْ مَنْ تُخَالِلُ.
“Ketahuilah, sahabatmu akan menarikmu kepada keadaan dirinya, maka perhatikanlah dengan siapa engkau bersahabat.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 140)
Persahabatan, dalam pandangan beliau, bukan hanya hubungan emosional, tapi juga moral. Seseorang yang bergaul dengan orang saleh akan belajar kebajikan secara alami, sementara yang bersahabat dengan orang lalai akan mudah tertular kelalaian itu.
Fenomena Sehari-hari: Ketika Dunia Digital Mengubah Arti Pertemanan
Di era media sosial, batas antara teman sejati dan sekadar “pengikut” menjadi kabur. Banyak hubungan dibangun atas dasar manfaat, citra, atau kesamaan minat dangkal. Namun, Imam al-Ghazālī menekankan pentingnya persahabatan yang berlandaskan ukhuwah lillāh — persaudaraan karena Allah, bukan karena dunia.
Beliau menulis:
مَنْ أَصْحَبَ أَخًا لِدُنْيَاهُ خَسِرَ دِينَهُ، وَمَنْ أَصْحَبَهُ لِدِينِهِ رَبِحَ دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ.
“Barang siapa bersahabat demi urusan dunia, ia akan rugi dalam agamanya. Tetapi barang siapa bersahabat demi agamanya, ia akan beruntung di dunia dan akhirat.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 142)
Kata-kata ini terasa relevan saat banyak hubungan sosial bergeser menjadi transaksional. Di tengah dunia yang sibuk mengejar validasi, persahabatan yang tulus karena Allah menjadi oasis kejujuran.
Al-Qur’an pun menegaskan makna hubungan sejati ini:
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ.
“Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 67)
Ayat ini mengingatkan bahwa hanya persahabatan yang dibangun atas dasar takwa yang akan bertahan hingga akhirat.
Menjadi Teman yang Menguatkan, Bukan Melemahkan
Imam al-Ghazālī tidak hanya mengajarkan bagaimana memilih teman, tetapi juga bagaimana menjadi teman yang baik. Ia menulis:
كُنْ فِي صُحْبَتِكَ كَالْمَرْآةِ لِأَخِيكَ، تُرِيْهِ حَسَنَهُ فَيَسْتَبْشِرُ، وَقَبِيْحَهُ فَيَسْتَتِرُ.
“Jadilah dalam persahabatanmu seperti cermin bagi saudaramu; perlihatkan kebaikannya agar ia gembira, dan tunjukkan kekurangannya agar ia memperbaikinya.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 143)
Menjadi teman sejati berarti berani menasihati dengan kasih. Al-Ghazālī menolak bentuk pertemanan yang hanya diisi pujian palsu. Menurut beliau, cinta yang tulus tidak selalu manis — kadang justru hadir dalam bentuk teguran.
Nabi ﷺ pun bersabda:
الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ.
“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya.” (HR. Abū Dāwūd)
Dalam cermin itu, seseorang bisa melihat bayangan dirinya, termasuk noda yang perlu dibersihkan. Teman sejati tidak mempermalukan, tetapi mengingatkan dengan cara yang lembut.
Adab dalam Bergaul: Menjaga Lisan, Menjaga Hati
Menurut al-Ghazālī, pergaulan tanpa adab akan membawa kehancuran spiritual. Ia menekankan pentingnya menjaga lisan agar tidak menyakiti sahabat.
إِيَّاكَ وَالْمِزَاحَ الْفَاحِشَ، فَإِنَّهُ يُذْهِبُ الْمَوَدَّةَ وَيُورِثُ الْعَدَاوَةَ.
“Hindarilah candaan yang kotor, karena itu menghapus kasih sayang dan menumbuhkan permusuhan.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 144)
Bersenda gurau bukanlah larangan, tapi harus diiringi kebijaksanaan. Setiap kata sebaiknya menjadi benih kasih, bukan duri dalam hubungan.
Selain menjaga lisan, al-Ghazālī menasihati agar seseorang tidak mengungkit-ungkit kebaikan yang telah diberikan, karena itu justru merusak nilai amal. Ia berkata:
لَا تُفْسِدْ صُحْبَتَكَ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى، فَإِنَّ ذَلِكَ يُحَوِّلُ الْمَوَدَّةَ بُغْضًا.
“Jangan rusak persahabatanmu dengan mengungkit pemberian dan menyakiti hati, karena itu mengubah kasih menjadi benci.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 145)
Etika ini terasa sederhana, namun sering dilupakan. Dalam dunia yang terburu-buru, orang mudah melupakan kehalusan hati yang menjadi pondasi akhlak.
Fenomena Zaman: Teman Virtual dan Hati yang Sepi
Banyak orang memiliki ratusan teman di dunia digital, tapi merasa kesepian di dunia nyata. Hubungan yang semu tidak mampu mengisi kekosongan batin. Imam al-Ghazālī, dengan kebijaksanaan klasiknya, memberi kriteria sahabat sejati:
صَاحِبٌ يُذَكِّرُكَ بِاللَّهِ رُؤْيَتُهُ، وَيَزِيدُ فِي عِلْمِكَ كَلَامُهُ، وَيُذَكِّرُكَ بِالْآخِرَةِ عَمَلُهُ.
“Sahabat sejati adalah dia yang, saat kau melihatnya, membuatmu ingat kepada Allah; perkataannya menambah ilmumu, dan perbuatannya mengingatkanmu pada akhirat.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 147)
Kalimat ini menggambarkan model ideal dari hubungan spiritual: persahabatan yang menumbuhkan, bukan yang menguras energi jiwa.
Refleksi: Persahabatan Sebagai Jalan Menuju Allah
Akhirnya, adab berteman dan bergaul bukan sekadar aturan sosial, tapi bagian dari perjalanan menuju kesempurnaan akhlak. Hati yang bersih akan melahirkan hubungan yang jernih.
Imam al-Ghazālī menutup nasihatnya dengan kalimat mendalam:
مَنْ لَمْ يَكُنْ صَدِيقُهُ عَوْنًا لَهُ عَلَى دِينِهِ، فَلَيْسَ لَهُ صَدِيقٌ فِي الْحَقِيقَةِ.
“Barang siapa sahabatnya tidak menolongnya dalam urusan agama, maka sejatinya ia tidak memiliki sahabat.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 149)
Kebersamaan yang sejati adalah yang menuntun kepada kebaikan. Di tengah dunia yang sering menilai hubungan dari manfaat duniawi, Imam al-Ghazālī mengingatkan bahwa sahabat sejati adalah mereka yang membuat kita lebih dekat kepada Allah.
Persahabatan bukan hanya tentang tawa, tetapi tentang saling menopang dalam doa, dalam perjuangan, dan dalam diam yang penuh makna.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
