Surau.co. Menundukkan syahwat menjadi salah satu tema penting dalam Bidāyat al-Hidāyah karya Imam Abū Ḥāmid al-Ghazālī. Beliau menegaskan bahwa syahwat — baik berupa hasrat seksual, keinginan duniawi, maupun dorongan emosional — bukanlah sesuatu yang harus dihapus, melainkan dikendalikan. Dalam pandangan al-Ghazālī, manusia yang mampu menundukkan syahwatnya berarti telah menundukkan setengah dari dirinya.
Di awal pembahasan, beliau menulis:
اِعْلَمْ أَنَّ الشَّهْوَةَ نِعْمَةٌ إِذَا قُهِرَتْ، وَنِقْمَةٌ إِذَا تُرِكَتْ.
“Ketahuilah, syahwat adalah nikmat bila dikendalikan, namun menjadi bencana bila dibiarkan liar.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 101)
Pernyataan ini menunjukkan keseimbangan pemikiran al-Ghazālī. Beliau tidak mengajak umat Islam untuk menolak syahwat secara ekstrem, tetapi mengelolanya agar tetap menjadi bagian dari ibadah.
Syahwat adalah energi hidup. Tanpa dorongan hasrat, manusia tidak akan berusaha, mencinta, atau melanjutkan keturunan. Tetapi jika energi itu tidak diarahkan dengan benar, ia berubah menjadi sumber kehancuran moral.
Fenomena Sehari-hari: Dunia yang Menjual Hasrat
Kita hidup di era di mana syahwat menjadi komoditas. Iklan, film, media sosial — semuanya menggunakan godaan visual untuk menarik perhatian. Tubuh manusia dijadikan alat pemasaran, sementara nilai kesucian dan kehormatan sering dipandang kuno.
Fenomena ini sejatinya telah diperingatkan al-Ghazālī berabad-abad lalu. Beliau menulis:
إِنَّ الشَّهْوَةَ تُعْمِي الْقَلْبَ وَتُظْلِمُ الْعَقْلَ، فَيَصِيرُ الإِنْسَانُ عَبْدًا لِجَسَدِهِ.
“Syahwat dapat membutakan hati dan menggelapkan akal, hingga manusia menjadi hamba bagi tubuhnya sendiri.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 103)
Kata-kata ini seperti cermin zaman sekarang, di mana banyak orang rela mengorbankan martabat demi sensasi sesaat.
Al-Qur’an pun memberi peringatan tegas:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ…
“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa yang diingini: wanita, anak-anak, harta yang banyak dari emas dan perak…” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 14)
Ayat ini tidak melarang cinta terhadap hal-hal duniawi, melainkan menuntun agar cinta itu tidak menguasai manusia.
Mengendalikan Diri Sebelum Terlambat
Imam al-Ghazālī menjelaskan bahwa menundukkan syahwat bukan sekadar menolak godaan luar, tetapi melatih kesadaran batin. Beliau menulis:
مَنْ لَمْ يَضْبِطْ شَهْوَتَهُ أَهْلَكَتْهُ، كَمَا يُهْلِكُ الْمَاءُ الْفَائِضُ الزَّرْعَ.
“Barang siapa tidak mengendalikan syahwatnya, ia akan binasa, sebagaimana air yang berlebihan merusak tanaman.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 105)
Keseimbangan adalah kunci. Syahwat yang dikekang secara berlebihan bisa menimbulkan tekanan batin, tetapi yang dibiarkan bebas justru merusak kehormatan.
Karena itu, al-Ghazālī menganjurkan latihan spiritual berupa mujāhadah (perjuangan melawan diri sendiri). Ia menyarankan agar seseorang memperbanyak puasa, menjaga pandangan, dan menghindari lingkungan yang memancing hawa nafsu.
Nabi ﷺ bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ.
“Wahai para pemuda, siapa di antara kalian mampu menikah, hendaklah ia menikah; karena itu lebih menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan.” (HR. Bukhārī & Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa menyalurkan syahwat secara halal adalah bentuk ibadah, bukan sekadar kebutuhan biologis.
Syahwat dan Kebersihan Hati
Al-Ghazālī menyamakan hati dengan cermin yang mudah ternoda oleh syahwat. Bila seseorang sering mengikuti keinginannya tanpa kendali, maka hatinya akan gelap dan sulit menerima cahaya petunjuk.
Beliau menulis dengan indah:
إِذَا غَلَبَتِ الشَّهْوَةُ عَلَى الْقَلْبِ، اِنْطَفَأَ نُورُهُ وَصَارَ مُظْلِمًا كَاللَّيْلِ.
“Apabila syahwat menguasai hati, maka padamlah cahayanya, dan hati itu menjadi gelap seperti malam.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 107)
Menjaga kehormatan berarti menjaga cahaya hati. Al-Ghazālī memandang bahwa setiap kali manusia menahan diri dari godaan, Allah menanamkan kekuatan batin dalam dirinya. Inilah makna sejati dari jihad melawan hawa nafsu.
Fenomena Modern: Krisis Batas dan Kesadaran
Dalam kehidupan masa kini, batas antara privasi dan konsumsi publik menjadi kabur. Budaya oversharing di media sosial membuat banyak orang menampilkan hal-hal pribadi tanpa rasa malu. Syahwat tidak lagi tersembunyi, melainkan dirayakan.
Namun, al-Ghazālī telah mengingatkan:
الْحَيَاءُ مِنَ الْإِيمَانِ، فَإِذَا ذَهَبَ الْحَيَاءُ ذَهَبَ الْإِيمَانُ.
“Rasa malu adalah bagian dari iman. Jika malu telah hilang, maka hilang pula iman.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 108)
Dalam dunia tanpa batas moral, menjaga rasa malu adalah bentuk resistensi spiritual. Menundukkan pandangan, menahan diri dari godaan visual, dan menjaga interaksi digital dengan kesadaran adalah cara modern untuk menundukkan syahwat.
Refleksi: Menjaga Kehormatan sebagai Jalan Cahaya
Imam al-Ghazālī mengakhiri nasihat tentang syahwat dengan kalimat lembut namun tegas:
كُنْ سَيِّدَ نَفْسِكَ، وَلَا تَكُنْ عَبْدَ شَهْوَتِكَ.
“Jadilah tuan bagi dirimu sendiri, jangan menjadi hamba bagi syahwatmu.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 110)
Kalimat ini menggambarkan inti ajaran tasawuf: kebebasan sejati bukan terletak pada menuruti semua keinginan, tetapi pada kemampuan untuk berkata tidak kepada diri sendiri.
Menundukkan syahwat berarti memelihara martabat manusia. Ia bukan pengekangan, melainkan pembebasan dari belenggu hawa nafsu. Dalam kesadaran itulah, manusia menemukan makna sejati kehormatan — bukan sekadar menjaga tubuh, tetapi menjaga kemuliaan jiwa.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
