SURAU.CO–Taubat dari dosa wajib kita laksanakan secara langsung, seketika itu juga, dan tidak boleh kita tunda-tunda. Siapa pun yang menundanya, ia telah durhaka karena penundaan itu. Apabila ia bertaubat dari dosa yang pertama, maka ia harus bertaubat lagi, yaitu dari penundaan taubatnya. Hal seperti ini jarang orang sadari saat bertaubat. Biasanya, jika seseorang telah bertaubat dari dosa yang ia lakukan, ia menganggap tidak perlu lagi bertaubat. Padahal, masih ada taubat yang tersisa karena ia menunda taubatnya.
Taubat Wajib Segera Dilaksanakan
Taubat yang bersifat umum merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari hal ini.Makna taubat umum ini berupa bertaubat dari dosa-dosa yang kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui. Dosa dan kesalahan-kesalahan yang tidak hamba ketahui justru lebih banyak daripada yang ia ketahui. Ketidaktahuan seseorang terhadap dosanya tidak berarti ia terbebas dari hukuman, apalagi jika ia sebenarnya mungkin untuk mengetahuinya. Dengan begitu, ia telah durhaka karena tidak ingin tahu dan tidak beramal, sehingga kedurhakaannya semakin berlipat.
Di dalam Shahih Ibnu Hibban, Nabi Saw. bersabda, “Syirik di dalam umatku ini lebih tersembunyi daripada rangkakan semut.”
Abu Bakar bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu bagaimana kita menyelamatkan diri darinya?”
Beliau menjawab, “Hendaklah engkau mengucapkan,
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari berbuat syirik kepada-Mu sedang aku tidak mengetahuinya, dan aku memohon ampunan kepada-Mu dari dosa-dosa yang tidak kuketahui.”
Doa Rasulullah untuk Berlindung dari Syirik dan Dosa Tersembunyi
Dalam sebuah hadits dari Nabi Saw., beliau berdoa dalam shalatnya:
“Ya Allah, ampunilah bagiku kesalahan dan kebodohanku, berlebih-lebihan dalam urusanku dan apa pun yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku. Ya Allah, ampunilah bagiku kesungguhan dan sendagurauku, kelalaian dan kesengajaanku, dan semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah bagiku apa yang telah kudahulukan dan apa yang kuakhirkan, yang kurahasiakan dan yang kutampakkan, serta apa pun yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku. Engkau Ilahku yang tiada Ilah selain Engkau.”
Sahkah Taubat dari Satu Dosa Ketika Dosa Lain Tetap Dilakukan?
Apakah kita menganggap taubat dari suatu dosa sah, sementara kita masih tetap melakukan dosa yang lain?
Dua pendapat ada di kalangan ulama tentang masalah ini, dan keduanya diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad. Namun, orang yang mengisahkan adanya ijma’ (kesepakatan) tentang sahnya taubat itu, seperti An-Nawawy dan ulama lainnya, tidak menemukan adanya perbedaan pendapat. Masalah ini memang rumit, sehingga kita perlu kepastian untuk salah satu dari kedua pendapat ini, dan tentu saja harus disertai dalil yang pasti.
Argumen Ulama yang Menganggap Taubat Parsial Sah
Golongan yang menganggap taubat itu sah, berhujjah: Selama seseorang sudah masuk Islam secara benar, yang berarti ia sudah bertaubat dari kekufuran, maka keislamannya sudah sah meskipun ia masih melakukan kedurhakaan dan belum bertaubat dari kedurhakaan itu. Oleh sebab itu, taubat dari satu dosa sudah kita anggap sah, meskipun ia masih melakukan dosa lain.
Golongan satunya lagi menanggapi hujjah ini dengan mengatakan: Islam merupakan satu keadaan yang tidak bisa kita samakan dengan yang lain, karena kekuatan, pengaruh, dan cara mendapatkannya, yang biasanya anak lebih cenderung mengikuti agama kedua orang tuanya, atau budak mengikuti agama tuannya.
Argumen Ulama yang Menolak Taubat Parsial
Pendapat lain lagi menyatakan: Taubat adalah kembali kepada Allah, dari yang tadinya durhaka berubah menjadi taat kepada-Nya. Lalu, apa makna kembali di sini bagi orang yang bertaubat dari satu dosa, tetapi ia masih terus melakukan dosa yang lain? Menurut mereka, Allah tidak akan menghukum orang yang bertaubat karena ia sudah kembali menaati dan beribadah kepada-Nya, serta bertaubat dengan sebenar-benarnya. Orang yang masih melakukan dosa, bahkan dosa yang sejenis dengan dosa yang ia mintakan ampunannya kepada Allah, berarti belum bertaubat dengan sebenar-benarnya. Jika orang yang bertaubat kepada Allah dapat menghilangkan cap orang yang durhaka, sebagaimana orang kafir kehilangan cap kafir jika ia sudah masuk Islam, maka jika ia masih mengerjakan dosa, cap durhaka itu belum hilang darinya, sehingga taubatnya belum kita anggap sah.
Inti permasalahan
Inti permasalahannya adalah: Apakah taubat itu dapat kita pilah-pilah seperti halnya kedurhakaan, sehingga orang yang bertaubat dari satu dosa belum kita anggap bertaubat dari dosa yang lain, seperti halnya iman dan Islam?
Taubat memang dapat kita pilah-pilah. Sebagaimana cara pelaksanaannya berbeda, porsinya pun juga berbeda. Jika seseorang melakukan satu kewajiban dan meninggalkan kewajiban lainnya, maka kita memberinya hukuman berdasarkan kewajiban yang ia tinggalkan dan tidak menghukumnya berdasarkan kewajiban yang ia lakukan. Begitu pula, jika ia bertaubat dari satu dosa dan tetap melakukan dosa yang lain, ia harus bertaubat dari dosa itu.
Ada pula pendapat lain yang mengatakan: Taubat adalah satu perbuatan. Artinya, taubat adalah membebaskan diri dari hal-hal yang Allah murkai, kembali menaati-Nya, dan menyesali apa yang telah ia perbuat. Jika taubat itu tidak kita kerjakan secara sempurna, maka kita belum menganggapnya sah, karena ia merupakan satu bentuk ibadah. Melakukan sebagian di antaranya dan meninggalkan sebagian yang lain sama dengan melakukan sebagian ibadah wajib dan meninggalkan sebagian yang lain.
Ada pula yang berpendapat: Setiap dosa mempunyai taubat yang khusus baginya, atau merupakan kewajiban tersendiri darinya. Satu taubat tidak berkaitan dengan taubat lainnya, sebagaimana satu dosa yang tidak berkaitan dengan dosa lainnya.
Kriteria Dosa Sejenis dan Dosa Berbeda
Menurut pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyahdalam masalah ini: Taubat tidak kita anggap sah dari satu dosa tertentu, jika seseorang masih tetap mengerjakan dosa lain yang sejenis. Sementara itu, kita anggap taubat dari satu dosa tertentu sah, sekalipun ia masih tetap melakukan dosa lain yang tidak berkait dengannya.
Contohnya: Seseorang bertaubat dari dosa riba, tapi belum bertaubat dari dosa minum khamr atau bahkan tetap meminumnya. Taubatnya dari riba ini kita anggap sah. Akan tetapi, jika ia bertaubat dari riba fadhl namun tidak bertaubat dari riba nasi’ah, atau ia bertaubat dari mengonsumsi ganja namun tetap meminum khamr, maka taubatnya itu tidak kita anggap sah. Keadaannya seperti bertaubat dari zina dengan seorang wanita, namun ia tetap berzina dengan wanita lainnya. Hal ini pada hakikatnya ia belum bertaubat dari dosa tersebut. Ia hanya beralih dari satu jenis dosa ke jenis lainnya yang serupa. Hal ini berbeda andaikan ia beralih dari satu kedurhakaan ke kedurhakaan lain yang tidak serupa.(St.Diyar)
Referensi: Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, 1408 H.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
