Surau.co. Makan halal dan hidup bersih bukan hanya soal kesehatan fisik, tetapi juga inti dari kesucian batin dalam pandangan Imam Abū Ḥāmid al-Ghazālī. Dalam Bidāyat al-Hidāyah, beliau menegaskan bahwa apa yang masuk ke dalam perut seseorang menentukan kejernihan hatinya. Makanan halal, dalam pandangannya, adalah bahan bakar spiritual yang menumbuhkan cahaya keimanan, sementara makanan haram atau berlebih justru menggelapkan nurani.
Al-Ghazālī menulis dengan sangat tajam:
اِعْلَمْ أَنَّ أَصْلَ كُلِّ خَيْرٍ الطَّعَامُ الْحَلَالُ، وَأَصْلَ كُلِّ شَرٍّ الطَّعَامُ الْحَرَامُ.
“Ketahuilah, sumber segala kebaikan adalah makanan halal, dan sumber segala keburukan adalah makanan haram.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 91)
Pernyataan ini tidak hanya membicarakan soal halal dalam arti hukum fikih, tetapi juga makna batiniah: bagaimana makanan yang kita konsumsi membentuk karakter dan perilaku.
Fenomena Sehari-hari: Banyak Makan, Sedikit Hikmah
Kita hidup di zaman kelimpahan, di mana makanan bukan lagi sekadar kebutuhan, melainkan gaya hidup. Dari kafe hingga konten kuliner, makanan menjadi simbol kenikmatan dan status sosial. Namun, di tengah melimpahnya pilihan, banyak orang kehilangan kesederhanaan. Imam al-Ghazālī mengingatkan:
لَا تَكُنْ مِنَ الَّذِينَ جَمَعُوا الدُّنْيَا فِي بُطُونِهِمْ، وَنَسُوا الْآخِرَةَ فِي قُلُوبِهِمْ.
“Janganlah engkau menjadi orang yang mengumpulkan dunia dalam perutnya, dan melupakan akhirat di dalam hatinya.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 92)
Makan berlebihan, kata beliau, bukan hanya melemahkan tubuh, tetapi juga menumpulkan hati. Karena itu, menjaga perut adalah salah satu bentuk pengendalian diri yang paling nyata. Dalam dunia modern, pesan ini terasa seperti kritik halus terhadap budaya konsumtif — di mana orang mudah kenyang secara jasmani, tapi lapar secara spiritual.
Al-Qur’an sendiri memberi batas yang jelas tentang pola makan:
كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ.
“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A‘rāf [7]: 31)
Ayat ini menjadi pedoman keseimbangan — ajakan untuk menikmati nikmat Allah dengan kesadaran, bukan dengan kerakusan.
Halal Bukan Sekadar Label
Dalam Bidāyat al-Hidāyah, al-Ghazālī tidak berhenti pada persoalan halal secara hukum. Ia mengajarkan dimensi halal batiniah — makanan yang diperoleh dengan cara yang bersih, tidak melukai orang lain, dan tidak menumbuhkan kesombongan.
Beliau menulis:
لَيْسَ الْحَلَالُ مَا حَلَّهُ الْفُقَهَاءُ فَقَطْ، بَلِ الْحَلَالُ مَا طَابَتْ بِهِ النَّفْسُ وَلَمْ يُؤْذِ الْخَلْقَ.
“Halal bukan hanya apa yang dibolehkan para ahli fikih, tetapi apa yang menenangkan jiwa dan tidak menyakiti makhluk.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 93)
Dengan pengertian ini, seseorang bisa memakan makanan yang secara hukum halal, tetapi tetap mengotorinya dengan niat yang salah — misalnya, diperoleh dengan menipu, menindas, atau dengan sifat tamak.
Pandangan ini mengajarkan integritas spiritual dalam mencari nafkah dan mengonsumsi hasilnya. Makanan yang halal dari sumber yang bersih akan menghasilkan hati yang lembut, sedangkan yang berasal dari kezaliman akan melahirkan kekerasan batin.
Menjaga Perut Sebagai Latihan Ruhani
Dalam pandangan al-Ghazālī, perut adalah “gerbang hawa nafsu.” Bila ia tidak dijaga, maka nafsu lain akan sulit dikendalikan. Karena itu, lapar bukan sekadar menahan diri dari makan, tetapi sarana untuk menundukkan ego.
Beliau menulis:
إِذَا شَبِعَ الْبَطْنُ ثَقُلَتِ النَّفْسُ عَنِ الطَّاعَةِ، وَإِذَا جَاعَ نَشِطَتْ لِعِبَادَةِ اللَّهِ.
“Ketika perut kenyang, jiwa menjadi malas beribadah. Namun bila lapar, ia menjadi ringan dan bersemangat dalam ketaatan kepada Allah.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 94)
Puasa, dalam hal ini, bukan hanya ritual, tetapi metode pembersihan jiwa. Dengan menahan lapar, seseorang belajar bahwa kebahagiaan sejati tidak bergantung pada isi perut, melainkan pada tenangnya hati.
Nabi ﷺ juga bersabda:
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ.
“Tidak ada wadah yang diisi manusia lebih buruk daripada perut.” (HR. Tirmiżī)
Hadis ini menjadi dasar spiritual untuk hidup sederhana: makan secukupnya, bukan sekadar untuk kenyang, tapi untuk kuat beribadah.
Fenomena Modern: Antara Diet dan Kesadaran
Menariknya, nasihat al-Ghazālī ini kini banyak dibuktikan oleh sains modern. Makan berlebihan dikaitkan dengan berbagai penyakit, sementara pola makan sederhana — bahkan berpuasa secara berkala — terbukti menyehatkan tubuh dan pikiran.
Namun, al-Ghazālī menegaskan perbedaan penting: menahan makan bukan untuk mengejar bentuk tubuh ideal, melainkan untuk menundukkan nafsu. Bila seseorang berpuasa hanya demi kebanggaan diri, maka maknanya hilang. Ia menulis:
لَيْسَ الْمَقْصُودُ مِنَ الْجُوعِ ضَعْفَ الْبَدَنِ، بَلْ ضَعْفُ النَّفْسِ وَقَهْرُ الشَّهْوَةِ.
“Tujuan dari lapar bukanlah melemahkan tubuh, melainkan melemahkan nafsu dan menundukkan syahwat.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 95)
Dengan demikian, makan halal dan hidup bersih bukan hanya praktik lahiriah, tetapi proses panjang penyucian diri. Ia menumbuhkan wara’ (kehati-hatian), mengajarkan kesadaran bahwa setiap suapan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban.
Refleksi: Kesederhanaan yang Menjernihkan
Ajaran Imam al-Ghazālī tentang etika perut sejatinya adalah ajakan untuk hidup sederhana dan sadar. Di balik setiap makanan, ada perjalanan panjang — dari sumber rezeki, proses pencarian, hingga niat saat menyantapnya. Semua itu menentukan keberkahan yang mengalir ke dalam diri.
Beliau menutup bab ini dengan kalimat yang lembut dan menggugah:
كُلْ بِقَدْرِ مَا يَقِيمُكَ، وَلَا تَكُلْ بِقَدْرِ مَا يُهْلِكُكَ.
“Makanlah sekadar yang menguatkanmu, jangan makan sebanyak yang membinasakanmu.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 96)
Kalimat sederhana ini menyimpan hikmah mendalam: keseimbangan. Dengan menjaga perut, seseorang menjaga pikirannya; dengan menjaga makanannya, seseorang menjaga hatinya. Dan di situlah letak jalan hidayah yang sebenarnya — keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan kepekaan rohani.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
