Surau.co. Bahaya lisan menjadi topik penting dalam Bidāyat al-Hidāyah karya Imam Abū Ḥāmid al-Ghazālī, karena menurut beliau, lidah adalah alat kecil dengan daya besar: bisa menyelamatkan manusia, tapi juga bisa menjerumuskan ke dalam kebinasaan. Dalam dunia modern, di mana kata-kata menyebar cepat melalui media sosial, nasihat al-Ghazālī terasa lebih relevan dari sebelumnya.
Sejak awal bab ini, beliau memperingatkan:
اِعْلَمْ أَنَّ أَكْثَرَ مَا يَهْلِكُ النَّاسَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَلْسِنَتُهُمْ.
“Ketahuilah, hal yang paling banyak menjerumuskan manusia di dunia dan akhirat adalah lidah mereka sendiri.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 82)
Bagi al-Ghazālī, lidah adalah cermin hati. Jika hati bersih, maka kata-kata yang keluar akan penuh kebijaksanaan. Namun, jika hati kotor, ucapan yang lahir darinya akan menyakiti, menipu, dan menciptakan kerusakan.
Fenomena Sehari-hari: Saat Lidah Menjadi Senjata
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak konflik dimulai dari kata-kata yang diucapkan tanpa pikir panjang. Dunia digital memperluas jangkauannya: satu komentar kasar di media sosial bisa menimbulkan perpecahan besar. Imam al-Ghazālī menggambarkan fenomena ini jauh sebelum teknologi hadir:
اَلْكَلِمَةُ كَالسَّهْمِ، إِذَا خَرَجَتْ لَا تَرْجِعُ.
“Kata-kata itu seperti anak panah; sekali terlepas, ia takkan bisa kembali.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 83)
Kata-kata yang dilontarkan tanpa pertimbangan bisa meninggalkan luka yang lama sembuh. Karena itu, menjaga lisan bukan hanya soal etika, tetapi juga bentuk ibadah — latihan kesabaran dan pengendalian diri.
Al-Qur’an menegaskan pentingnya mengontrol ucapan:
مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tidak ada satu kata pun yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS. Qāf [50]: 18)
Ayat ini menegaskan bahwa setiap ucapan memiliki konsekuensi moral. Dalam pandangan al-Ghazālī, menyadari hal ini adalah langkah pertama menuju kebijaksanaan.
Lidah dan Kegelapan Hati
Imam al-Ghazālī memandang lidah sebagai cermin hati. Hati yang jernih akan menuntun lidah untuk berkata lembut, sementara hati yang gelap akan memunculkan ucapan penuh kebencian. Ia menulis:
اللِّسَانُ تُرْجُمَانُ الْقَلْبِ، فَانْظُرْ مَاذَا يَقُولُ لِسَانُكَ، تَعْرِفْ مَا فِي قَلْبِكَ.
“Lidah adalah penerjemah hati. Maka perhatikanlah apa yang dikatakan lidahmu, niscaya engkau akan tahu keadaan hatimu.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 84)
Dalam konteks ini, menjaga lisan sejatinya adalah menjaga hati. Jika seseorang membiasakan diri untuk berbicara kebaikan, lambat laun hatinya pun akan ikut bersih. Sebaliknya, lisan yang dibiarkan bebas mengucapkan keburukan akan menumbuhkan kegelapan dalam jiwa.
Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ.
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhārī & Muslim)
Hadis ini bukan sekadar anjuran sopan santun, melainkan panduan spiritual untuk membersihkan hati melalui kendali lisan.
Diam Sebagai Bentuk Kebijaksanaan
Dalam pandangan al-Ghazālī, diam bukan kelemahan, tetapi kekuatan batin yang lahir dari kesadaran. Ia menulis:
إِنَّ السُّكُوتَ بَابٌ عَظِيمٌ مِنْ أَبْوَابِ الْعِبَادَةِ، وَقَلِيلٌ مَنْ يَفْتَحُهُ.
“Diam adalah salah satu pintu besar ibadah, namun sedikit orang yang membukanya.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 85)
Diam tidak berarti pasif, tetapi aktif dalam merenung dan menimbang sebelum berbicara. Dalam keheningan, seseorang belajar untuk mendengar — baik suara orang lain maupun suara hatinya sendiri.
Dalam kehidupan modern yang penuh kebisingan, keheningan menjadi kemewahan spiritual. Orang yang mampu menahan diri dari berbicara sembarangan sesungguhnya sedang menjaga kebersihan batin.
Ucapan yang Menyembuhkan
Lidah juga bisa menjadi sumber kebaikan jika digunakan dengan benar. Al-Ghazālī menulis bahwa ucapan yang baik dapat menenangkan hati orang lain dan menjadi sedekah yang tidak memerlukan harta:
كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ صَدَقَةٌ.
“Ucapan yang baik adalah sedekah.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 86)
Kata-kata yang penuh kasih sayang, nasihat yang lembut, dan doa yang tulus adalah bentuk ibadah yang tinggi nilainya. Ucapan yang benar, tulus, dan membawa kebaikan dapat mengubah arah hidup seseorang.
Sebaliknya, kata-kata yang kasar bisa memadamkan semangat, merusak hubungan, bahkan menimbulkan permusuhan. Karena itu, al-Ghazālī menekankan agar manusia berbicara dengan niat untuk menebar manfaat, bukan sekadar membuktikan diri benar.
Fenomena Lidah Digital
Jika di masa al-Ghazālī bahaya lisan berasal dari ucapan langsung, di masa kini lidah kita telah menjelma menjadi jari-jari di layar gawai. Cuitan, komentar, dan unggahan memiliki kekuatan sama — bahkan lebih cepat menyebar daripada kata-kata yang diucapkan.
Nasihat al-Ghazālī menjadi semakin penting dalam konteks ini: berhati-hatilah dalam menulis sebagaimana berhati-hati dalam berbicara. Setiap kata yang kita tulis akan tetap tercatat — bukan hanya di dunia maya, tetapi juga di sisi Allah.
Puasa lidah di era digital berarti menahan diri dari menyebarkan kebencian, hoaks, dan komentar yang melukai.
Refleksi: Menghidupkan Keheningan, Menyembuhkan Hati
Imam al-Ghazālī menutup bab tentang lisan dengan kalimat yang menggugah:
مَنْ صَمَتَ سَلِمَ، وَمَنْ نَطَقَ نَدِمَ، وَمَنْ نَدِمَ تَابَ، وَمَنْ تَابَ نَجَا.
“Barang siapa diam, ia selamat; barang siapa berbicara (tanpa pikir), ia menyesal; barang siapa menyesal, ia bertobat; dan barang siapa bertobat, ia selamat.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 87)
Kebijaksanaan ini menegaskan bahwa keselamatan bukan hanya milik orang yang banyak bicara tentang kebaikan, tetapi juga mereka yang mampu menahan diri dari ucapan yang tak perlu.
Dalam dunia yang riuh dan penuh suara, memilih diam bisa menjadi cara tertinggi untuk menjaga hati tetap hidup. Seperti kata al-Ghazālī, lisan yang bersih adalah cermin hati yang jernih — dan hati yang jernih adalah jalan menuju hidayah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
