Surau.co. Menjaga pandangan, telinga, dan lidah bukan hanya soal sopan santun, tetapi fondasi moral dalam ajaran Imam Abū Ḥāmid al-Ghazālī sebagaimana dijelaskan dalam Bidāyat al-Hidāyah. Bagi beliau, tubuh manusia bukan sekadar alat fisik, melainkan jendela hati yang merefleksikan kesucian jiwa.
Sejak awal, al-Ghazālī menegaskan bahwa anggota tubuh memiliki amanah spiritual yang besar. Ia menulis:
اِعْلَمْ أَنَّ كُلَّ جَارِحَةٍ مِنْ جَوَارِحِكَ نِعْمَةٌ مِنَ اللَّهِ عَلَيْكَ، وَسَيُسْأَلُكَ عَنْهَا كَيْفَ اسْتَعْمَلْتَهَا.
“Ketahuilah, setiap anggota tubuhmu adalah nikmat dari Allah kepadamu, dan kelak engkau akan ditanya bagaimana engkau menggunakannya.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 70)
Dengan demikian, pengendalian tubuh menjadi bagian dari pengendalian hati. Dalam konteks ini, menjaga pandangan, telinga, dan lidah bukan semata menghindari dosa, melainkan menjaga keseimbangan antara lahir dan batin agar tetap berjalan di jalan hidayah.
Fenomena Sehari-hari: Dunia yang Penuh Godaan
Kehidupan modern penuh dengan rangsangan visual dan suara yang menggoda, terutama di era digital. Gambar, video, dan kata-kata yang bertebaran di media sosial sering kali menembus batas etika dan mengaburkan kesadaran spiritual. Al-Ghazālī, meskipun hidup seribu tahun lalu, seakan telah mengantisipasi zaman ini.
Beliau menulis dengan sangat relevan:
إِيَّاكَ أَنْ تَطْلُقَ بَصَرَكَ إِلَى مَا لَا يَحِلُّ لَكَ، فَإِنَّ النَّظَرَ سَهْمٌ مَسْمُومٌ مِنْ سِهَامِ الشَّيْطَانِ.
“Janganlah engkau lepaskan pandanganmu kepada sesuatu yang haram, karena pandangan adalah anak panah beracun dari panah-panah setan.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 72)
Kalimat ini menggambarkan betapa pentingnya disiplin visual dalam menjaga hati. Pandangan yang tidak terkendali bisa melahirkan keinginan, dan keinginan bisa menjerumuskan hati dalam kelalaian.
Al-Qur’an pun menegaskan:
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
“Katakanlah kepada orang-orang beriman agar mereka menundukkan pandangan dan menjaga kemaluannya.” (QS. An-Nūr [24]: 30)
Menundukkan pandangan bukan berarti menolak keindahan dunia, melainkan menempatkan keindahan pada porsinya. Dengan itu, manusia belajar mengontrol keinginan agar tidak dikuasai oleh pandangan.
Menjaga Telinga dari Suara yang Merusak
Selain mata, telinga juga menjadi gerbang yang memengaruhi hati. Apa yang kita dengar meninggalkan jejak dalam jiwa. Al-Ghazālī mengingatkan agar manusia berhati-hati dalam memilih apa yang masuk ke dalam pendengaran. Ia menulis:
إِيَّاكَ وَالِاسْتِمَاعَ إِلَى الْغِيبَةِ وَالْبُهْتَانِ، فَإِنَّهَا تُفْسِدُ قَلْبَكَ كَمَا يُفْسِدُ الْخَمْرُ الْعَقْلَ.
“Jauhilah mendengarkan ghibah dan fitnah, karena keduanya merusak hatimu sebagaimana khamr merusak akal.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 74)
Di masa kini, peringatan ini semakin relevan. Banyak orang terjebak dalam kebisingan media — dari gosip hingga ujaran kebencian — yang tanpa disadari menumpulkan kepekaan hati.
Telinga yang terbiasa mendengar hal baik akan menumbuhkan ketenangan. Sebaliknya, telinga yang terbiasa mendengar keburukan akan membuat hati gersang. Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ.
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhārī & Muslim)
Diam, dalam pandangan al-Ghazālī, bukan kelemahan. Ia adalah bentuk kekuatan batin yang melatih kesadaran dan kebijaksanaan.
Lidah: Cermin Keadaan Hati
Dari semua anggota tubuh, lidah mungkin yang paling sulit dijaga. Ia kecil, tetapi bisa menimbulkan kerusakan besar. Al-Ghazālī mengingatkan:
اِحْفَظْ لِسَانَكَ مِنَ الْكَذِبِ وَالْغِيبَةِ وَالنَّمِيمَةِ، فَإِنَّ الْكَلِمَةَ تَخْرُجُ مِنْ فِيكَ فَتُهْلِكُكَ.
“Jagalah lidahmu dari dusta, ghibah, dan adu domba, karena satu kata yang keluar dari mulutmu bisa membinasakanmu.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 76)
Bagi al-Ghazālī, setiap ucapan adalah cerminan isi hati. Orang yang lisannya tenang biasanya memiliki hati yang damai, sedangkan mereka yang mudah berkata kasar sering menyimpan kegelisahan batin.
Lidah bisa menjadi alat dakwah, tetapi juga senjata yang menyakiti. Karena itu, al-Ghazālī menyarankan agar seseorang berbicara hanya ketika kata-katanya membawa manfaat:
إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَتَكَلَّمَ فَفَكِّرْ قَبْلَ أَنْ تَنْطِقَ، فَإِنْ كَانَ فِيهِ خَيْرٌ فَقُلْ، وَإِلَّا فَاسْكُتْ.
“Jika engkau ingin berbicara, pikirkanlah sebelum berbicara; jika ada kebaikan di dalamnya, maka ucapkanlah, jika tidak, maka diamlah.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 77)
Kalimat ini adalah pedoman etika komunikasi yang melampaui zaman. Di era media sosial, nasihat al-Ghazālī ini terasa semakin berharga: pikir sebelum bicara, pikir sebelum menulis, pikir sebelum menyebarkan.
Etika Tubuh sebagai Jalan Hidayah
Imam al-Ghazālī memandang tubuh sebagai alat ibadah. Setiap anggota tubuh memiliki tugas spiritual untuk mendekatkan manusia kepada Allah. Ketika pandangan dijaga, telinga disucikan, dan lidah dikendalikan, maka hati pun menjadi tenang.
Ia menulis dengan lembut:
مَنْ أَصْلَحَ جَوَارِحَهُ أَصْلَحَ اللَّهُ قَلْبَهُ، وَمَنْ أَفْسَدَهَا أَفْسَدَ اللَّهُ قَلْبَهُ.
“Barang siapa memperbaiki anggota tubuhnya, Allah akan memperbaiki hatinya. Dan barang siapa merusaknya, Allah akan merusak hatinya.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 78)
Etika tubuh adalah bagian dari jalan hidayah — cara menghidupkan kesadaran diri agar tidak terjebak dalam dosa kecil yang menumpuk. Dengan menjaga tubuh, seseorang sedang menjaga cermin bagi jiwanya.
Refleksi: Hening yang Menyucikan
Ajaran Imam al-Ghazālī dalam bab ini bukan sekadar panduan moral, tetapi strategi spiritual untuk membersihkan hati di tengah kebisingan dunia. Dalam setiap pandangan yang ditundukkan, dalam setiap ucapan yang dijaga, tersimpan latihan pengendalian diri dan penghormatan terhadap ciptaan Allah.
Menjaga pandangan, telinga, dan lidah bukan sekadar larangan, melainkan ajakan untuk hidup lebih sadar. Di zaman di mana informasi melimpah, menjaga tubuh menjadi cara untuk menjaga kewarasan spiritual.
Seperti ditulis al-Ghazālī di akhir bagian ini:
مَنْ لَا يَمْلِكُ لِسَانَهُ لَا يَمْلِكُ قَلْبَهُ، وَمَنْ لَا يَمْلِكُ قَلْبَهُ لَا يَمْلِكُ نَفْسَهُ.
“Siapa yang tidak mampu mengendalikan lidahnya, ia takkan mampu mengendalikan hatinya. Dan siapa yang tak mampu mengendalikan hatinya, ia takkan mampu mengendalikan dirinya.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 80)
Di sinilah inti ajaran Bidāyat al-Hidāyah: kesadaran diri dimulai dari tubuh yang dijaga, menuju hati yang hidup, lalu berujung pada jiwa yang damai.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
