Surau.co. Puasa dan pembersihan jiwa adalah dua hal yang tak terpisahkan dalam pandangan Imam Abū Ḥāmid al-Ghazālī. Dalam Bidāyat al-Hidāyah, beliau tidak sekadar menjelaskan tata cara menahan lapar, tetapi menggali makna spiritual di baliknya: bagaimana lapar bisa menjadi jembatan menuju kesucian hati dan kedekatan dengan Allah.
Bagi al-Ghazālī, puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga latihan mengendalikan hawa nafsu. Ia menulis:
اِعْلَمْ أَنَّ الْجُوعَ أَصْلُ كُلِّ دَوَاءِ وَسَبَبُ كُلِّ خَيْرٍ، وَمَنْ شَبِعَ فَقَدْ بَعُدَ عَنِ اللَّهِ.
“Ketahuilah, lapar adalah sumber segala obat dan sebab segala kebaikan. Siapa yang kenyang berlebihan, maka ia telah menjauh dari Allah.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 57)
Kalimat ini menggambarkan betapa lapar yang suci memiliki kekuatan spiritual. Ia bukan siksaan, melainkan penyucian. Puasa menajamkan kesadaran, menundukkan nafsu, dan membuka jalan bagi cahaya iman.
Fenomena Modern: Perut Penuh, Hati Kosong
Kehidupan modern sering kali menjadikan manusia budak kenikmatan. Segala hal serba instan, termasuk makanan. Akibatnya, manusia cenderung mencari kenyamanan fisik tetapi kehilangan ketenangan batin. Imam al-Ghazālī mengingatkan bahwa perut yang selalu kenyang dapat menumpulkan nurani.
Beliau menulis dengan penuh hikmah:
إِذَا امْتَلَأَ الْبَطْنُ غَفَلَ الْقَلْبُ، وَإِذَا غَفَلَ الْقَلْبُ نَامَتِ النَّفْسُ، وَإِذَا نَامَتِ النَّفْسُ فَاتَتِ الْفُرْصَةُ.
“Ketika perut penuh, hati menjadi lalai; bila hati lalai, jiwa tertidur; dan ketika jiwa tertidur, peluang menuju kebaikan pun hilang.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 59)
Pernyataan ini terasa sangat relevan di tengah budaya konsumtif masa kini. Orang sering berusaha memuaskan tubuhnya, tetapi melupakan nutrisi bagi jiwanya. Al-Ghazālī menawarkan keseimbangan: makan secukupnya agar hati tetap hidup dan batin tetap peka terhadap nilai-nilai Ilahi.
Puasa Sebagai Latihan Kesadaran dan Kendali Diri
Dalam ajarannya, al-Ghazālī menempatkan puasa sebagai madrasah untuk belajar mengendalikan diri. Ia menulis:
الصَّوْمُ لَيْسَ الْإِمْسَاكَ عَنِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ فَقَطْ، بَلْ هُوَ الْإِمْسَاكُ عَنِ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي.
“Puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari dosa dan maksiat.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 60)
Makna ini menegaskan bahwa puasa sejati adalah kesadaran total — menjaga mata dari pandangan haram, lidah dari ucapan kotor, telinga dari mendengar keburukan, dan hati dari iri serta sombong.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi ﷺ:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ.
“Barang siapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh dari lapar dan hausnya.” (HR. Bukhārī)
Puasa, dalam pandangan al-Ghazālī, adalah latihan mengembalikan keseimbangan antara tubuh dan ruh. Ia bukan sekadar ibadah fisik, melainkan perjalanan batin menuju kemurnian diri.
Lapar yang Mendidik dan Menyadarkan
Dalam Bidāyat al-Hidāyah, Imam al-Ghazālī menjelaskan bahwa lapar yang suci mendidik manusia untuk berempati dan bersyukur. Dengan merasakan haus dan lapar, seseorang belajar menghargai nikmat yang sering terlupakan, dan menyadari penderitaan orang lain.
Ia menulis:
إِنَّ الْجُوعَ يُذَكِّرُكَ جُوعَ الْفُقَرَاءِ، فَتَرِقُّ لَهُمْ، وَيَكْسِرُ شَهْوَتَكَ، فَتَرْحَمَ نَفْسَكَ.
“Sesungguhnya lapar mengingatkanmu kepada lapar orang-orang miskin, sehingga engkau menjadi lembut terhadap mereka, dan lapar mematahkan syahwatmu agar engkau berbelas kasih kepada dirimu sendiri.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 61)
Puasa, dengan demikian, bukan sekadar ibadah personal, tetapi juga pendidikan sosial. Ia mengajarkan empati, mengikis kesombongan, dan melahirkan kepedulian terhadap sesama.
Al-Qur’an menegaskan tujuan ini dengan kalimat yang sederhana namun mendalam:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ.
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183)
Tujuan puasa adalah taqwa — kesadaran penuh akan kehadiran Allah. Dan kesadaran itu lahir ketika hati bersih dari kerak syahwat dan keinginan duniawi.
Lapar Sebagai Jalan Menuju Cahaya
Imam al-Ghazālī meyakini bahwa hati yang sering dibiarkan kenyang akan sulit menerima cahaya Ilahi. Sebaliknya, lapar yang disertai kesabaran dan niat yang benar akan membuka jalan menuju makrifat.
Ia menulis dengan indah:
إِذَا جَاعَ الْبَدَنُ نَوَّرَ الْقَلْبُ، وَإِذَا شَبِعَ أَظْلَمَ.
“Ketika tubuh lapar, hati akan bercahaya; namun bila tubuh kenyang, hati menjadi gelap.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 63)
Pernyataan ini bukan ajakan untuk menyiksa diri, tetapi untuk hidup dengan kesadaran dan keseimbangan. Puasa mengajarkan manusia untuk tidak tunduk pada keinginan, melainkan menguasainya.
Dalam kehidupan modern yang penuh kelimpahan, ajaran ini menjadi pengingat penting: bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari kepuasan, tetapi dari pengendalian diri. Lapar yang suci, kata al-Ghazālī, justru menumbuhkan rasa cukup dan syukur.
Refleksi: Dari Lapar Menuju Terang Jiwa
Puasa dan pembersihan jiwa dalam pandangan al-Ghazālī adalah latihan spiritual yang mengubah cara manusia memandang dunia. Lapar tidak lagi menjadi penderitaan, tetapi pintu masuk menuju kebeningan hati.
Ketika seseorang berpuasa dengan kesadaran, ia sebenarnya sedang belajar tentang batas dan keseimbangan. Ia mengerti bahwa dunia ini fana, dan yang kekal hanyalah Allah. Lapar menjadikan seseorang rendah hati, dan dari kerendahan hati itulah lahir kedekatan sejati dengan Tuhan.
Imam al-Ghazālī menutup nasihatnya dengan kalimat lembut:
كُنْ جَائِعًا بِالْقَدْرِ الَّذِي يُذَكِّرُكَ بِاللَّهِ، وَلَا تَكُنْ شَبْعَانًا فَتَنْسَاهُ.
“Berlaparlah sekadar yang mengingatkanmu kepada Allah, dan janganlah kenyang hingga membuatmu lupa kepada-Nya.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 64)
Inilah inti lapar yang suci — lapar yang menuntun jiwa, bukan melemahkannya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
