Surau.co. Rahasia khusyuk dalam shalat adalah inti dari ajaran Imam Abū Ḥāmid al-Ghazālī dalam Bidāyat al-Hidāyah. Ia memandang shalat bukan sekadar kewajiban ritual, tetapi perjumpaan antara hamba dan Tuhannya. Menurut al-Ghazālī, seseorang baru benar-benar shalat bila hatinya hadir, lisannya jujur, dan tubuhnya tunduk.
Dalam bab khusus tentang ibadah shalat, beliau menulis:
اِعْلَمْ أَنَّ الصَّلَاةَ قُرْبَانُ كُلِّ تَقِيٍّ، وَهِيَ مِعْرَاجُ الْمُؤْمِنِ، فَانْظُرْ كَيْفَ تَصْعَدُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ.
“Ketahuilah, shalat adalah persembahan bagi setiap orang bertakwa dan tangga naik bagi orang beriman. Maka perhatikanlah bagaimana ia mengangkatmu menuju Tuhanmu.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 40)
Al-Ghazālī mengajarkan bahwa khusyuk tidak hadir begitu saja. Ia lahir dari kesadaran akan makna setiap gerakan dan ucapan dalam shalat. Tanpa kehadiran hati, shalat hanya menjadi gerakan mekanis yang kehilangan ruhnya.
Fenomena Sehari-hari: Tubuh Bersujud, Hati Mengembara
Kita sering menyaksikan fenomena ini: seseorang menunaikan shalat, tetapi pikirannya sibuk menghitung pekerjaan, pesan yang belum dibalas, atau hal-hal duniawi lainnya. Tubuhnya rukuk, sujud, dan berdiri, namun jiwanya tak hadir.
Al-Ghazālī menyinggung keadaan ini dengan tajam:
كَمْ مِنْ قَائِمٍ فِي الصَّلَاةِ وَلَيْسَ لَهُ مِنْ صَلَاتِهِ إِلَّا التَّعَبُ وَالنَّصَبُ.
“Betapa banyak orang berdiri dalam shalat, namun yang mereka dapatkan hanyalah lelah dan penat.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 41)
Ia menegaskan bahwa nilai shalat tidak diukur dari lamanya berdiri, tetapi dari sejauh mana hati tunduk dan sadar kepada Allah. Dalam pandangannya, setiap takbir, rukuk, dan sujud adalah simbol komunikasi spiritual yang hanya bermakna jika dijalankan dengan kesadaran batin.
Al-Qur’an pun memperingatkan:
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ، الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ.
“Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al-Mā‘ūn [107]: 4–5)
Lalai di sini bukan berarti tidak shalat, tetapi shalat tanpa perhatian hati.
Makna Gerakan dan Kehadiran Batin
Dalam Bidāyat al-Hidāyah, al-Ghazālī menuntun setiap gerakan shalat agar diiringi dengan makna batin. Misalnya, saat mengangkat tangan untuk takbiratul ihram, seseorang harus berniat melepaskan dunia dari hatinya.
إِذَا قُلْتَ اَللَّهُ أَكْبَرْ فَاجْعَلِ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا خَلْفَ ظَهْرِكَ.
“Ketika engkau mengucapkan Allāhu Akbar, letakkan dunia dan segala isinya di belakang punggungmu.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 42)
Saat membaca Al-Fātiḥah, ia menganjurkan agar seseorang membayangkan sedang berbicara langsung dengan Allah. Dan ketika sujud, hendaknya hati benar-benar merendah, bukan hanya dahi yang menyentuh tanah.
إِذَا سَجَدْتَ فَاعْلَمْ أَنَّكَ تَقْرُبُ مِنَ اللَّهِ بِقَدْرِ مَا تَتَذَلَّلُ لَهُ.
“Ketika engkau sujud, ketahuilah bahwa engkau mendekat kepada Allah sejauh mana engkau merendahkan dirimu di hadapan-Nya.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 43)
Makna inilah yang menjadikan shalat sebagai sarana pembersihan jiwa. Gerakan lahirnya menundukkan tubuh, sedangkan makna batinnya menundukkan ego.
Melatih Hati Agar Hadir
Menurut al-Ghazālī, kunci khusyuk terletak pada muraqabah — perasaan bahwa Allah selalu melihat dan mendengarkan. Ia menulis:
إِذَا دَخَلْتَ فِي الصَّلَاةِ فَكُنْ كَأَنَّكَ تَرَى اللَّهَ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَاعْلَمْ أَنَّهُ يَرَاكَ.
“Ketika engkau berdiri dalam shalat, beribadahlah seakan-akan engkau melihat Allah. Jika tidak mampu melihat-Nya, yakinlah bahwa Dia melihatmu.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 44)
Prinsip ini, yang juga menjadi inti hadis ihsan, menjadikan shalat sebagai latihan spiritual untuk mencapai kepekaan hati. Bagi al-Ghazālī, khusyuk bukan hanya keadaan saat shalat, melainkan hasil dari kehidupan yang terlatih dalam kesadaran.
Karena itu, ia menasihatkan agar seseorang mempersiapkan diri sebelum shalat: menenangkan pikiran, memperbarui wudhu, dan menghadirkan niat murni. Shalat yang dilakukan tanpa persiapan batin ibarat surat tanpa alamat — sampai, tapi tidak diterima.
Menjadikan Shalat Sebagai Cermin Kehidupan
Khusyuk yang sesungguhnya bukan hanya dirasakan dalam ruang ibadah. Bagi al-Ghazālī, shalat yang benar akan memancar dalam perilaku sehari-hari. Orang yang terbiasa hadir penuh di hadapan Allah akan belajar untuk hadir pula di hadapan sesama — mendengar dengan empati, berbicara dengan lembut, dan bekerja dengan niat yang bersih.
Ia menulis:
مَنْ لَمْ تَنْهَهُ صَلَاتُهُ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ فَلَيْسَتْ صَلَاتُهُ بِصَلَاةٍ.
“Barang siapa shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka shalatnya belum disebut shalat.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 45)
Kalimat ini menegaskan bahwa shalat yang hidup harus berpengaruh terhadap akhlak dan kehidupan sosial. Shalat yang benar bukan hanya menundukkan tubuh, tetapi juga melembutkan hati dan menahan diri dari kesombongan.
Al-Qur’an juga mengisyaratkan hal serupa:
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ.
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-‘Ankabūt [29]: 45)
Dengan demikian, khusyuk bukanlah tujuan akhir, melainkan proses menuju keutuhan diri — antara kehadiran batin dan perilaku lahir.
Refleksi: Menemukan Kehadiran di Tengah Keheningan
Imam al-Ghazālī menulis Bidāyat al-Hidāyah bukan hanya untuk para ahli ibadah, tetapi untuk siapa pun yang ingin hidup dengan kesadaran. Ia menuntun pembaca agar shalat menjadi pengalaman spiritual yang membentuk karakter, bukan sekadar rutinitas.
Di tengah dunia yang bising dan tergesa-gesa, ajaran ini terasa sangat relevan. Shalat bisa menjadi ruang jeda dari hiruk pikuk, tempat di mana manusia kembali menemukan dirinya — diam di hadapan Tuhan, berbicara tanpa kata, dan merasa didengar tanpa suara.
Khusyuk bukan hanya milik orang saleh; ia milik siapa pun yang ingin hidup dengan hati yang hadir.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
