Khazanah
Beranda » Berita » Manajemen Waktu dalam Islam: Membaca Bab Tentang Mengisi Hari dengan Amal Saleh

Manajemen Waktu dalam Islam: Membaca Bab Tentang Mengisi Hari dengan Amal Saleh

Ilustrasi reflektif tentang manajemen waktu dalam Islam berdasarkan ajaran Imam al-Ghazālī.
Seorang Muslim merenungi waktu di bawah cahaya lembut pagi, melambangkan pengelolaan waktu sebagai jalan menuju amal saleh.

Surau.co. Manajemen waktu dalam Islam bukan sekadar pembagian jam antara kerja dan istirahat, melainkan pengaturan seluruh hidup agar setiap detik bernilai di sisi Allah. Dalam Bidāyat al-Hidāyah, Imam Abū Ḥāmid al-Ghazālī menempatkan waktu sebagai inti dari amal dan sumber keberkahan. Ia mengajarkan bahwa siapa yang tidak pandai mengisi waktunya dengan amal saleh, akan kehilangan bagian terbaik dari hidupnya.

Al-Ghazālī menulis dengan sangat tajam:

اِعْلَمْ أَنَّ أَنْفَاسَكَ جَوَاهِرٌ ثَمِينَةٌ، فَاحْفَظْهَا فِي طَاعَةِ اللَّهِ، وَلَا تُضَيِّعْهَا فِي غَيْرِ ذَلِكَ.
“Ketahuilah, setiap hembusan napasmu adalah permata yang berharga. Jagalah ia dalam ketaatan kepada Allah dan jangan engkau sia-siakan untuk hal selain itu.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 33)

Kata-kata ini mencerminkan pandangan spiritual yang mendalam: waktu bukan milik manusia, melainkan titipan yang akan diminta pertanggungjawaban. Islam tidak hanya menuntun bagaimana beribadah, tetapi juga bagaimana mengelola kehidupan agar selaras dengan nilai ibadah.

Fenomena Sehari-hari: Terjebak dalam Rutinitas Tanpa Makna

Kita hidup di era yang serba cepat, di mana kesibukan seringkali disalahartikan sebagai produktivitas. Banyak orang merasa sibuk, tetapi setelah hari berlalu, tak ada nilai spiritual yang tersisa. Imam al-Ghazālī seolah berbicara kepada manusia modern ketika menulis:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

لَا تَكُنْ مِنَ الَّذِينَ يَقُولُونَ غَدًا غَدًا، فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي مَتَى تُدْرِكُ غَدَكَ.
“Janganlah engkau menjadi orang yang berkata, ‘besok, besok’, sebab engkau tidak tahu apakah engkau akan mencapai esok hari.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 34)

Kutipan ini menggambarkan betapa manusia mudah menunda kebaikan, padahal waktu tak pernah berhenti menua. Dalam perspektif al-Ghazālī, menunda amal adalah bentuk kelalaian batin yang berbahaya.

Al-Qur’an pun memperingatkan hal serupa:

وَالْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian.” (QS. Al-‘Aṣr [103]: 1–2)

Ayat ini menjadi fondasi etika waktu dalam Islam: waktu adalah ujian, bukan ruang kosong yang bisa diisi sesuka hati.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Mengisi Hari dengan Kesadaran dan Amal Saleh

Imam al-Ghazālī membagi hari seorang mukmin menjadi fase-fase penuh makna. Ia menulis:

اِبْدَأْ نَهَارَكَ بِذِكْرِ اللَّهِ، وَاخْتِمْهُ بِالاسْتِغْفَارِ، وَكُنْ بَيْنَ ذَلِكَ فِي طَاعَتِهِ.
“Mulailah harimu dengan mengingat Allah, akhiri dengan istighfar, dan isilah di antara keduanya dengan ketaatan.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 35)

Konsep ini menunjukkan bahwa Islam memandang waktu secara siklik dan bermakna. Setiap pagi adalah kesempatan baru untuk memperbaiki diri, sementara malam adalah waktu untuk menilai kembali perjalanan hari. Dengan demikian, manajemen waktu bukan sekadar efisiensi duniawi, tetapi latihan spiritual untuk mengisi hari dengan amal saleh.

Al-Ghazālī juga menekankan pentingnya niat dalam setiap kegiatan, bahkan yang bersifat duniawi. Ia menulis:

نَوِ فِي كُلِّ عَمَلٍ تَعْمَلُهُ وَجْهَ اللَّهِ، فَإِنَّ الْعَادَاتِ تَنْقَلِبُ عِبَادَاتٍ بِالنِّيَّةِ.
“Niatkanlah dalam setiap amal yang engkau lakukan karena Allah, sebab kebiasaan sehari-hari akan berubah menjadi ibadah dengan niat.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 36)

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Dengan kata lain, al-Ghazālī mengajarkan keseimbangan: seseorang tidak perlu meninggalkan urusan dunia, tetapi mengisinya dengan kesadaran Ilahi agar setiap aktivitas menjadi bagian dari ibadah.

Antara Waktu Luang dan Waktu Sibuk

Dalam kehidupan modern, banyak orang terjebak antara dua ekstrem: kelelahan karena terlalu sibuk, atau kelalaian karena terlalu banyak waktu luang. Al-Ghazālī menegaskan bahwa keduanya bisa menjadi sumber kerugian jika tidak diisi dengan amal yang bermanfaat.

Waktu senggang bukan untuk dihabiskan tanpa arah, melainkan kesempatan untuk tafakkur, membaca, atau memperbaiki hubungan dengan Allah. Sebaliknya, kesibukan juga harus disertai niat saleh, agar aktivitas duniawi bernilai spiritual.

Nabi ﷺ bersabda:

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ.
“Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu di dalamnya: kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhārī)

Hadis ini sejalan dengan ajaran al-Ghazālī: waktu kosong bukan ruang istirahat tanpa makna, tetapi ladang bagi amal kebaikan.

Refleksi: Menjadikan Setiap Detik Bernilai

Dari seluruh penjelasan Imam al-Ghazālī, satu pesan menonjol: waktu adalah ujian bagi manusia yang sadar. Orang beriman tidak menunggu “waktu yang tepat” untuk berbuat baik, karena setiap waktu adalah tepat jika digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Dalam konteks kehidupan sekarang, prinsip ini bisa diterapkan dalam banyak hal: memanfaatkan jeda kerja untuk membaca Al-Qur’an, menata jadwal harian dengan niat ibadah, atau menyisihkan waktu sejenak untuk refleksi diri di tengah kesibukan.

Al-Ghazālī menutup nasihatnya tentang waktu dengan kalimat yang menggugah:

مَنْ ضَيَّعَ يَوْمَهُ فِي غَيْرِ طَاعَةِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا.
“Barang siapa menghabiskan harinya tanpa ketaatan kepada Allah, maka sungguh ia telah merugi dengan kerugian yang nyata.” (Bidāyat al-Hidāyah, hlm. 38)

Kalimat ini menegaskan bahwa pengelolaan waktu bukan hanya soal efisiensi, melainkan bentuk keimanan. Manajemen waktu dalam Islam berarti mengisi hidup dengan kesadaran, keikhlasan, dan amal saleh yang terus menerangi perjalanan manusia menuju Tuhannya.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement