Khazanah
Beranda » Berita » Meskipun Salah Tapi Tetap Mau Belajar: Itulah Akhlak Orang Alim

Meskipun Salah Tapi Tetap Mau Belajar: Itulah Akhlak Orang Alim

Pemuda belajar dengan rendah hati, simbol akhlak orang alim yang tetap mau belajar meski pernah salah.”
Lukisan realistik-filosofis menampilkan seorang pemuda duduk di ruang belajar sederhana, wajahnya tenang meski sedang dikoreksi oleh gurunya

Surau.co. Dalam perjalanan menuntut ilmu, tidak ada manusia yang luput dari kesalahan. Justru dari kesalahan itulah kita mengenal batas diri, memahami makna rendah hati, dan belajar untuk terus memperbaiki. Orang alim bukanlah mereka yang tidak pernah salah, tetapi mereka yang mau belajar meskipun telah salah.

Sikap seperti ini adalah tanda akhlak mulia, sebab ilmu sejati tidak tumbuh di atas keangkuhan, melainkan di atas kerendahan hati. Allah berfirman:

وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا
Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.’” (QS. Ṭāhā [20]: 114)

Ayat ini menunjukkan bahwa bahkan Nabi Muhammad ﷺ — manusia paling mulia dan paling berilmu — tetap diperintahkan untuk berdoa agar ditambahkan ilmu. Ini mengajarkan bahwa belajar tidak mengenal titik akhir. Maka, ketika seseorang masih mau belajar meski pernah salah, di situlah tampak kemuliaan akhlaknya.

Kesalahan: Bagian dari Jalan Menuju Hikmah

Kesalahan sering dianggap sebagai aib, padahal bagi pencinta ilmu, kesalahan adalah guru yang paling jujur. Ia menunjukkan kelemahan agar manusia tidak sombong, dan membuka jalan bagi pemahaman yang lebih dalam.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Imam Al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:

مَن لَمْ يَتَحَمَّلْ مَرَارَةَ التَّعَلُّمِ، بَقِيَ فِي ذُلِّ الْجَهْلِ
“Barang siapa tidak sabar menanggung pahitnya belajar, maka ia akan tetap hidup dalam kehinaan kebodohan.”

Belajar berarti siap menghadapi rasa tidak nyaman: dikoreksi, dikritik, bahkan disalahkan. Tapi justru di situlah nilai luhur seorang penuntut ilmu diuji. Orang yang benar-benar alim tidak merasa hina ketika salah, karena ia tahu bahwa kesalahan bukan kehancuran, melainkan undangan untuk tumbuh.

Kesalahan juga mengajarkan kejujuran kepada diri sendiri. Sebab, mengakui salah berarti mengakui keterbatasan, dan dari sanalah pintu kebijaksanaan terbuka.

Akhlak Orang Alim: Rendah Hati dalam Menerima Kebenaran

Salah satu ciri orang berilmu sejati adalah kerendahan hati untuk menerima kebenaran, dari siapa pun datangnya. Ia tidak merasa gengsi belajar dari orang yang lebih muda, lebih miskin, atau bahkan dari lawan bicaranya.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Rasulullah ﷺ bersabda:

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa akar kesombongan adalah ketidakmauan menerima kebenaran. Sementara akhlak orang alim justru sebaliknya — ia terbuka pada nasihat, dan bersyukur jika ada yang mengingatkannya.

Dalam tradisi ulama, tidak sedikit guru yang belajar dari muridnya, karena mereka yakin bahwa hikmah bisa muncul dari siapa saja. Orang alim tidak sibuk menjaga citra benar, tapi menjaga niat agar terus belajar.

Ilmu Tidak Menyombongkan, Tapi Menundukkan

Ilmu sejati tidak pernah membuat seseorang merasa lebih tinggi. Justru semakin banyak ilmu yang dimiliki, semakin besar pula rasa takutnya kepada Allah.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Allah berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fāṭir [35]: 28)

Ayat ini menegaskan bahwa tanda orang berilmu bukan banyaknya bicara, tapi dalamnya rasa takut kepada Tuhan. Maka, ketika ilmu membuat seseorang sulit menerima kritik, itu tanda ilmunya belum menyentuh hati.

Orang alim tahu bahwa setiap manusia berpotensi salah, termasuk dirinya sendiri. Karena itu, ia selalu terbuka untuk belajar kembali. Sikap ini bukan kelemahan, melainkan kekuatan moral. Ia tahu bahwa kebenaran lebih berharga daripada harga diri yang palsu.

Belajar dari Kesalahan: Jalan Menuju Kematangan Ilmu

Kesalahan sering menjadi batu loncatan bagi mereka yang berjiwa besar. Dalam setiap kegagalan, tersimpan pelajaran yang tidak bisa didapat dari keberhasilan. Orang yang bijak akan menyalakan cahaya hikmah dari kesalahan yang pernah ia buat.

Imam Al-Māwardī menerangkan:

العاقلُ مَنِ اتَّعَظَ بِتَجْرِبَتِهِ وَبِتَجَارِبِ غَيْرِهِ
“Orang cerdas adalah yang mengambil pelajaran dari pengalamannya dan pengalaman orang lain.”

Maka, mengakui salah bukan tanda lemah, melainkan tanda kecerdasan. Ia belajar dari dirinya sendiri, dari masa lalu, dan dari orang lain. Setiap kesalahan baginya adalah kaca bening yang memantulkan hakikat diri.

Orang yang takut salah tidak akan berkembang. Tapi orang yang mau belajar dari salah akan tumbuh menjadi bijak. Ia menyadari bahwa ilmu adalah proses panjang — penuh revisi, koreksi, dan perbaikan tanpa henti.

Akhlak Belajar: Sabar, Lembut, dan Lapang Dada

Belajar adalah latihan kesabaran. Tidak semua nasihat terasa manis di awal. Terkadang, kebenaran datang dalam bentuk teguran yang menusuk, tapi justru itulah obat bagi hati yang ingin tumbuh.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi baik, maka Dia akan memahamkannya tentang agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini mengisyaratkan bahwa memahami ilmu agama membutuhkan kesabaran dan kelapangan hati. Orang yang mudah tersinggung ketika dikoreksi belum siap menjadi pelajar sejati.

Adab belajar bukan hanya menghormati guru, tapi juga menghormati proses — termasuk proses salah dan diperbaiki. Orang yang berakhlak tidak membela ego ketika dikritik, karena ia tahu, kebenaran lebih mulia daripada kebanggaan pribadi.

Membedakan Antara Salah dan Malu Belajar

Ada dua jenis kesalahan: kesalahan karena belum tahu, dan kesalahan karena menolak tahu. Yang pertama adalah tanda manusiawi, yang kedua adalah tanda kesombongan.

Banyak orang berhenti belajar karena takut dianggap bodoh. Padahal, rasa malu yang benar adalah malu untuk terus dalam kebodohan, bukan malu untuk belajar. Imam Al-Māwardī mengingatkan:

مَنْ اسْتَحْيَا مِنَ التَّعَلُّمِ اسْتَحَقَّ أَنْ يَبْقَى جَاهِلًا
“Barang siapa malu untuk belajar, maka pantas baginya tetap dalam kebodohan.”

Rasa malu memang penting dalam adab Islam, tapi dalam konteks menuntut ilmu, malu harus ditempatkan dengan bijak. Malu bertanya bukanlah adab, tapi penghalang ilmu. Justru orang alim adalah mereka yang tetap rendah hati untuk belajar, meski sudah tahu banyak.

Kebijaksanaan Orang Alim dalam Menghadapi Kesalahan Orang Lain

Selain menerima kesalahan diri sendiri, akhlak orang alim juga tampak dalam cara ia memperlakukan kesalahan orang lain. Ia tidak mudah menghakimi, tapi menasihati dengan hikmah. Ia tahu bahwa setiap orang sedang berproses menuju kebaikan.

Allah berfirman:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS. An-Naḥl [16]: 125)

Ilmu yang benar melahirkan kelembutan, bukan kekerasan. Orang alim tidak mempermalukan orang yang salah, tapi menuntunnya dengan kasih. Sebab ia tahu, di masa lalu, ia pun pernah salah.

Inilah yang membuat akhlak orang alim begitu indah — ia lembut terhadap kesalahan, tapi tegas terhadap kebenaran. Ia bukan hakim bagi sesama, tapi penuntun yang sabar.

Penutup: Belajar Tanpa Henti, Meski Pernah Salah

Menjadi orang alim bukan berarti menjadi orang yang tidak pernah salah. Justru kealiman sejati terlihat dari keberanian untuk tetap belajar setelah salah. Kesalahan bukan akhir perjalanan, tapi awal dari kedewasaan ilmu dan akhlak.

Ilmu tanpa akhlak akan kehilangan cahaya, tapi akhlak tanpa ilmu pun kehilangan arah. Maka keduanya harus berjalan beriringan — seperti pena dan tinta yang saling melengkapi.

اللهم علمنا ما ينفعنا وانفعنا بما علمتنا وزدنا علما وأدبا
“Ya Allah, ajarkanlah kami ilmu yang bermanfaat, berilah manfaat dari ilmu yang telah Engkau ajarkan, dan tambahkanlah kepada kami ilmu serta adab.”

Belajar adalah ibadah panjang. Setiap salah adalah pelajaran, setiap kritik adalah bimbingan, dan setiap perbaikan adalah tanda cinta Allah kepada hamba-Nya. Maka jangan takut salah, selama hati masih mau belajar. Sebab, meskipun salah tapi tetap mau belajar — itulah akhlak orang alim.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement