Surau.co. Ada yang bilang, ilmu itu seperti kopi. Ia bisa pahit, tapi justru di situlah letak kenikmatannya. Namun sayangnya, banyak orang hari ini belajar tanpa rasa. Ilmunya hambar—tak menumbuhkan kesadaran, tak menggerakkan amal, dan tak menyalakan hati. Padahal, jika ilmu diseduh dengan niat yang benar dan hati yang jernih, ia bisa menenangkan jiwa sebagaimana secangkir kopi hangat di pagi hari.
Frasa “Ngopi bareng ilmu” bukan hanya kiasan untuk bersantai sambil diskusi. Ia menggambarkan suasana di mana ilmu menjadi teman ngobrol yang hidup, penuh makna, dan menggugah renungan. Tapi jika kita hanya meminumnya tanpa menghayati, maka yang tersisa hanyalah kebiasaan, bukan keberkahan.
Allah mengingatkan dalam firman-Nya:
وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.’” (QS. Ṭāhā [20]: 114)
Ayat ini menandakan bahwa ilmu sejati selalu tumbuh bersama kerendahan hati. Seperti kopi yang makin lama diseduh makin harum, ilmu juga makin indah bila disertai keikhlasan dan rasa ingin tahu yang tulus.
Belajar dengan Rasa, Bukan Sekadar Data
Belajar kini sering disamakan dengan mengumpulkan informasi. Padahal, ilmu bukan sekadar data yang disimpan di kepala, tapi rasa yang hidup di hati. Informasi bisa membuat seseorang tahu banyak hal, namun ilmu membuat seseorang lebih bijak menyikapi banyak hal.
Imam Al-Māwardī dalam kitab Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:
العلمُ بلا عملٍ كالشجرةِ بلا ثمرٍ، و العملُ بلا علمٍ كالسيرِ بلا دليلٍ
“Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah, dan amal tanpa ilmu bagaikan perjalanan tanpa penunjuk jalan.”
Kutipan ini menunjukkan bahwa ilmu harus punya rasa, dan rasa itu terwujud dalam amal. Ilmu yang hambar adalah ilmu yang tidak menumbuhkan tindakan. Kita tahu banyak ayat, hafal banyak teori, tapi tidak satu pun menyentuh perilaku. Seperti kopi tanpa gula, tapi sayangnya bukan karena nikmat, melainkan karena lupa menakar.
Belajar dengan rasa berarti membuka diri terhadap hikmah di balik setiap pengetahuan. Ia mengajarkan kita untuk tidak hanya mencari kebenaran logis, tetapi juga makna spiritual di baliknya.
Ilmu yang Hidup di Tengah Kehidupan
Ngopi bareng ilmu juga berarti menempatkan pengetahuan di tengah kehidupan nyata, bukan sekadar di ruang kelas atau forum diskusi. Ilmu seharusnya hadir di warung kopi, di ladang, di ruang keluarga, di media sosial — di mana pun ada percakapan dan pencarian makna.
Ilmu yang hidup bukan hanya yang dikutip dalam seminar, tapi yang diterapkan dalam perilaku sehari-hari. Rasulullah ﷺ bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)
Artinya, ilmu tidak berhenti di kepala, tapi mengalir ke tangan dan hati. Orang berilmu seharusnya menjadi sumber manfaat, bukan sumber perdebatan tanpa ujung.
Maka, jangan jadikan ilmu seperti kopi yang hanya disimpan di etalase — harum tapi tak diminum. Minumlah, rasakan, dan sebarkan kehangatannya pada orang lain.
Nikmatnya Diskusi yang Menyadarkan
Ngopi bareng ilmu bukan hanya soal minum kopi bersama, tapi juga berbagi gagasan dan mendengar dengan lapang dada. Budaya diskusi dalam Islam sesungguhnya adalah budaya saling mencerahkan. Ulama terdahulu berdialog dengan penuh adab, bukan dengan emosi. Mereka tidak mencari siapa yang menang, tapi siapa yang mendapat manfaat.
Ilmu menjadi hambar ketika diskusi berubah menjadi ajang saling menjatuhkan. Kita lebih suka membuktikan siapa yang benar daripada mencari kebenaran itu sendiri. Padahal, Imam Al-Māwardī pernah menerangkan dalam kitabnya:
مَن طَلَبَ العِلْمَ لِيُفَاخِرَ بِهِ العُلَمَاءَ، أَو لِيُجَادِلَ بِهِ السُّفَهَاءَ، فَقَد أَخْطَأَ الطَّرِيقَ
“Barang siapa mencari ilmu untuk menyombongkan diri di hadapan ulama, atau berdebat dengan orang bodoh, maka ia telah salah jalan.”
Diskusi seharusnya seperti kopi yang diseduh dengan sabar — tidak langsung mendidih, tapi perlahan memunculkan aroma. Dengan demikian, setiap percakapan menjadi wadah tumbuhnya pemahaman, bukan bara perpecahan.
Niat yang Tulus: Gula dalam Secangkir Ilmu
Ilmu tanpa niat yang benar adalah seperti kopi tanpa gula: pahit tanpa makna. Niat yang tulus ibarat pemanis yang membuat setiap pengetahuan terasa nikmat. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Belajar karena ingin dikenal, dihormati, atau dipuji tidak akan menghasilkan kenikmatan batin. Sebab yang dicari bukan keberkahan, tapi pengakuan. Sementara ilmu sejati justru lahir dari kerendahan hati untuk terus belajar, bukan dari keinginan untuk selalu tampil pintar.
Maka, sebelum meneguk ilmu, periksa dulu niatnya. Apakah kita belajar untuk memperbaiki diri, atau untuk memperlihatkan diri? Sebab, sebagaimana kopi, rasa nikmat ilmu sangat bergantung pada cara menyeduhnya.
Ilmu Tanpa Adab: Pahit yang Tak Nikmat
Bila ada satu hal yang membuat ilmu kehilangan rasa, maka itu adalah hilangnya adab. Adab adalah tata rasa dalam belajar — ia menentukan bagaimana kita menghargai guru, ilmu, dan sesama pencari ilmu.
Imam Al-Māwardī menerangkan:
لا شَرَفَ لِعَالِمٍ إِذَا فَقَدَ الأَدَبَ، كَمَا لا فَضْلَ لِغَنِيٍّ إِذَا فَقَدَ السَّخَاءَ
“Tidak ada kehormatan bagi orang berilmu yang kehilangan adab, sebagaimana tidak ada kemuliaan bagi orang kaya yang kehilangan kedermawanan.”
Ilmu tanpa adab seperti kopi basi — warnanya sama, tapi rasanya hilang. Orang yang berilmu tapi tak beradab mudah merendahkan, mencela, dan merasa paling benar. Padahal, ilmu yang benar justru membuat seseorang semakin lembut tutur katanya dan jernih pandangannya.
Adab juga melatih kita untuk tidak tergesa-gesa menghakimi, dan tidak mudah menolak kebenaran hanya karena datang dari orang lain. Dengan adab, ilmu menjadi santapan rohani yang menyehatkan jiwa.
Menjaga Keikhlasan di Tengah Riuhnya Dunia Digital
Di era media sosial, belajar sering kali berubah menjadi ajang pertunjukan. Orang berlomba membagikan kutipan dan tafsir, tapi lupa menanamkan makna dalam diri. Kita sibuk tampil pandai, tapi lupa menjadi pelajar sejati.
Ilmu menjadi hambar karena kehilangan keikhlasan. Padahal, sebagaimana kopi yang disajikan dengan tenang, ilmu pun perlu ruang hening untuk merenung. Dalam keheningan itulah muncul pemahaman yang tulus, bukan sekadar opini yang terburu-buru.
Allah berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ
“Bertakwalah kepada Allah, maka Allah akan mengajarkan kepadamu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 282)
Ayat ini menegaskan bahwa ilmu sejati datang dari hati yang bersih. Takwa adalah penyeduh terbaik bagi setiap pengetahuan.
Rasa Syukur: Aroma Harum dalam Setiap Ilmu
Seorang pencinta ilmu sejati selalu bersyukur atas setiap kesempatan belajar. Ia tidak mengeluh meski harus mengulang, dan tidak sombong meski sudah memahami. Rasa syukur inilah yang membuat ilmunya harum dan menenangkan.
Syukur menjadikan proses belajar terasa ringan dan menyenangkan. Ia ibarat aroma kopi yang mengundang siapa pun untuk mendekat. Orang yang bersyukur melihat setiap ilmu sebagai karunia, bukan beban. Dan dari rasa syukur itu, lahir semangat untuk terus menebar manfaat.
Ilmu yang disyukuri akan berbuah kebijaksanaan. Ilmu yang tidak disyukuri akan berubah menjadi kebanggaan semu.
Penutup: Seduhlah Ilmu dengan Hati
Ngopi bareng ilmu sejatinya adalah ajakan untuk kembali menikmati pengetahuan dengan hati, bukan hanya dengan pikiran. Belajar bukan sekadar aktivitas intelektual, tapi perjalanan spiritual yang menghubungkan manusia dengan Penciptanya.
Jika kopi yang baik harus diseduh dengan suhu dan waktu yang tepat, maka ilmu pun harus diseduh dengan niat dan adab yang benar. Nikmatnya ilmu bukan pada banyaknya yang kita tahu, tapi pada dalamnya rasa yang kita rasakan.
Maka, jangan biarkan ilmu menjadi hambar. Seduhlah dengan keikhlasan, aduk dengan adab, dan nikmati dengan rasa syukur. Karena sejatinya, ilmu yang memberi makna adalah ilmu yang hidup di hati, bukan sekadar tersimpan di kepala.
اللهم علمنا ما ينفعنا وانفعنا بما علمتنا وزدنا علما
“Ya Allah, ajarkanlah kami ilmu yang bermanfaat, dan berilah manfaat dari ilmu yang telah Engkau ajarkan kepada kami, serta tambahkanlah ilmu kepada kami.”
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
