Khazanah
Beranda » Berita » Kalau Belajar Bikin Sombong, Mungkin Itu Bukan Ilmu

Kalau Belajar Bikin Sombong, Mungkin Itu Bukan Ilmu

Pemuda membaca kitab dengan cahaya lembut, melambangkan ilmu yang menumbuhkan kerendahan hati
seorang santri atau pemuda duduk membaca kitab di bawah cahaya lembut, sementara di belakangnya bayangan dirinya tampak membungkuk rendah. Simbol bahwa ilmu sejati membuat manusia menunduk, bukan meninggi.

Surau.co. Belajar seharusnya menumbuhkan kerendahan hati, bukan menambah kesombongan. Namun di tengah derasnya arus informasi hari ini, banyak orang belajar bukan untuk memahami, melainkan untuk menunjukkan. Ilmu dijadikan panggung kebanggaan, bukan jalan pencarian makna. Maka benarlah frasa ini: “Kalau belajar bikin sombong, mungkin itu bukan ilmu.”

Ilmu sejati melahirkan rasa takut kepada Allah, bukan rasa tinggi terhadap sesama. Ia menundukkan ego, bukan meninggikannya. Allah berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fāṭir [35]: 28)

Ayat ini menunjukkan bahwa buah ilmu bukanlah kesombongan intelektual, melainkan ketundukan spiritual. Maka, jika ilmu yang dipelajari membuat seseorang merasa lebih mulia dari orang lain, bisa jadi yang dipelajari baru kulitnya, belum sampai pada hakikatnya.

Ilmu yang Mencerahkan, Bukan Menggelapkan

Tujuan belajar adalah mengenal Tuhan, memahami ciptaan-Nya, dan memperbaiki diri. Namun jika belajar justru menumbuhkan rasa ingin menonjol, berarti niatnya telah bergeser. Imam Al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

العلمُ بلا أدبٍ كالنارِ بلا حطبٍ، و الأدبُ بلا علمٍ كالجسدِ بلا روحٍ
“Ilmu tanpa adab bagaikan api tanpa kayu bakar, dan adab tanpa ilmu bagaikan jasad tanpa ruh.”

Keseimbangan antara ilmu dan adab menjadi penentu keberkahan pengetahuan. Orang yang berilmu tanpa adab mudah terbakar oleh kesombongan. Ia tahu banyak, tapi hatinya gelap. Sementara orang beradab meski belum luas pengetahuannya, tetap bercahaya karena rendah hati.

Ilmu yang mencerahkan membuat seseorang sadar bahwa semakin ia tahu, semakin banyak yang belum ia ketahui. Ilmu yang sejati tidak membuat lidah lancar menghakimi, tetapi membuat hati gemetar sebelum berbicara.

Kesombongan Intelektual: Wabah Baru dalam Dunia Belajar

Di era digital, banyak orang merasa pintar karena mudah mengakses informasi. Padahal, informasi bukanlah ilmu. Ilmu memerlukan proses pemahaman, pengendapan, dan adab. Namun sayangnya, budaya instan melahirkan generasi yang cepat merasa tahu, tapi malas mendalami.

Kesombongan intelektual muncul saat seseorang belajar bukan untuk memperbaiki diri, melainkan untuk memenangkan perdebatan. Ia membaca bukan untuk memahami, tapi untuk mencari celah membantah. Padahal, dalam Islam, ilmu bukan alat untuk menang, melainkan sarana untuk menjadi lebih bijak.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ، أَوْ يُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ، أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ، أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ
Barang siapa menuntut ilmu untuk menyombongkan diri di hadapan ulama, berdebat dengan orang bodoh, atau menarik perhatian manusia, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka.” (HR. Tirmidzi)

Hadis ini menggambarkan betapa berbahayanya kesombongan yang lahir dari ilmu. Sebab, ilmu yang tidak disertai keikhlasan akan menjadi beban, bukan cahaya.

Belajar Seharusnya Membentuk Hati, Bukan Hanya Pikiran

Sering kali orang belajar hanya untuk menambah wawasan, bukan untuk memperbaiki akhlak. Padahal, inti ilmu adalah perubahan perilaku. Dalam tradisi para ulama, ilmu bukan diukur dari banyaknya hafalan atau gelar, tetapi dari sejauh mana ilmu itu membentuk hati dan amal.

Imam Al-Māwardī menerangkan:

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

مَنِ ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ هُدًى، فَقَدْ ازْدَادَ مِنَ اللَّهِ بُعْدًا
“Barang siapa bertambah ilmunya namun tidak bertambah petunjuknya, maka ia justru semakin jauh dari Allah.”

Artinya, ilmu yang sejati selalu membawa seseorang semakin dekat kepada kebenaran. Ia melunakkan hati, bukan mengeraskannya. Maka jika setelah belajar seseorang menjadi semakin keras kepala, mudah meremehkan, atau gemar menghakimi, bisa jadi ilmunya belum menyentuh hatinya.

Rendah Hati: Tanda Ilmu yang Berkah

Rendah hati adalah tanda ilmu yang benar. Orang berilmu menyadari bahwa dirinya hanyalah penuntut ilmu sepanjang hayat. Ia tidak malu belajar dari siapa pun, bahkan dari orang yang dianggap lebih muda atau lebih sederhana.

Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an:

وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
“Dan di atas setiap orang yang berilmu, ada yang lebih mengetahui.”
(QS. Yusuf [12]: 76)

Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada manusia yang memiliki pengetahuan mutlak. Setiap orang selalu punya batas. Maka, kesadaran akan keterbatasan justru menjadi sumber kerendahan hati. Orang yang merasa tahu segalanya telah kehilangan hakikat ilmu itu sendiri.

Ilmu yang berkah adalah yang membuat pemiliknya menunduk, bukan meninggi. Ia tahu kapan berbicara dan kapan mendengar, kapan menjelaskan dan kapan menahan diri. Sebab, semakin tinggi ilmu seseorang, semakin besar pula tanggung jawab moralnya.

Belajar dengan Adab: Warisan Para Ulama

Dalam tradisi Islam klasik, adab selalu menjadi syarat utama sebelum belajar. Para ulama menekankan bahwa ilmu tanpa adab hanya akan menimbulkan fitnah. Imam Malik pernah berkata kepada muridnya: “Pelajarilah adab sebelum ilmu.”

Adab dalam belajar mencakup keikhlasan niat, kesabaran dalam memahami, serta penghormatan terhadap guru. Adab juga berarti menjaga hati dari kesombongan dan menjaga lisan dari kata yang merendahkan.

Dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn, Imam Al-Māwardī menegaskan:

مَنْ تَأَدَّبَ بِالْعِلْمِ نَفَعَهُ، وَمَنْ لَمْ يَتَأَدَّبْ لَمْ يَنْتَفِعْ بِالْعِلْمِ
“Barang siapa belajar dengan adab, maka ilmunya bermanfaat; dan barang siapa belajar tanpa adab, maka ilmunya tidak bermanfaat.”

Maka, jika belajar membuat seseorang merasa lebih tinggi daripada gurunya, atau lebih suci dari temannya, berarti ia belum belajar dengan adab. Ilmu yang bermanfaat justru tumbuh dari kerendahan hati di hadapan kebenaran.

Menjaga Niat: Pondasi Utama Penuntut Ilmu

Segala kesombongan bermula dari niat yang salah. Ketika seseorang belajar karena ingin dipuji, dihormati, atau dikenal pintar, maka niatnya telah terkontaminasi. Padahal, niat yang ikhlas adalah kunci keberkahan ilmu.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Belajar karena Allah akan melahirkan ketenangan, sementara belajar karena ego akan menimbulkan kegelisahan. Orang yang niatnya murni tidak sibuk membandingkan, tapi fokus memperbaiki diri. Ia tidak ingin dikenal sebagai “orang alim”, tetapi sebagai “hamba yang terus belajar.”

Ilmu yang Menghidupkan, Bukan Mematikan Hati

Ilmu sejati ibarat cahaya: ia menerangi jalan hidup dan menuntun langkah menuju kebajikan. Namun ilmu yang disertai kesombongan justru mematikan hati. Ia seperti api yang membakar diri sendiri.

Kesombongan membuat seseorang menolak nasihat, menutup telinga dari kebenaran, dan menilai diri paling benar. Padahal, Allah berfirman:

سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ
“Aku akan memalingkan dari ayat-ayat-Ku orang-orang yang menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar.” (QS. Al-A‘rāf [7]: 146)

Ayat ini adalah peringatan keras: kesombongan menghalangi cahaya ilmu. Maka, siapa pun yang ingin ilmunya bermanfaat, harus menjaga hati dari merasa paling tahu, paling benar, atau paling suci.

Penutup: Ilmu yang Membuat Kita Menunduk

Belajar adalah perjalanan yang panjang. Di sepanjang jalan itu, ada godaan untuk merasa “lebih tahu”, “lebih paham”, dan “lebih suci”. Namun sejatinya, orang berilmu justru semakin rendah hati karena ia sadar betapa kecil dirinya di hadapan kebesaran Allah.

Jika ilmu membuat kita sombong, mungkin itu bukan ilmu, melainkan sekadar informasi tanpa nurani. Ilmu sejati menumbuhkan rasa ingin memahami, bukan ingin menguasai. Ia membuat kita berani meminta maaf, bukan merasa selalu benar. Ia menuntun kita untuk menunduk, bukan meninggi.

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujādilah [58]: 11)

Maka, teruslah belajar dengan hati yang rendah, bukan kepala yang tinggi. Sebab ilmu yang benar bukan sekadar menambah tahu, tetapi menambah takut. Dan di situlah letak kemuliaannya.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement