Khazanah
Beranda » Berita » Adab Dulu, Baru Konten

Adab Dulu, Baru Konten

Konten kreator beradab menimbang adab sebelum mengunggah konten
seorang konten kreator muda duduk di depan kamera dan laptop di ruang sederhana, cahaya hangat menerangi wajahnya. Ia menatap layar dengan tenang sambil memegang buku bertuliskan “Adab”, sementara di layar tertulis “Unggah?”. Simbol bahwa adab menjadi panduan sebelum konten dibuat.

Surau.co. Di era media sosial, setiap orang bisa menjadi penyampai pesan. Satu unggahan bisa menjangkau ribuan mata dalam hitungan detik. Namun, di balik derasnya arus informasi itu, muncul pertanyaan penting: Apakah kita masih beradab sebelum membuat konten?

Frasa “Adab dulu, baru konten” bukan sekadar slogan etika digital. Ia adalah seruan moral yang mengingatkan bahwa ilmu, ekspresi, dan teknologi harus dibingkai oleh akhlak. Tanpa adab, konten bisa menjadi senjata yang melukai. Tanpa adab, suara bisa berubah menjadi kebisingan.

Dalam pandangan Islam, adab adalah fondasi sebelum segala sesuatu. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)

Hadis ini menegaskan bahwa seluruh ajaran Islam berporos pada akhlak. Maka, di dunia maya sekalipun, adab tetap menjadi kompas yang menentukan arah: apakah konten kita membawa kebaikan, atau justru menebar keburukan.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Adab: Pondasi Sebelum Bicara dan Berkarya

Adab bukan sekadar sopan santun. Ia adalah kesadaran etis yang menata perilaku lahir dan batin. Dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn, Imam Al-Māwardī menerangkan:

الأدبُ زينةُ الإنسانِ الظاهرةُ، والعقلُ زينتُه الباطنةُ، فإذا جمعهما المرءُ بلغَ غايةَ الكمالِ
“Adab adalah perhiasan lahiriah manusia, dan akal adalah perhiasan batiniahnya. Jika seseorang menghimpun keduanya, maka ia mencapai puncak kesempurnaan.”

Pesan ini relevan sekali bagi pembuat konten masa kini. Sebelum bicara di ruang digital, seseorang perlu memastikan dua hal: apakah akalnya bekerja dan apakah adabnya hadir. Akal menimbang isi, adab menata cara.

Berkonten tanpa adab ibarat berbicara tanpa hati. Kata-kata mungkin indah, tetapi bisa menyinggung, merendahkan, bahkan menyesatkan. Adab menuntun kita agar menulis dengan niat yang bersih, menyampaikan dengan hormat, dan menjaga marwah orang lain.

Konten yang Cerdas Tapi Tak Santun, Tetap Cacat

Kecerdasan tidak menjamin kebenaran bila kehilangan adab. Banyak konten edukatif yang gagal membawa manfaat karena disampaikan dengan nada merendahkan. Sebaliknya, konten sederhana bisa menyentuh hati bila disampaikan dengan hormat dan penuh kasih.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah [2]: 83)

Ayat ini menjadi prinsip etika universal dalam komunikasi. Di dunia nyata atau digital, setiap kata adalah cermin diri. Maka, pembuat konten sejati bukan hanya pandai menyusun narasi, tetapi juga tahu batasan: kapan menegur, kapan menahan, dan kapan menyembunyikan sebagian demi menjaga kehormatan orang lain.

Konten yang cerdas tapi kasar hanya membangun pengikut, bukan membangun peradaban. Sedangkan konten yang beradab melahirkan kesadaran, memperluas empati, dan menumbuhkan kemanusiaan.

Dari Pena ke Kamera: Ujian Baru Adab Digital

Dulu, adab diuji di ruang belajar dan pergaulan. Kini, adab diuji di layar gawai. Saat seseorang menulis status, merekam vlog, atau mengomentari unggahan orang lain, ia sedang diuji — bukan hanya pada isi ucapannya, tetapi pada niat dan cara ia menyampaikannya.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Sayangnya, sebagian orang lebih sibuk mengatur pencahayaan daripada niat, lebih peduli pada jumlah likes daripada manfaat. Dalam situasi seperti ini, frasa “Adab dulu, baru konten” menjadi pengingat keras: yang kita cari bukan viralitas, tapi keberkahan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menegaskan prinsip komunikasi yang luhur: berbicaralah untuk kebaikan, atau lebih baik diam. Prinsip yang sama seharusnya menjadi etika dasar setiap konten kreator muslim.

Ketika Kreativitas Bertemu Kehormatan

Kreativitas adalah anugerah. Namun, tanpa adab, kreativitas bisa berubah menjadi kebebasan tanpa arah. Banyak yang berlindung di balik alasan “kreatif” untuk membenarkan candaan yang menghina, parodi yang melecehkan, atau kritik yang merendahkan.

Dalam Islam, kehormatan manusia lebih tinggi nilainya daripada popularitas sesaat. Allah berfirman:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
“Dan sungguh Kami telah memuliakan anak-anak Adam.” (QS. Al-Isrā’ [17]: 70)

Ayat ini menunjukkan bahwa setiap manusia memiliki kehormatan yang harus dijaga — baik di dunia nyata maupun maya. Kreativitas yang benar adalah yang menghormati sesama, bukan yang mengorbankan martabat orang lain demi tawa atau sensasi.

Imam Al-Māwardī juga mengingatkan:

إِذَا غَلَبَ الْهَوَى عَلَى الْعَقْلِ بَطَلَ الرَّأْيُ وَفَسَدَ التَّدْبِيرُ
“Jika hawa nafsu mengalahkan akal, maka rusaklah pandangan dan rusaklah pengelolaan.”

Ketika keinginan untuk tampil lebih kuat daripada adab, maka hilanglah kebijaksanaan dalam berkarya.

Menjadi Penyeru Kebaikan Lewat Konten

Konten yang beradab tidak hanya berhenti pada etika, tapi juga berfungsi sebagai dakwah. Dalam era digital, setiap unggahan bisa menjadi amal jariyah. Satu video yang memberi ilmu, satu tulisan yang menenangkan hati, bahkan satu komentar yang menenangkan bisa menjadi sebab datangnya pahala.

Allah berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan kebajikan, dan berkata: Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Fussilat [41]: 33)

Konten yang beradab menuntun penonton pada nilai-nilai luhur, bukan sekadar menghibur. Ia mengajak tanpa menggurui, menegur tanpa merendahkan, dan menginspirasi tanpa merasa paling suci. Itulah esensi dakwah yang lembut — dakwah yang menyentuh tanpa memaksa.

Adab Digital: Refleksi bagi Kita Semua

Adab di dunia digital bukan hanya untuk para kreator, tapi juga penikmat konten. Setiap kita bertanggung jawab atas apa yang dikonsumsi, disukai, dan dibagikan.  Apa yang kita sukai dan sebarkan di dunia maya menunjukkan siapa diri kita. Jika kita mencintai kebaikan, maka jadilah penyebar kebaikan. Jika kita menghargai adab, maka hormatilah ruang digital dengan cara yang bermartabat.

Pada akhirnya, “Adab dulu, baru konten” bukan sekadar etika teknis, tapi refleksi spiritual. Ia mengingatkan bahwa setiap karya yang keluar dari tangan dan lisan kita adalah cerminan hati.

Adab melahirkan keseimbangan antara akal dan rasa, antara kebebasan dan tanggung jawab. Dengan adab, konten menjadi sarana membangun peradaban, bukan menghancurkannya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ أَحْسَنَكُمْ أَخْلَاقًا
“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Bukhari)

Maka, mari mulai dari diri sendiri. Sebelum menekan tombol unggah, tanyakan: Apakah ini bermanfaat? Apakah ini beradab? Jika iya, teruskanlah. Jika tidak, tahanlah. Sebab, di balik setiap konten ada pertanggungjawaban, dan di balik setiap kata ada nilai moral yang akan kembali kepada kita.

Adab adalah cahaya yang menuntun pena dan kamera kita agar tidak tersesat. Karena sejatinya, dunia digital bukan hanya tentang trending, tapi tentang bagaimana kita menanam jejak kebaikan yang abadi.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement