Surau.co. Di zaman serba digital, kita disuguhi ribuan kutipan inspiratif setiap hari. Di media sosial, banyak yang merasa sudah “mengaji” hanya karena membaca satu dua kalimat motivasi. Padahal, ngaji quotes bukanlah ngaji ilmu. Mengaji dalam Islam bukan sekadar membaca kata-kata bijak, melainkan menempuh perjalanan panjang memahami kebenaran, menyelam dalam makna, dan meneladani amal para ulama.
jangan berhenti pada permukaan kata, tapi dalami makna di baliknya. Sebab, Rasulullah ﷺ bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Hadis ini bukan hanya ajakan, tapi penegasan bahwa ilmu adalah pondasi kehidupan beragama. Tanpa ilmu, ibadah bisa keliru, niat bisa melenceng, bahkan semangat bisa salah arah. Maka, mengaji sejatinya bukan tentang seberapa sering kita membaca kutipan hikmah, tetapi seberapa dalam kita memahami makna dan mengamalkannya.
Ngaji Ilmu: Proses yang Memanusiakan
Ngaji ilmu artinya menuntut pengetahuan dengan rendah hati dan kesungguhan. Dalam kitab Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn, Imam Al-Māwardī menerangkan:
العِلْمُ زَيْنُ الْمَرْءِ وَشَرَفُهُ، وَمَنْزِلَتُهُ فِي الدُّنْيَا وَالدِّينِ
“Ilmu adalah perhiasan manusia, kemuliaannya, dan kedudukan yang mengangkatnya di dunia dan di akhirat.”
Ilmu menumbuhkan akhlak, memperluas pandangan, dan menumbuhkan empati. Ketika seseorang menuntut ilmu, ia belajar memahami bukan hanya “apa yang benar” tapi juga “bagaimana menjadi benar.” Ia tak cepat menghakimi, karena tahu bahwa kebenaran sejati memerlukan konteks dan dalil.
Dalam konteks modern, banyak orang tergoda oleh shortcut wisdom — kutipan cepat yang menenangkan sesaat. Padahal, tanpa dasar ilmu, kutipan itu bisa menjerumuskan pada kesalahpahaman. Ilmu tidak hanya mencerahkan pikiran, tetapi juga menata hati agar tidak sombong oleh sedikit pengetahuan.
Quotes Menyentuh, Tapi Ilmu Menumbuhkan
Kata-kata indah memang bisa menggugah. Ia ibarat embun di pagi hari — menyegarkan sesaat, tapi mudah menguap. Ilmu, sebaliknya, adalah air yang menumbuhkan akar kehidupan. Orang yang belajar sungguh-sungguh tidak hanya terinspirasi, tapi juga terarah. Ia tidak berhenti pada “kata bijak”, melainkan beranjak ke “tindakan bijak”.
Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan perbedaan antara orang berilmu dan tidak:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya hanya orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran.” (QS. Az-Zumar [39]: 9)
Ayat ini menegaskan: ilmu membuat seseorang mampu mengambil pelajaran sejati, bukan sekadar tersentuh emosinya. Quotes bisa memotivasi, tapi ilmu memandu. Ia menuntun langkah dalam kegelapan, sementara kutipan tanpa pemahaman hanya memberi cahaya kilat — terang sekejap, lalu hilang.
Mengaji dalam Tradisi Ulama: Dari Lisan ke Laku
Dalam tradisi Islam klasik, ngaji bukanlah aktivitas pasif. Seorang santri tidak hanya mendengar, tapi juga menghafal, menulis, berdiskusi, dan berdebat dengan adab. Mereka mendalami sanad ilmu — siapa guru, dari mana sumbernya, bagaimana memahami konteksnya. Itulah sebabnya, ulama dulu tidak mudah berbicara tanpa dasar.
Imam Al-Māwardī menjelaskan pentingnya adab sebelum ilmu:
مَنْ تَأَدَّبَ بِالْعِلْمِ نَفَعَهُ، وَمَنْ لَمْ يَتَأَدَّبْ لَمْ يَنْتَفِعْ بِالْعِلْمِ
“Barang siapa belajar dengan adab, maka ilmunya bermanfaat; dan barang siapa belajar tanpa adab, maka ilmunya tidak bermanfaat.”
Ngaji ilmu berarti juga ngaji adab: bagaimana berbicara, bagaimana bersikap terhadap guru, dan bagaimana menahan diri dari klaim kebenaran yang belum utuh. Sebaliknya, ngaji quotes seringkali menjauhkan kita dari kedalaman itu, karena hanya menekankan efek emosional, bukan pembentukan karakter.
Fenomena Media Sosial dan Ilusi Kebijaksanaan
Kita hidup di zaman ketika setiap orang bisa menjadi “ustaz” di media sosial. Cukup mengutip satu hadis tanpa tafsir, atau menulis satu kalimat reflektif, lalu merasa telah “berdakwah.” Padahal, seperti dikatakan Imam Al-Ghazālī, “Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, amal tanpa ilmu adalah kesesatan.”
Kutipan tanpa ilmu sering menimbulkan kesalehan semu: merasa sudah baik, padahal baru tersentuh kulitnya. Lebih berbahaya lagi, quotes yang terpotong dari konteksnya bisa disalahartikan. Misalnya, kata “berserah diri” bisa dimaknai sebagai pasrah tanpa ikhtiar, padahal dalam Islam, tawakal datang setelah usaha.
Ilmu membuat kita hati-hati dalam menafsirkan. Ia mengajarkan proporsionalitas — kapan bicara, kapan diam, dan kapan menelusuri lebih jauh. Karena itu, ngaji ilmu berarti belajar sabar dan teliti, bukan cepat menyimpulkan dari satu kalimat yang viral.
Menghidupkan Tradisi Belajar Sejati
Belajar dalam Islam selalu bernilai ibadah. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan nilai spiritual dari menuntut ilmu. Maka, ngaji ilmu bukan semata menambah wawasan, tetapi juga menumbuhkan kesalehan yang sadar. Seseorang yang mengaji ilmu tahu bahwa belajar adalah bentuk ibadah yang berkelanjutan.
Di tengah kesibukan modern, kita bisa menghidupkan tradisi ngaji sejati dengan hal sederhana: membaca kitab klasik bersama guru, mengikuti kajian tematik dengan catatan serius, atau bahkan berdiskusi dengan niat mencari kebenaran, bukan kemenangan argumen. Semangatnya bukan “siapa yang benar”, tapi “apa yang benar”.
Dari Quotes ke Qalb: Mengubah Inspirasi Menjadi Aksi
Mengaji ilmu bukan berarti menolak quotes. Kutipan bisa menjadi pintu awal — pengantar menuju perenungan yang lebih dalam. Namun, quotes harus mendorong langkah menuju ilmu, bukan menjadi pengganti ilmu. Seorang bijak pernah berkata, “Kata indah itu jembatan, bukan tujuan.”
Artinya, setiap inspirasi harus diterjemahkan menjadi amal. Orang yang benar-benar mengaji ilmu akan berusaha memahami akar persoalan, menimbang sumber, dan bertindak sesuai tuntunan. Ia tidak berhenti pada kata-kata manis, tetapi mengubahnya menjadi tindakan nyata yang memberi manfaat.
Penutup: Kembali ke Jalan Ilmu
Mengaji ilmu adalah perjalanan panjang — tidak selalu mudah, tapi selalu indah. Ia menuntun hati dari keraguan menuju keyakinan, dari kebingungan menuju kebijaksanaan. Sedang ngaji quotes sering berhenti di tepian: menyentuh, tapi belum menumbuhkan.
Maka, mari kita kembali kepada ruh ilmu. Jadikan kutipan sebagai gerbang, bukan tujuan. Mari meneladani para ulama yang belajar dengan rendah hati, mendengar dengan sabar, dan berbicara dengan hati-hati. Karena sejatinya, mengaji ilmu adalah jalan untuk mengenal diri, mengenal Tuhan, dan mengenal makna hidup itu sendiri.
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujādilah [58]: 11)
Mari kita berhenti mengoleksi quotes tanpa arah, dan mulai menapaki jalan ilmu dengan rendah hati. Karena ilmu yang sejati tak hanya membuat kita tahu — tapi membuat kita hidup lebih berarti.
*Gerwin Satria N
Pegiat Literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
