Khazanah
Beranda » Berita » Akal, Sains, dan Self-Awareness: Pelajaran dari Imam al-Māwardī di Era AI

Akal, Sains, dan Self-Awareness: Pelajaran dari Imam al-Māwardī di Era AI

Ilustrasi manusia berpikir di bawah cahaya digital dan spiritual — simbol akal beradab di era kecerdasan buatan
menampilkan manusia duduk merenung di depan layar bercahaya dengan bayangan kubah masjid dan langit malam penuh bintang, simbol keseimbangan antara akal dan iman.

Surau.co. Kita hidup di masa ketika mesin belajar dari data, mengenali wajah, bahkan menulis puisi. Era kecerdasan buatan (AI) membawa manusia ke persimpangan antara kemajuan sains dan kebingungan makna diri. Di satu sisi, akal manusia mencapai puncak penemuan yang menakjubkan. Namun di sisi lain, manusia tampak kehilangan arah tentang siapa dirinya dan untuk apa pikirannya diciptakan.

Di tengah riuhnya kemajuan digital, penting untuk kembali menengok gagasan para pemikir klasik Islam yang menempatkan akal bukan sekadar alat berpikir, tetapi juga sarana mendekat kepada Sang Pencipta. Salah satu tokoh penting yang membahas hal ini adalah Imam al-Māwardī, seorang ulama dan negarawan besar pada abad ke-11. Dalam karya monumentalnya, Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn, beliau menegaskan bahwa akal adalah nikmat terbesar yang memuliakan manusia di antara seluruh makhluk.

الإمام الماوردي: “العقل أفضل مواهب الله تعالى للإنسان، به يعرف مصالح دنياه، ويدرك به سعادة أخراه.”
“Akal adalah anugerah terbaik yang Allah karuniakan kepada manusia. Dengan akal ia mengenali kemaslahatan dunianya, dan dengan akal pula ia meraih kebahagiaan akhiratnya.”
(Imam al-Māwardī, Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn)

Pernyataan ini bukan sekadar kalimat hikmah, melainkan panduan filosofis: bahwa berpikir, memahami, dan menyadari adalah bagian dari ibadah — bukan sekadar kegiatan intelektual.

Akal sebagai Amanah Ilahi

Imam al-Māwardī memandang akal sebagai amanah yang menuntut tanggung jawab moral. Akal bukan milik mutlak manusia, melainkan titipan Allah yang harus digunakan sesuai fitrahnya — yaitu untuk mengenal kebenaran, menimbang baik dan buruk, serta mengarahkan tindakan menuju kebajikan.

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Al-Qur’an berkali-kali menegur manusia yang tidak menggunakan akalnya untuk merenung. Dalam Surat Yunus ayat 100, Allah berfirman:

وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
“Dan Allah menimpakan kehinaan kepada orang-orang yang tidak menggunakan akalnya.” (QS. Yunus: 100)

Ayat ini menunjukkan bahwa akal bukan hanya untuk berpikir logis, tetapi untuk memahami makna kehidupan. Manusia yang berhenti berpikir dengan hati yang bersih akan kehilangan arah — dan justru terjerumus pada kesombongan intelektual.

Dalam konteks era AI, pesan ini menjadi sangat relevan. Kita menciptakan mesin yang mampu belajar, tetapi sering kali lupa belajar tentang diri sendiri. Kita membangun algoritma yang mampu menganalisis perilaku manusia, namun kehilangan kemampuan untuk mengoreksi perilaku kita sendiri. Di sinilah titik rawan peradaban: ketika akal dipuja tanpa arah moral, sains berubah menjadi senjata tanpa hati.

Sains dan Akal: Dua Sayap Pencarian Kebenaran

Imam al-Māwardī menulis bahwa akal adalah kunci untuk memahami sunnatullah, hukum-hukum alam yang Allah tetapkan di dunia. Beliau berkata:

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

“بالعقل تُدرَكُ الأشياءُ على حقائقها، ويُستَدَلُّ بها على خالقها.”
“Dengan akal, manusia memahami hakikat sesuatu dan melalui akal pula ia sampai pada pengetahuan tentang Sang Pencipta.”

Sains, dalam pandangan ini, bukanlah musuh agama. Justru, ia adalah hasil dari akal yang bekerja dengan benar. Ketika akal mencari keteraturan di alam, ia sebenarnya sedang menyingkap kebijaksanaan Ilahi. Maka, belajar sains berarti membaca ayat-ayat kauniyah (ayat Allah di alam semesta).

Namun, Imam al-Māwardī juga memberi peringatan. Akal yang tidak diarahkan dengan iman akan mudah tersesat. Ia menulis, “Akal yang tidak ditemani oleh adab akan menjadi sumber bencana, bukan keberkahan.” Karena itu, ilmu pengetahuan harus disertai kesadaran etis dan spiritual.

Dalam era AI, sains berkembang begitu cepat hingga kadang melampaui kemampuan moral manusia untuk mengendalikannya. Kita menciptakan kecerdasan buatan, tetapi belum tentu kita memiliki kebijaksanaan alami. Kita membangun sistem pintar, tapi kehilangan hikmah — kebijaksanaan yang memandu kecerdasan agar tidak menjadi petaka.

Self-Awareness: Cermin dari Akal Sehat

Kesadaran diri (self-awareness) adalah kemampuan manusia untuk menyadari keberadaannya, tindakannya, dan tanggung jawabnya. Imam al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menyebutkan bahwa salah satu ciri akal yang sempurna adalah “mengetahui diri sendiri sebelum menilai orang lain.”

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

“من عقل نفسه عرف قدرها، ومن جهلها هلك.”
“Barang siapa mengenal dirinya, ia akan mengetahui nilainya; dan barang siapa mengabaikannya, ia akan binasa.”

Ungkapan ini sejalan dengan sabda Nabi ﷺ:

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
“Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.” (HR. al-Baihaqi)

Kesadaran diri bukan sekadar mengetahui apa yang kita pikirkan, tetapi menyadari mengapa kita berpikir demikian. Dalam tradisi Islam, mengenal diri berarti memahami keterbatasan, mengakui kelemahan, dan menundukkan akal di bawah cahaya wahyu.

Di era AI, manusia justru dihadapkan pada ujian kesadaran baru. Kita dikelilingi sistem yang tampak “sadar” — mobil yang bisa mengambil keputusan, asisten digital yang bisa berbicara, algoritma yang bisa menebak emosi. Namun semua itu hanyalah simulasi, bukan kesadaran sejati.

AI tidak memiliki niat, makna, atau tanggung jawab moral. Sementara manusia, dengan anugerah akalnya, diberi kemampuan untuk merenung dan bertanya tentang kebenaran. Maka, perbedaan antara manusia dan mesin terletak bukan pada seberapa cerdas seseorang, tetapi seberapa sadar ia terhadap kebenaran dan makna.

Akal yang Beradab: Panduan Etis di Era Digital

Imam al-Māwardī tidak pernah mengenal istilah “AI”, namun pemikirannya sangat relevan untuk zaman digital. Beliau menekankan bahwa akal harus berjalan seiring dengan adab — yakni tata nilai dan moralitas yang membimbingnya.

“العقل مع الأدب كالضوء مع البصر، لا ينفع أحدهما دون الآخر.”
“Akal tanpa adab seperti cahaya tanpa mata; keduanya tidak akan bermanfaat tanpa yang lain.”

Dalam kalimat ini terkandung makna mendalam: sains dan teknologi hanya akan membawa manfaat jika disertai dengan etika dan tanggung jawab. Akal yang beradab adalah akal yang mampu menahan diri, mengukur dampak, dan menimbang nilai moral sebelum bertindak.

Di era digital, kita menghadapi krisis adab baru. Dunia maya sering kali membuat manusia kehilangan kendali atas emosi dan etika. Kata-kata bisa menyakiti lebih cepat daripada tindakan, dan informasi bisa memicu kebencian lebih besar daripada kebodohan.

Karena itu, kita perlu menghidupkan kembali konsep akal beradab — akal yang tidak hanya cerdas secara logika, tetapi juga matang secara moral dan spiritual. Akal beradab adalah benteng terakhir yang menjaga kemanusiaan di tengah derasnya arus teknologi.

Menemukan Keseimbangan: Antara Akal, Iman, dan Teknologi

Kemajuan teknologi, termasuk AI, seharusnya tidak membuat manusia kehilangan arah spiritual. Justru, ia harus menjadi sarana untuk menguatkan iman. Imam al-Māwardī mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Beliau berkata:

“العقل يهدي إلى الدين، والدين يرشد إلى العقل، فهما قرينان لا يفترقان.”
“Akal menuntun kepada agama, dan agama membimbing akal. Keduanya pasangan yang tidak boleh dipisahkan.”

Ketika akal dan iman berjalan seiring, sains menjadi jalan menuju keindahan, bukan kesombongan. AI bisa menjadi alat untuk kebaikan jika diiringi dengan kesadaran moral. Misalnya, penggunaan kecerdasan buatan dalam kesehatan, pendidikan, dan kemanusiaan adalah bentuk aktualisasi akal yang beradab.

Sebaliknya, ketika akal dipisahkan dari iman, teknologi berubah menjadi ancaman. Ia bisa menipu, memanipulasi, bahkan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu, keseimbangan antara rasio dan ruhani adalah fondasi penting peradaban masa depan.

Penutup: Akal Sebagai Jalan Menuju Kesadaran Tertinggi

Manusia adalah makhluk berpikir, tapi juga makhluk penyembah. Kecerdasan manusia sejati bukan hanya dalam menemukan sesuatu yang baru, melainkan dalam mengenali makna dari apa yang ditemukan.

Imam al-Māwardī mengingatkan, “Akal yang beribadah adalah akal yang menuntun pada kesadaran akan keterbatasan.” Karena di sanalah letak hakikat manusia: bukan pada kepintaran tanpa batas, tetapi pada kesadaran bahwa semua pengetahuan berasal dari Allah.

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali ‘Imran: 190)

Ayat ini menjadi kunci spiritual bagi era AI: bahwa berpikir adalah ibadah, dan memahami adalah jalan menuju kesadaran tertinggi. Akal, sains, dan self-awareness bukan sekadar wacana intelektual, melainkan tangga menuju kebijaksanaan.

Karena pada akhirnya, bukan seberapa canggih mesin yang kita bangun yang menentukan masa depan peradaban, tetapi seberapa dalam manusia memahami dirinya sendiri — dan Tuhannya.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement