Khazanah
Beranda » Berita » Kalau Akal Adalah Kompas, Maka Nafsu Itu Angin Ribut

Kalau Akal Adalah Kompas, Maka Nafsu Itu Angin Ribut

Pria memegang kompas di tepi laut dengan angin bertiup kencang, melambangkan akal sebagai penuntun dan nafsu sebagai ujian hidup.
Ilustrasi filosofis seorang pria berdiri di tepi lautan dengan kompas di tangan, angin berhembus kencang di sekitarnya — simbol keseimbangan antara akal dan nafsu

Surau.co. Hidup manusia selalu berjalan di antara dua kekuatan: akal dan nafsu. Akal memberi arah, sedangkan nafsu menciptakan dorongan. Bila akal adalah kompas yang menuntun ke jalan yang benar, maka nafsu adalah angin ribut yang bisa mengguncang arah perjalanan. Keduanya sama-sama bagian dari diri manusia, tetapi tidak selalu berjalan seirama.

Dalam kehidupan modern yang penuh godaan dan kebisingan, banyak orang kehilangan arah bukan karena tak punya akal, melainkan karena terombang-ambing oleh angin nafsu. Imam al-Māwardī, seorang pemikir besar dalam Islam klasik, menggambarkan hubungan ini dengan sangat tajam dalam karyanya Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn. Beliau menulis bahwa kemuliaan manusia terletak pada kemampuannya menundukkan hawa nafsu dengan kendali akal.

“العقل زمام الشهوات، ومن فقد زمامه ضل عن سواء السبيل.”
“Akal adalah kendali bagi hawa nafsu. Barang siapa kehilangan kendalinya, ia akan tersesat dari jalan yang lurus.”

Dalam kalimat singkat itu, Imam al-Māwardī menegaskan: akal bukan sekadar alat berpikir, melainkan pengemudi kehidupan. Sedangkan nafsu, bila tidak diarahkan, dapat menghempaskan manusia ke jurang yang dalam.

Akal: Kompas yang Menuntun Jalan

Akal dalam pandangan Islam bukan hanya pusat intelektual, melainkan juga sumber kebijaksanaan. Ia menuntun manusia untuk berpikir, menimbang, dan mengambil keputusan yang bijak. Akal adalah anugerah ilahi yang membedakan manusia dari makhluk lainnya.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Seperti kompas di tengah lautan, akal menuntun manusia pada arah kebenaran. Tanpanya, seseorang mudah tersesat dalam kabut keinginan, keserakahan, atau amarah. Akal yang sehat mampu membedakan mana keinginan yang baik untuk jiwa, dan mana yang hanya memuaskan ego sesaat.

Al-Qur’an pun berulang kali menegaskan pentingnya berpikir. Allah berfirman:

“أَفَلَا تَعْقِلُونَ”
“Maka apakah kamu tidak berakal?”
(QS. Al-Baqarah: 44)

Pertanyaan itu bukan sekadar teguran, melainkan ajakan untuk mengaktifkan kompas batin kita. Sebab, orang yang tak menggunakan akalnya ibarat pelaut tanpa arah — ia berlayar, tetapi tidak tahu ke mana menuju.

Nafsu: Angin Ribut dalam Diri

Berbeda dengan akal yang memberi arah, nafsu sering kali menjadi kekuatan liar yang tak mudah dikendalikan. Nafsu mendorong manusia untuk memenuhi keinginan, tetapi tidak semua keinginan membawa kebaikan. Jika dibiarkan, ia dapat berubah menjadi angin ribut yang menghancurkan ketenangan batin.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an:

“إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي”
“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.”
(QS. Yusuf: 53)

Ayat ini menegaskan bahwa nafsu adalah bagian alami dari manusia, namun harus dikendalikan. Ia seperti angin: bila diarahkan, ia bisa menggerakkan layar kapal menuju tujuan; tetapi bila dibiarkan, ia bisa menghancurkan kapal itu sendiri.

Imam al-Māwardī menerangkan:

“من غلب عقله شهوته نجا، ومن غلبت شهوته عقله هلك.”
“Barang siapa akalnya mengalahkan hawa nafsunya, maka ia selamat; dan barang siapa nafsunya mengalahkan akalnya, maka ia binasa.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Keseimbangan antara akal dan nafsu menentukan arah hidup manusia. Ketika nafsu menjadi penguasa, akal berubah menjadi pembenaran bagi kesalahan. Tetapi ketika akal menjadi pengemudi, nafsu bisa diarahkan menjadi energi positif yang mendorong manusia berbuat baik.

Pertarungan Abadi dalam Diri Manusia

Dalam diri setiap manusia, ada pertarungan yang tak pernah berhenti: pertarungan antara logika dan hasrat. Akal mengajak kepada kesabaran, sementara nafsu mendesak pada kepuasan instan. Akal mengajarkan perhitungan jangka panjang, sedangkan nafsu menuntut pemuasan sekarang juga.

Rasulullah ﷺ menggambarkan hakikat perjuangan ini dalam sabdanya:

“المجاهد من جاهد نفسه في الله.”
“Pejuang sejati adalah orang yang berjuang melawan dirinya demi Allah.”
(HR. Tirmidzi)

Perang terbesar bukanlah di medan tempur, melainkan di dalam diri. Akal dan nafsu terus berebut posisi di hati manusia — siapa yang menang, dia yang akan mengendalikan arah hidup.

Imam al-Māwardī menggambarkan dengan indah:

“النفس كالفرس الجامح، والعقل كالسائس، إن تركها شردت، وإن قادها استقامت.”
“Nafsu bagaikan kuda liar, dan akal adalah penunggangnya. Jika dibiarkan, ia akan kabur; tetapi bila dikendalikan, ia akan berjalan lurus.”

Analogi ini begitu kuat. Kuda adalah tenaga; akal adalah arah. Tanpa tenaga, manusia tak bergerak; tapi tanpa arah, manusia bisa jatuh. Maka tugas kita adalah menjadi penunggang yang bijak, bukan budak dari kuda liar yang bernama nafsu.

Akal yang Menuntun Nafsu

Akal tidak diciptakan untuk membunuh nafsu, melainkan untuk menuntunnya. Nafsu yang diarahkan oleh akal bisa menjadi kekuatan luar biasa untuk kebaikan. Keinginan makan bisa menjadi syukur bila dikendalikan; keinginan memiliki bisa menjadi dorongan untuk bekerja; bahkan cinta dunia bisa menjadi jalan menuju cinta Ilahi jika dimaknai dengan benar.

Imam al-Māwardī menerangkan:

“من لم يهذب شهوته أهلكته، ومن لم يسس طبعه أفسده.”
“Barang siapa tidak menata nafsunya, ia akan binasa; dan barang siapa tidak mengatur tabiatnya, ia akan rusak.”

Akal yang menuntun nafsu bekerja seperti kompas di tengah badai. Ia membantu manusia tetap berada di jalur, meski ombak kehidupan menghantam dari segala arah. Namun agar akal bisa berfungsi dengan baik, ia harus dibersihkan dari bias dan keserakahan. Akal yang jernih hanya lahir dari hati yang tenang.

Dalam praktiknya, ini berarti latihan kesadaran diri: mengenali kapan kita berpikir dengan akal sehat, dan kapan kita hanya membenarkan keinginan. Banyak orang tampak rasional, padahal sedang mencari pembenaran bagi hawa nafsu. Di sinilah perlunya kejujuran batin, sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Ghazālī, “Musuh terdekat manusia adalah dirinya sendiri.”

Nafsu yang Terkendali, Hidup yang Tenang

Mengendalikan nafsu bukan berarti mematikannya, tetapi menenangkannya. Nafsu yang tenang disebut an-nafs al-muṭma’innah — jiwa yang damai.

Allah berfirman:

“يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً”
(QS. Al-Fajr: 27–28)
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai.”

Ayat ini menunjukkan bahwa ketenangan sejati hanya dimiliki oleh orang yang mampu menundukkan nafsu dan mengarahkan hidupnya dengan akal yang beriman. Hidup seperti ini tidak liar, tapi juga tidak beku. Ia luwes, terarah, dan penuh makna.

Dalam masyarakat modern, mengendalikan nafsu berarti berani melawan arus: menahan diri dari konsumsi berlebihan, tidak mudah marah di media sosial, tidak tergoda oleh pencitraan. Dalam dunia yang mengagungkan kecepatan, akal mengajarkan jeda. Dan dalam dunia yang menyanjung kesenangan, akal mengingatkan pada kedalaman makna.

Menemukan Keseimbangan Antara Arah dan Angin

Manusia tidak mungkin hidup tanpa nafsu, sebagaimana kapal tidak mungkin berlayar tanpa angin. Namun, angin harus diarahkan oleh kompas dan layar. Akal membantu kita menentukan arah yang benar, sementara nafsu memberi tenaga untuk bergerak. Keduanya tidak perlu bertarung, melainkan bekerja sama dalam harmoni.

Imam al-Māwardī menulis:

“من ملك نفسه بالعقل سعد، ومن قاد عقله بالهوى شقي.”
“Barang siapa menguasai dirinya dengan akal, ia akan bahagia; dan barang siapa menuntun akalnya dengan hawa nafsu, ia akan celaka.”

Kebahagiaan sejati bukanlah bebas dari keinginan, tetapi mampu menempatkan keinginan pada tempatnya. Akal membantu kita mengenali batas, sementara iman memberi makna pada batas itu. Ketika keduanya bekerja bersama, hidup menjadi terarah seperti kapal yang berlayar dengan tenang di bawah bimbingan kompas ilahi.

Penutup: Berlayar dengan Kompas Hati

Kalau akal adalah kompas, maka nafsu adalah angin ribut. Keduanya diciptakan agar manusia bisa berlayar menuju samudra kehidupan. Namun hanya mereka yang tahu cara membaca kompas yang akan selamat dari badai.

Imam al-Māwardī menerangkan:

“العاقل من عقل نفسه، فحملها على الطاعة، وصرفها عن المعصية.”
“Orang berakal adalah yang mampu mengendalikan dirinya: menuntunnya kepada ketaatan dan menjauhkannya dari maksiat.”

Akal yang jernih, nafsu yang tenang, dan hati yang bersyukur — itulah tiga bekal utama untuk perjalanan hidup yang panjang. Sebab pada akhirnya, bukan badai yang menentukan nasib pelaut, tetapi sejauh mana ia mempercayai kompasnya.

Dan di situlah, manusia menemukan arah sejatinya — bukan di peta dunia, tapi di dalam jiwanya sendiri.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement