Khazanah
Beranda » Berita » Bedanya Cerdas, Merasa Cerdas, dan Cerdas yang Beradab

Bedanya Cerdas, Merasa Cerdas, dan Cerdas yang Beradab

Ilustrasi manusia berpikir di bawah cahaya kebijaksanaan, simbol cerdas yang beradab
Seorang manusia berdiri di tengah taman bercahaya dengan dua bayangan besar di belakangnya—satu mewakili kesombongan, satu lagi kebijaksanaan. Dari kepalanya terpancar cahaya lembut, melambangkan akal yang tercerahkan oleh adab

Surau.co. Setiap manusia dianugerahi kemampuan berpikir yang menjadi pembeda utamanya dari makhluk lain. Akal dan kecerdasan adalah hadiah Ilahi yang mulia. Namun di balik anugerah itu, tersembunyi paradoks: tidak semua orang yang tampak cerdas benar-benar bijak, dan tidak semua yang banyak tahu mampu berlaku adab. Di zaman yang penuh informasi ini, sering kali batas antara cerdas dan merasa cerdas menjadi kabur.

Banyak orang mampu berbicara panjang tentang pengetahuan, tapi gagal memahami makna di baliknya. Ada pula yang merasa paling tahu, padahal ilmunya dangkal. Di sisi lain, ada manusia yang tenang, rendah hati, dan beradab—meskipun mungkin tidak menguasai banyak teori, namun hidupnya mencerminkan kebijaksanaan sejati.

Pertanyaan penting pun muncul: kapan kecerdasan menjadi cahaya, dan kapan ia berubah menjadi kesombongan terselubung?

Cerdas: Kecakapan Akal yang Netral

Kecerdasan pada dasarnya adalah kemampuan akal untuk menangkap makna, menganalisis, dan menalar. Akal yang cerdas mampu melihat hubungan sebab-akibat, menimbang risiko, dan menyusun strategi. Dalam pandangan Islam, kecerdasan adalah nikmat yang harus disyukuri dan dijaga, bukan dibanggakan.

Allah ﷻ berfirman:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

وَمَا أُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Isrā’ [17]:85)

Ayat ini mengingatkan bahwa secerdas apa pun manusia, ilmunya tetap terbatas. Maka kecerdasan sejati tidak membuat manusia sombong, tetapi justru semakin sadar akan kebodohannya. Ia seperti mata yang tajam namun tahu ada banyak hal yang tak terlihat.

Dalam konteks sosial, kecerdasan netral. Ia bisa membawa kemajuan atau kehancuran tergantung siapa yang menggunakannya. Akal yang tajam tanpa arah moral dapat menjadi alat manipulasi. Tetapi ketika kecerdasan disertai niat baik, ia menjadi sumber keberkahan.

Imam Al-Mawardi dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn berkata:

العقلُ آلةُ العلمِ، والعلمُ دليلُ العملِ، والعملُ سبيلُ النَّجاةِ.
“Akal adalah alat ilmu, ilmu adalah penunjuk amal, dan amal adalah jalan keselamatan.”

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Dari sini jelas bahwa kecerdasan hanyalah alat. Nilainya terletak pada bagaimana ia dipakai—apakah untuk kebaikan atau kepentingan diri.

Merasa Cerdas: Bahaya Ilmu yang Tak Berbuah Hikmah

Berbeda dengan cerdas sejati, merasa cerdas adalah penyakit halus yang menjangkiti banyak orang terdidik. Orang yang merasa cerdas biasanya haus pengakuan, senang didengar, tapi sulit mendengar. Ia menganggap pandangannya paling benar dan orang lain harus mengikutinya. Padahal, merasa cerdas sering kali menjadi penjara batin yang membuat seseorang buta terhadap kebenaran baru.

Al-Qur’an menggambarkan sikap ini melalui kisah Iblis yang menolak bersujud kepada Adam. Iblis merasa lebih unggul karena asal penciptaannya:

قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ
“(Iblis) berkata: Aku lebih baik darinya; Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A‘rāf [7]:12)

Inilah bentuk merasa cerdas pertama dalam sejarah manusia: ketika logika dipakai untuk menolak perintah Tuhan. Iblis bukan tidak tahu, tapi terlalu merasa tahu. Ia pandai berargumentasi, namun kehilangan kerendahan hati.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Fenomena serupa terjadi di dunia modern. Banyak orang pandai berdiskusi, tapi sedikit yang mau mendengarkan. Banyak yang fasih berbicara tentang moral, tapi enggan mengoreksi diri. Merasa cerdas menimbulkan keangkuhan intelektual yang menutup pintu hikmah.

Rasulullah ﷺ bersabda:

«إِنَّ مِنَ الْبَيَانِ لَسِحْرًا»
“Sesungguhnya sebagian kepandaian berbicara itu adalah sihir.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini mengingatkan, kemampuan berlogika dan berkata indah bisa mempesona, tetapi juga menyesatkan bila tak diiringi ketulusan. Kecerdasan tanpa kerendahan hati hanya akan menjadi ilusi kebenaran.

Cerdas yang Beradab: Puncak Kematangan Akal

Cerdas yang beradab adalah puncak dari perjalanan intelektual dan spiritual manusia. Ia bukan sekadar kemampuan berpikir, tetapi kebijaksanaan dalam menempatkan diri. Orang yang cerdas beradab tahu kapan berbicara dan kapan diam, kapan bertindak dan kapan menahan diri. Ia menjadikan ilmunya sarana pengabdian, bukan alat keangkuhan.

Imam Al-Mawardi menjelaskan:

العقلُ مُقَيَّدٌ بالأدبِ، فإذا أُطلِقَ أفسَدَ.
“Akal harus dibatasi oleh adab; jika dibiarkan bebas tanpa kendali, ia akan merusak.”

Ungkapan ini sangat relevan di era modern, ketika kebebasan berpikir sering disalahartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Padahal, adab adalah pagar yang menjaga agar kecerdasan tidak berubah menjadi keangkuhan.

Cerdas yang beradab juga berarti memahami bahwa ilmu sejati tidak memisahkan antara pengetahuan dan kemanusiaan. Ia tidak menilai orang dari gelar, melainkan dari keluhuran budi. Dalam tradisi Islam, adab selalu mendahului ilmu. Seorang guru bijak dari masa klasik berkata: “Kami belajar adab selama dua puluh tahun, baru kemudian belajar ilmu selama sepuluh tahun.”

Akal yang beradab selalu diiringi rasa takut kepada Tuhan. Allah ﷻ berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.” (QS. Fāṭir [35]:28)

Kecerdasan yang beradab melahirkan rasa takzim kepada kebenaran dan kasih kepada sesama. Ia menyadarkan bahwa semakin banyak seseorang tahu, semakin besar tanggung jawabnya untuk menjaga akhlak.

Antara Cerdas, Merasa Cerdas, dan Cerdas yang Beradab

Untuk memahami perbedaan ketiganya, kita bisa memandangnya seperti tiga tingkatan gunung:

  1. Cerdas — berada di kaki gunung: mampu memproses pengetahuan dan memahami hubungan logis antarhal.
  2. Merasa Cerdas — tersesat di lereng gunung: mengira sudah sampai puncak karena pandangan terbatas oleh kabut ego.
  3. Cerdas yang Beradab — mencapai puncak sejati: dari ketinggian ia melihat bahwa pengetahuan hanyalah jalan menuju kerendahan hati.

Cerdas membuat seseorang tampak tahu; merasa cerdas membuatnya berhenti mencari; sementara cerdas yang beradab membuatnya terus belajar dan semakin tunduk pada kebenaran.

Dalam kehidupan nyata, orang cerdas bisa memimpin, orang merasa cerdas bisa menyesatkan, tetapi orang cerdas beradab mampu menuntun. Karena itu, pendidikan sejati bukan sekadar mencetak orang pintar, tetapi membentuk pribadi yang berilmu dan beradab.

Mendidik Akal agar Beradab

Menjadi cerdas beradab tidak lahir secara instan. Ia adalah hasil latihan batin yang panjang. Ada tiga cara agar kecerdasan tidak menjelma kesombongan:

  1. Mengakui keterbatasan diri.
    Setiap pengetahuan manusia hanyalah setetes dari samudra ilmu Tuhan. Kesadaran ini membuat seseorang tidak mudah menghakimi.
  2. Menundukkan akal di bawah nilai moral dan spiritual.
    Akal yang tidak diarahkan oleh wahyu ibarat pedang tanpa sarung. Ia tajam, tetapi berbahaya.
  3. Menjaga adab dalam ilmu dan dialog.
    Orang yang beradab tidak hanya tahu apa yang dikatakan, tetapi juga bagaimana dan kapan mengatakannya.

Imam Al-Mawardi berkata:

من حَسُنَ أدبُهُ صَحَّ عقلُهُ، ومن صَحَّ عقلُهُ حَسُنَ عملُهُ.
“Siapa yang baik adabnya, sehat akalnya; dan siapa yang sehat akalnya, baik amalnya.”

Adab bukan sekadar etika sosial, tetapi cermin kematangan spiritual. Dengan adab, kecerdasan berubah menjadi cahaya yang menerangi, bukan api yang membakar.

Penutup: Ketika Kecerdasan Menemukan Kerendahan

Kecerdasan sejati bukan tentang siapa yang paling tahu, tetapi siapa yang paling bijak mengakui ketidaktahuannya. Orang yang cerdas bisa menang dalam perdebatan, tetapi orang yang beradab memenangkan hati. Ia tidak butuh pengakuan, karena kebenaran sudah menjadi cahaya di dalam dirinya.

Cerdas membuat manusia berdaya, merasa cerdas membuat manusia sombong, dan cerdas beradab membuat manusia berharga. Maka, marilah kita belajar bukan hanya untuk menjadi pandai, tetapi untuk menjadi manusia yang memahami batas dan tahu tempat berdiri di hadapan Tuhan dan sesama.

Sebab pada akhirnya, kecerdasan tanpa adab hanyalah kilau kaca; sedangkan kecerdasan beradab adalah cahaya yang tak pernah padam di dalam jiwa.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement