Surau.co. Dalam kehidupan modern, banyak orang bangga bisa berpikir logis, cepat, dan rasional. Namun, di tengah kebisingan dunia digital, kemampuan berpikir sering berhenti di tataran logika tanpa menjelma menjadi laku spiritual. Padahal, dalam khazanah Islam klasik, akal bukan sekadar alat berpikir, melainkan jembatan menuju kebijaksanaan.
Imam al-Māwardī, seorang ulama dan pemikir besar abad ke-11, mengajarkan hal ini dengan cara yang memukau. Dalam karyanya Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn, beliau menunjukkan bagaimana akal, bila diarahkan dengan benar, bisa menjadi jalan menuju kesalehan dan ketenangan jiwa. Melalui “ngaji akal” bersama beliau, kita belajar bahwa logika bukan akhir dari perjalanan berpikir, tetapi pintu menuju laku spiritual.
Akal dalam Pandangan Imam al-Māwardī
Imam al-Māwardī berkata:
“العقل أساس الدين وعماد الدنيا، فمن زال عقله زال دينه ودنياه.”
“Akal adalah dasar agama dan tiang dunia. Barang siapa kehilangan akalnya, maka hilanglah agamanya dan dunianya.”
Bagi beliau, akal bukan sekadar kemampuan berpikir, tetapi fondasi yang menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat. Tanpa akal yang sehat, manusia akan kehilangan arah, baik dalam berpikir maupun dalam beriman.
Imam al-Māwardī juga menegaskan bahwa akal adalah anugerah Ilahi yang harus dijaga dan disucikan. Beliau berkata:
“العقل جوهر كريم به يتميز الإنسان عن الحيوان.”
“Akal adalah permata berharga yang membuat manusia berbeda dari makhluk lain.”
Melalui pandangan ini, kita diajak untuk tidak hanya menggunakan akal dalam logika, tetapi juga memeliharanya agar tetap jernih. Akal yang jernih tidak lahir dari banyaknya bacaan semata, melainkan dari hati yang bersih dan pikiran yang tenang.
Logika Tanpa Laku Adalah Kering
Kecerdasan logika penting, tetapi bila berhenti pada analisis, ia menjadi kering dan tak bernyawa. Banyak orang pintar dalam teori, tetapi lemah dalam praktik kebijaksanaan. Dalam hal ini, Imam al-Māwardī mengingatkan bahwa pengetahuan tanpa amal akan kehilangan makna.
Beliau menulis dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn:
“العلم بلا عمل جنون، والعمل بلا علم لا يكون.”
“Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu tidak akan terjadi.”
Artinya, logika yang tidak diterjemahkan dalam laku adalah logika yang mati. Ia bagaikan pohon tinggi tanpa buah. Akal harus menuntun tindakan, dan tindakan harus memperkaya akal. Inilah esensi “ngaji akal” dalam pandangan Islam klasik: berpikir bukan sekadar memahami, tetapi juga menjalani.
Dalam konteks modern, pesan ini sangat relevan. Kita hidup di era yang penuh informasi, tetapi miskin refleksi. Orang cepat berpendapat, namun lambat merenung. Padahal, berpikir sejati tidak berhenti pada “apa yang benar”, tetapi juga “bagaimana menjadi benar”.
Ngaji Akal: Mengolah Pikiran Menjadi Hikmah
Kata ngaji berarti belajar dengan niat mencari makna, bukan sekadar menghafal. Maka, “ngaji akal” berarti belajar memahami kehidupan melalui refleksi mendalam. Imam al-Māwardī menempatkan akal bukan hanya sebagai alat berpikir, tetapi sebagai guru yang menuntun pada hikmah.
Beliau berkata:
“من عقل عرف مواضع الصواب، ومن جهل ضل في متاهات الخطأ.”
“Barang siapa berakal, ia akan mengenal tempat kebenaran; dan barang siapa jahil, ia akan tersesat dalam kesalahan.”
Akal yang sehat akan menuntun manusia pada keseimbangan antara berpikir dan merasa. Ia tidak hanya menimbang dengan logika, tetapi juga mendengar bisikan hati. Inilah yang disebut hikmah — kebijaksanaan yang tumbuh dari pengetahuan dan pengalaman yang diolah dengan akal yang jernih.
Dalam Al-Qur’an, Allah sering memuji orang-orang yang berpikir:
“إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ”
(QS. Āli ‘Imrān: 190)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”
Ayat ini menegaskan bahwa akal bukan hanya untuk memecahkan rumus, tetapi untuk menemukan makna hidup. Orang yang berpikir dengan jernih akan melihat tanda-tanda Tuhan di sekitarnya.
Dari Logika ke Laku Spiritual
Laku spiritual bukan berarti meninggalkan akal. Justru, ia adalah kelanjutan dari akal yang tercerahkan. Akal membantu manusia mengenali kebenaran, sementara laku spiritual membuat kebenaran itu hidup dalam diri.
Imam al-Māwardī menerangkan:
“العقل إذا زانه الدين صار بصيرة، وإذا خلا منه صار حيلة.”
“Akal yang dihiasi agama menjadi pandangan yang jernih; namun bila kosong dari agama, ia hanya menjadi tipu daya.”
Kata basīrah (pandangan batin) menunjukkan bahwa akal yang dibimbing iman akan melahirkan cahaya spiritual. Ia tidak hanya tajam dalam analisis, tetapi juga halus dalam rasa. Orang seperti ini tidak hanya tahu kebaikan, tetapi juga mencintainya.
Laku spiritual berarti menghidupkan ilmu dalam tindakan, menjadikan akal sebagai pengantar menuju hati. Ketika pikiran dan hati bersatu, muncullah manusia yang bijaksana — yang tidak hanya tahu apa yang benar, tetapi juga menjadi orang yang benar.
Akal yang Beriman, Hati yang Berpikir
Sering kali manusia terjebak dalam dua ekstrem: terlalu rasional hingga dingin, atau terlalu emosional hingga buta. Islam mengajarkan jalan tengah: berpikir dengan hati, dan merasa dengan akal.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“إنما شفاء العي السؤال.”
“Obat bagi kebodohan adalah bertanya.”
(HR. Abu Dawud)
Hadits ini menunjukkan bahwa berpikir adalah bagian dari ibadah. Bertanya adalah tanda kehidupan akal. Namun, berpikir juga harus disertai keikhlasan hati. Sebab, tanpa hati yang bersih, akal bisa menjadi sombong dan menyesatkan.
Imam al-Māwardī mengingatkan:
“من فسد قلبه، لم ينفعه عقله.”
“Barang siapa hatinya rusak, akalnya tidak akan bermanfaat.”
Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa kecerdasan sejati adalah harmoni antara pikiran dan hati. Akal yang beriman tidak akan sombong; ia akan tunduk kepada kebenaran yang datang dari Allah.
Menemukan Tuhan Melalui Akal
Akal sejati tidak berhenti pada pengetahuan, tetapi terus mencari makna. Ia tidak puas hanya dengan sebab, tetapi ingin menemukan “siapa” di balik sebab itu. Inilah jalan spiritual yang ditempuh para ulama.
Al-Qur’an mengajak manusia untuk berpikir agar mengenal Tuhan:
“سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ”
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Dia adalah yang benar.” (QS. Fussilat: 53)
Imam al-Māwardī menafsirkan ayat ini secara filosofis: akal adalah jendela untuk melihat tanda-tanda Tuhan di dunia dan dalam diri manusia. Dengan akal, manusia mengenal ciptaan; dengan iman, manusia mengenal Pencipta.
Ngaji akal berarti berjalan di dua dunia: dunia ilmu yang tampak, dan dunia makna yang tersembunyi. Keduanya berpadu, menuntun manusia pada pengenalan hakikat.
Ngaji Akal di Zaman Digital
Di era media sosial dan kecerdasan buatan, ngaji akal menjadi semakin penting. Kita dikelilingi oleh informasi yang deras, tetapi tidak semuanya membawa kebijaksanaan. Akal yang tidak dilatih bisa mudah tertipu oleh opini, manipulasi, atau emosi sesaat.
Imam al-Māwardī memberi nasihat yang relevan hingga kini:
“من لم يملك فكره، ملكه فكره.”
“Barang siapa tidak menguasai pikirannya, maka pikirannya akan menguasainya.”
Pesan ini mengingatkan kita agar tetap memegang kendali atas pikiran. Ngaji akal di era digital berarti belajar memilah mana yang layak dipikirkan, mana yang perlu dilepaskan. Akal yang disiplin akan melahirkan ketenangan, sedangkan akal yang liar hanya membawa kegelisahan.
Ketika akal jernih, hati menjadi lapang. Dan di situlah ruang bagi laku spiritual tumbuh — bukan sebagai pelarian, tetapi sebagai peneguh makna hidup.
Penutup: Dari Logika Menuju Cahaya Jiwa
Ngaji akal bersama Imam al-Māwardī bukan sekadar belajar logika, tetapi menata cara hidup. Akal adalah jalan, bukan tujuan. Ia harus menuntun manusia dari berpikir menuju memahami, dari mengetahui menuju menjalani, dari logika menuju cahaya jiwa.
Imam al-Māwardī menutup pelajaran tentang akal dengan kalimat penuh makna:
“إذا استقام العقل، حسن العمل، وصلح القلب.”
“Apabila akal lurus, amal menjadi baik, dan hati menjadi bersih.”
Akal yang lurus menuntun pada amal yang tulus. Dan amal yang tulus akan menumbuhkan ketenangan batin. Dari sinilah lahir manusia yang tidak hanya cerdas secara rasional, tetapi juga lembut secara spiritual — manusia yang berpikir dengan iman dan beriman dengan akal. Sebab sejatinya, ngaji akal adalah perjalanan panjang dari kepala menuju hati.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
