Khazanah
Beranda » Berita » Jejak Islam di Nusantara: Dari Dinasti Umayyah ke Samudra Pasai

Jejak Islam di Nusantara: Dari Dinasti Umayyah ke Samudra Pasai

Ilustrasi asimilasi kebudayaan Islam di Nusantara.
Ilustrasi asimilasi kebudayaan Islam di Nusantara.

SURAU.CO-Keberhasilan proses Islamisasi di Indonesia sebagai agama pendatang memaksa Islam untuk mendapatkan simbol-simbol kultural yang selaras dengan kemampuan penangkapan dan pemahaman masyarakat yang akan mereka masuki. Langkah ini merupakan salah satu sifat dari agama Islam yang plural, yang dimilikinya semenjak awal kelahirannya. Sejarah tidak pernah mencatat kedatangan agama Islam langsung mendirikan kerajaan Islam. Sebaliknya, antara datangnya agama Islam dengan berdirinya sebuah kerajaan Islam melintasi waktu yang cukup lama. Sementara itu, sebelum agama Islam masuk, kerajaan yang mendapat pengaruh agama Hindu dan Buddha telah berdiri. Karena itulah, agama baru yang masuk memerlukan proses yang lama baru dapat diterima oleh masyarakat sebagai agama.

Abad Keemasan dan Peran Pedagang Muslim

Abad 7–8 M adalah zaman keemasan Dinasti Umayyah, kemudian Dinasti Abbasiyah. Pada masa itu pula, pedagang-pedagang Muslim yang terdiri dari orang-orang Arab, India, dan Gujarat melakukan kegiatan perniagaan ke daerah Timur Jauh dan Asia Tenggara. Jika kita perhatikan, abad itu adalah masa Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya. Ketika itu, Selat Malaka merupakan daerah pengawasan Sriwijaya, tetapi pedagang-pedagang Muslim sudah melalui jalur pelayaran tersebut.

Berdasarkan berita Cina dari Dinasti T’ang, disebutkan bahwa masa itu pedagang Muslim sudah ada, baik yang bermukim di Kanfu (Canton) maupun di daerah Sumatra sendiri. Kegiatan kerajaan Islam di bawah Dinasti Umayyah di bagian barat serta Kerajaan Cina di bagian timur memungkinkan perdagangan meningkat pada masa itu. Kedua kerajaan ini telah meramaikan jalur perdagangan lewat Asia Tenggara di bawah Sriwijaya.

Penguasaan Selat Malaka oleh Sriwijaya sangat penting karena Selat Malaka merupakan kunci bagi pelayaran dan perdagangan internasional masa itu. Kedatangan pedagang-pedagang Muslim tidak terasa akibatnya bagi kerajaan di Asia Tenggara dan Timur Jauh. Akan tetapi, dua abad kemudian, yaitu abad ke-9, petani Cina telah melakukan pemberontakan. Dalam pemberontakan tersebut, masyarakat Muslim di sana turut serta, dan banyak di antaranya yang terbunuh. Sebagian penduduk Muslim yang selamat melarikan diri dan menetap di Kedah. Kaisar Cina yang mereka berontak itu adalah Hi-Tsung (878–879) dari Dinasti T’ang.

Kaum Muslimin yang menetap itu kemudian melakukan kegiatan politik. Hal ini berakibat terjadinya pertentangan antara Sriwijaya dengan negeri Cina, karena Kedah berada di bawah perlindungan Sriwijaya.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Berdirinya Kerajaan Islam Pertama dan Daya Tarik Islam

Kondisi Sriwijaya pada abad ke-13 sudah mulai menurun, dan perdagangannya sudah lemah. Hal itu merupakan situasi yang menguntungkan bagi pedagang Muslim. Pedagang-pedagang Muslim di beberapa daerah memperoleh keuntungan politik. Dalam hal itu, mereka menjadi pendukung politik berdirinya kerajaan yang bercorak Islam. Kerajaan pertama yang terbentuk dengan corak Islam ini adalah kerajaan Samudra Pasai, yang berdiri pada abad ke-13.

Jika pada abad ke-13 kerajaan yang bercorak Islam sudah ada di Nusantara, maka ini berarti bahwa proses hubungan kaum Muslim dengan pribumi yang bergaul dalam waktu yang lama telah menghasilkan berdirinya sebuah institusi kerajaan yang bercorak Islam. Hal ini berarti pula bahwa orang pribumi telah berhubungan dan mengenal Islam melalui kegiatan perdagangan. Pedagang-pedagang yang menetap di pelabuhan-pelabuhan mendapat simpati dari penduduk pribumi, terlebih lagi masyarakat golongan bangsawan, karena pedagang Muslim ini memegang peranan penting dalam dunia perdagangan. Kaum bangsawan dan raja-raja memiliki saham di dunia perdagangan itu.

Hal yang mempermudah adalah karena Islam tidak mengenal adanya kasta. Seorang pemeluk agama Hindu dari kasta Sudra, yaitu kasta yang paling rendah dalam masyarakat Hindu, akan memiliki derajat yang sama dengan setiap pemeluk Islam lainnya apabila dia masuk agama Islam. Hal ini berarti bahwa setiap Muslim mempunyai kewajiban untuk mengajak umat lain memeluk agama Islam. Ini berbeda dengan agama Hindu; kewajiban seperti itu hanya dimiliki kasta Brahmana, kasta tertinggi di kalangan masyarakat Hindu.

Temuan Tome Pires

Seorang musafir Portugis, Tome Pires, yang berlayar di sebagian besar daerah Nusantara pada permulaan abad ke-16 (1512–1515), menyebutkan bahwa hampir seluruh pesisir utara Jawa dan Sumatra sudah menganut agama Islam, dan banyak kerajaan yang bercorak Islam sudah ada, hanya beberapa daerah pedalaman yang belum menganut Islam.

Lebih mengherankan lagi, ketika Kerajaan Majapahit sedang mencapai puncak kejayaannya, kelompok kaum Muslimin telah terdapat di jantung ibukota Majapahit. Hal ini terbukti dengan ditemukannya kelompok makam orang Islam yang bertuliskan angka tahun dari abad 14 dan 15 di sekitar Trowulan, Mojokerto. Kenyataan ini memperkuat dugaan bahwa di daerah pantai utara Jawa Timur, khususnya sekitar Gresik, adalah daerah permukiman kaum Muslimin dan tempat kegiatan perdagangan serta sosial. Kita dapat melihat hal ini dari bukti ditemukannya sebuah batu nisan berangka tahun 475 H atau 1082 M, yaitu makam Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik.(St.Diyar)

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Referensi: Binuko Amarseto, Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia, 2015


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement