SURAU.CO. Beberapa waktu lalu, publik Indonesia dikejutkan sebuah peristiwa. Kang Dedi Mulyadi (Gubernur Jawa Barat) melakukan sidak ke pabrik air minum kemasan. Lokasinya di Subang, Jawa Barat. Dengan gaya khasnya, Dedi menelusuri pabrik itu. Ia bertanya lugas, “Airnya dari mana? Dari mata air pegunungan?” Seorang petugas menjawab jujur. “Dari sumur bor, Pak.”
Jawaban itu membuat Dedi tertegun. Ia mengulang pertanyaannya. “Sumur bor? Saya kira dari mata air.”
Percakapan singkat ini terekam. Video tersebut merupakan unggahan di kanal youtube Kang Dedi Mulyadi Channel. Kemudian, video itu viral di media sosial. Bukan karena sensasional, tapi karena menyinggung nurani publik. Masyarakat mengenal air kemasan sebagai “air pegunungan alami”. Namun, kenyataannya lebih kompleks dari yang dibayangkan.
Klarifikasi Perusahaan dan Perspektif Ilmiah
Pihak PT Tirta Investama (Aqua) segera memberi klarifikasi. Mereka menyatakan bahwa airnya bukan dari “sumur bor biasa”. Air berasal dari akuifer dalam di wilayah pegunungan. Kedalamannya 60–140 meter. Akuifer ini terlindungi lapisan kedap air. Akuifer tersebut juga bebas kontaminasi. Penentuan sumbernya melalui penelitian panjang. Ahli geologi, hidrogeologi, dan mikrobiologi dari UGM dan Unpad terlibat.
Aqua juga menegaskan kontribusi konservasi mereka. Lebih dari 2,5 juta pohon telah mereka tanam. Mereka membangun 2.300 sumur resapan. Mereka mengembalikan air lebih banyak dari yang diambil. Ini melalui program konservasi berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS). Mereka memastikan tidak ada gangguan pada sumur warga. Sumber air yang digunakan bersifat self-flowing. Air tersebut mengalir alami dan berada di sistem air tanah yang berbeda.
Meski penjelasan ini terdengar ilmiah dan legal, ada sesuatu yang mengusik. Persoalan etika dan rasa keadilan tetap menjadi pertanyaan.
Air dalam Islam: Hak Publik dan Amanah Lingkungan
Dalam Islam, air adalah rahmat dan amanah. Allah Swt berfirman:
اَوَلَمْ يَرَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَنَّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنٰهُمَاۗ وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاۤءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّۗ اَفَلَا يُؤْمِنُوْنَ
Latin:
a wa lam yaralladzina kafaru annas-samâwâti wal-ardla kânata ratqan fa fataqnahuma, wa ja‘alna minal-ma’i kulla syai’in ḫayy, a fa la yu’minun
Arti:
Apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi, keduanya, dahulu menyatu, kemudian Kami memisahkan keduanya dan Kami menjadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air? Maka, tidakkah mereka beriman?
Rasulullah Muhammad Saw juga menegaskan:
“Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud)
Hadis ini menjadi landasan bahwa air adalah hak publik (haqq al-‘am). Air bukan milik eksklusif siapa pun. Pengelolaan air yang menghilangkan akses masyarakat menyalahi maqaṣid syari‘ah di mana tujuan utamanya adalah menjaga kehidupan (ḥifẓ al-nafs). Ini juga termasuk menjaga lingkungan (ḥifẓ al-bi’ah).
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menegaskan bahwa menjual air tidak dilarang, selama tidak menutup hak masyarakat untuk mendapatkan air bersih. Bila air dikomersialkan, orang miskin akan sulit meminumnya. Maka, air telah berubah dari rahmat menjadi alat ketimpangan.
Hukum Positif dan Realitas Lapangan
Hukum positif Indonesia sejatinya sejalan dengan prinsip keadilan Islam. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air menegaskan bahwa air dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Swasta boleh mengusahakan, tetapi dengan izin dan kewajiban menjaga konservasi.
Namun, kenyataan di lapangan sering berbicara lain. Di kaki gunung tempat pabrik berdiri, warga justru membeli air galon tiap minggu. Sumur mereka mengering, sementara truk-truk tangki melaju ke kota membawa ribuan liter air. Regulasi berjalan, teknologi berputar, tetapi nurani dan keadilan tertinggal di belakang.
Pelanggaran Keseimbangan Kosmik
Dalam pandangan Islam, kerusakan alam bukan sekadar kesalahan teknis, tapi pelanggaran terhadap keseimbangan kosmik (mizan). Manusia bukan pemilik bumi, melainkan khalifah yang wajib menjaga harmoni ciptaan. Sayyid Quthb dalam tafsirnya menulis, “Ketika manusia kehilangan adab terhadap alam, rusaklah keseimbangan kehidupan.” Bila air disedot tanpa kendali, yang kering bukan hanya tanah, tapi juga nurani.
Air adalah ujian moral manusia modern. Di satu sisi teknologi menjanjikan kemudahan, namun di sisi lain kapitalisme menjadikan air sekadar angka laba. Yusuf al-Qaradawi mengingatkan, “Kerusakan ekologis adalah dosa sosial.” Saat air diperdagangkan tanpa adab, manusia sejatinya tengah menjual kesuciannya sendiri.
Sidak Kang Dedi Mulyadi mengingatkan kita: sumur terdalam bukanlah sumur bor, melainkan sumur nurani. Air tanah bisa dikuras, tapi hati yang kering lebih berbahaya. Sebelum meneguk air, mari meneguk kesadaran — bahwa air yang jernih menyehatkan tubuh, sementara nurani yang jernih menyehatkan peradaban.(kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
