Khazanah
Beranda » Berita » Kapan Akal Jadi Berkah, Kapan Jadi Petaka?

Kapan Akal Jadi Berkah, Kapan Jadi Petaka?

Ilustrasi manusia duduk di antara cahaya dan api, simbol keseimbangan akal sebagai berkah atau petaka.
Seorang manusia duduk di tengah dua sisi cahaya dan api — sebelah kiri bercahaya lembut melambangkan berkah akal, sebelah kanan menyala merah melambangkan petaka akal. Nuansa realistik, penuh simbolisme spiritual dan filosofis.

Surau.co. Tuhan menganugerahkan akal sebagai karunia agung kepada manusia. Dengan akal, manusia bisa membedakan yang benar dari yang salah, menimbang manfaat dan mudarat, serta menemukan jejak kebesaran Sang Pencipta di setiap peristiwa hidup. Namun, akal tidak otomatis menjamin keselamatan. Sebab, di tangan yang salah, akal justru berubah menjadi alat kesombongan dan sumber petaka yang menjerumuskan manusia dari cahaya menuju kegelapan.

Berkah akal hadir ketika manusia menundukkannya di bawah bimbingan wahyu dan nurani yang jernih. Sebaliknya, akal menimbulkan bencana ketika ia menjelma menjadi penguasa angkuh yang menolak kebenaran, menantang fitrah, dan menakar segalanya hanya dengan logika duniawi. Karena itu, manusia harus memahami kapan akal menjadi berkah dan kapan ia menjelma menjadi musibah. Kesadaran inilah yang menjaga kita tetap di jalan lurus.

Al-Qur’an sering memuji orang-orang berakal dengan sebutan ulul albab — mereka yang berpikir bukan untuk membantah, melainkan untuk menemukan makna. Allah ﷻ berfirman:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Āli ‘Imrān [3]:190)

Ayat ini menegaskan bahwa akal sejati selalu menuntun manusia pada kesadaran spiritual, bukan pada kesombongan intelektual.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Akal: Berkah yang Menuntun ke Jalan Hikmah

Akal menjadi berkah ketika manusia menggunakannya untuk menegakkan kebaikan dan menundukkannya pada kebenaran. Ia sadar bahwa kebenaran tidak selalu bisa diukur oleh logika semata. Akal seperti ini menjadi jembatan yang menyatukan ilmu dengan iman, sains dengan spiritualitas, serta dunia dengan akhirat.

Rasulullah ﷺ bersabda:

«مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ»
“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, niscaya Dia memahamkannya dalam agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pemahaman dalam agama tidak lahir dari hafalan kosong, melainkan dari akal yang merenung dan hati yang tunduk. Ketika manusia memakai akalnya untuk memahami hikmah di balik takdir, mencari kebenaran dengan rendah hati, dan memperjuangkan keadilan tanpa pamrih, ia menjadikan akalnya sumber berkah bagi diri dan sesama.

Imam al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menegaskan:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

وَالعَقلُ أَشْرَفُ مَا أُعْطِيَ الإِنسَانُ، فَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِي الخَيْرِ كَانَ نُورًا، وَإِذَا صُرِفَ فِي الشَّرِّ كَانَ نَارًا.
“Akal adalah karunia termulia yang diberikan kepada manusia; bila digunakan untuk kebaikan, ia menjadi cahaya, namun bila disalahgunakan untuk kejahatan, ia menjadi api.”

Kutipan ini menunjukkan bahwa arah penggunaan akal menentukan nilainya. Akal bisa menjadi nur yang menerangi, atau bara yang membakar.

Akal yang diberkahi melahirkan kebijaksanaan sejati. Ia tidak tergesa-gesa, tidak dikuasai emosi, dan tidak sombong atas ilmunya. Akal semacam itu tahu kapan harus berpikir, kapan diam, dan kapan bersujud. Di situlah akal bertemu dengan adab.

Ketika Akal Menjelma Petaka

Namun, akal bisa berubah menjadi petaka ketika manusia memutus bimbingan wahyu. Pada titik ini, akal merasa cukup dengan dirinya sendiri. Ia menganggap kebenaran hanya sebatas yang dapat dijangkau nalar, lalu menolak hal-hal di luar logikanya. Padahal, akal manusia memiliki batas sebagaimana mata tidak mampu menatap cahaya yang terlalu terang.

Allah ﷻ berfirman:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
“Maka ketika mereka menyimpang, Allah pun memalingkan hati mereka.” (QS. Ash-Shaff [61]:5)

Ketika kesombongan menyeret akal, hati menjadi keras dan tertutup. Manusia seperti ini memakai kecerdasannya untuk menipu, membenarkan kesalahan, dan menolak kebenaran. Akalnya tak lagi menuntun ke cahaya, melainkan menjerat dalam kegelapan ego.

Sejarah mencatat banyak peradaban runtuh karena manusia terlalu percaya pada akalnya sendiri. Mereka menggunakan ilmu tanpa hikmah, teknologi tanpa etika, dan logika tanpa nurani. Akal seperti ini ibarat pisau tajam tanpa sarung — berkilau, tapi mematikan.

Akal dan Nafsu: Pertarungan Abadi

Dalam diri manusia, dua kekuatan besar selalu bertarung: akal dan nafsu. Akal mengajak menuju kebaikan, sedangkan nafsu menggoda untuk mengejar kesenangan sesaat. Ketika akal menang, manusia naik derajatnya di sisi Tuhan. Namun ketika nafsu menguasai akal, manusia justru jatuh lebih rendah dari binatang.

Imam al-Māwardī berkata:

النَّفْسُ إِذَا غَلَبَتِ العَقْلَ أَهْلَكَتْهُ، وَإِذَا غَلَبَهَا العَقْلُ أَحْيَتْهُ.
“Ketika nafsu mengalahkan akal, ia membinasakannya. Namun ketika akal mengalahkan nafsu, ia menghidupkannya.”

Kemenangan akal atas nafsu tidak berarti manusia harus mematikan hasratnya. Sebaliknya, ia perlu menundukkan keinginan agar tetap berjalan dalam koridor kebaikan. Bila nafsu mengendalikan akal, maka akal berubah menjadi alat pembenaran bagi keinginan.

Dalam kehidupan modern, pertarungan ini terlihat jelas. Banyak orang menggunakan akalnya untuk membenarkan gaya hidup konsumtif, menjustifikasi ketidakjujuran, atau melegitimasi ambisi yang serakah. Padahal, akal sejati justru mengajarkan kesederhanaan, kejujuran, dan keseimbangan.

Batas Akal dan Keagungan Wahyu

Akal memiliki wilayah kerja: ia mampu menganalisis dan menimbang, tetapi tidak mampu menembus yang ghaib. Karena itu, Islam menuntun akal agar berjalan di bawah cahaya wahyu. Wahyu tidak pernah menjadi musuh akal; justru wahyu adalah kompasnya.

Keduanya saling melengkapi — ibarat mata dan cahaya. Mata tanpa cahaya tak bisa melihat, sedangkan cahaya tanpa mata tak bisa ditangkap. Demikian pula akal tanpa wahyu hanya menebak-nebak, dan wahyu tanpa akal tak akan dipahami. Dalam keseimbangan keduanya, manusia menemukan arah hidupnya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

«إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ… رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ عِلْمًا فَهُوَ يَعْمَلُ بِهِ وَيُعَلِّمُهُ، فَهُوَ فِي أَفْضَلِ المَنَازِلِ»
“Sesungguhnya dunia ini untuk empat golongan… di antaranya, seorang yang Allah beri ilmu, lalu ia mengamalkannya dan mengajarkannya; dialah yang berada di derajat terbaik.” (HR. Tirmidzi)

Akal yang disinari wahyu akan melahirkan ilmu yang bermanfaat. Ia tidak hanya pintar, tapi juga bijak; tidak hanya cerdas, tapi juga bersih hatinya. Sebaliknya, akal yang memutus hubungan dengan wahyu melahirkan kekacauan nilai dan kehampaan makna.

Ketika Akal Menjadi Cermin Hati

Akal mencerminkan isi hati. Jika hati jernih, akal akan menuntun menuju kebenaran. Namun jika hati keruh, akal justru menutupi kesalahan. Karena itu, kebersihan hati menjadi syarat utama bagi kejernihan berpikir.

Imam al-Māwardī berkata:

إِذَا صَفَا القَلْبُ نَوَّرَ العَقْلَ، وَإِذَا كَدِرَ أَظْلَمَ العَقْلُ.
“Apabila hati jernih, ia akan menerangi akal. Tetapi apabila hati kotor, ia menggelapkan akal.”

Manusia modern sering lelah secara intelektual, bukan karena kurang pengetahuan, tetapi karena kehilangan kejernihan hati. Mereka berpikir keras, namun gagal menemukan kedamaian. Padahal, kebijaksanaan sejati lahir bukan dari banyaknya pikiran, melainkan dari hati yang tenang dan bersih dari keserakahan.

Penutup: Jadikan Akal Cahaya, Bukan Bara

Akal adalah berkah besar yang bisa berubah menjadi petaka bila manusia salah arah. Ia menjadi cahaya ketika digunakan untuk mencari kebenaran, melindungi kehidupan, dan memperkuat keimanan. Namun ia berubah menjadi bara ketika digunakan untuk menipu, menindas, dan menentang fitrah.

Kita memang tak bisa berhenti berpikir, tetapi kita bisa memilih cara berpikir. Jadikan akal sebagai jembatan menuju Tuhan, bukan tembok yang memisahkan dari-Nya. Sebab, akal yang diberkahi adalah akal yang sadar akan keterbatasannya dan tunduk kepada Yang Maha Tahu.

Maka, marilah kita menjadikan akal bukan sekadar alat untuk menang berdebat, melainkan sarana untuk mengenal kebenaran dan menebar kebijaksanaan. Sebab, pada akhirnya, keselamatan bukan ditentukan oleh seberapa cerdas kita berpikir, melainkan oleh seberapa jujur kita menggunakan akal untuk mendekat kepada Tuhan

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement