Surau.co. Kita hidup di zaman ketika otak bekerja tanpa jeda. Bahkan di saat tubuh beristirahat, pikiran masih menari di panggung kekhawatiran. Kita merenung terlalu dalam, memutar ulang hal yang telah lewat, dan menebak masa depan yang belum tentu terjadi. Fenomena ini dikenal sebagai overthinking — berpikir berlebihan hingga akal kehilangan arah.
Banyak yang mengira bahwa overthinking adalah tanda kedewasaan dan kecerdasan. Padahal, berpikir terlalu jauh sering kali menjauhkan kita dari akal sehat yang sejati. Imam al-Māwardī, ulama besar abad ke-11 yang menulis karya monumental Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn, mengingatkan bahwa akal yang sehat adalah akal yang mengenali batasnya, menimbang dengan jernih, dan menuntun hati untuk tenang, bukan tersiksa.
Dalam salah satu ungkapannya, beliau berkata:
“العقل آلة الدين والدنيا، فمن عطل عقله أفسد أمره كله.”
“Akal adalah alat bagi urusan agama dan dunia. Barang siapa menonaktifkan akalnya, ia telah merusak seluruh urusannya.”
Overthinking justru menonaktifkan akal dengan membebani pikiran pada hal yang tidak nyata. Maka, berpikir sehat bukan berarti berpikir tanpa henti, melainkan berpikir dengan kendali.
Akal Sehat Menurut Imam al-Māwardī
Imam al-Māwardī mendefinisikan akal sebagai cahaya yang menuntun manusia kepada kebenaran dan mencegahnya dari kesalahan. Dalam pandangannya, akal tidak hanya berfungsi untuk berpikir logis, tetapi juga untuk mengarahkan manusia agar hidup selaras dengan nilai-nilai ilahi.
Dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn, beliau berkata:
“العقل شرف الإنسان، وبه يفضل على سائر الحيوان.”
“Akal adalah kemuliaan manusia, dan dengannya ia lebih utama daripada makhluk lain.”
Namun, ketika akal diselimuti kecemasan dan keraguan yang berlebihan, kemuliaan itu justru hilang. Orang yang terus-menerus memikirkan kemungkinan buruk, menimbang hal kecil tanpa henti, sejatinya sedang membebani akalnya sendiri. Ia menjauh dari keseimbangan — padahal keseimbangan adalah tanda utama dari kebijaksanaan.
Akal sehat, menurut al-Māwardī, bukan hanya tentang berpikir tajam, tetapi juga tentang berpikir jernih. Dalam bahasa sederhana: akal sehat bukan yang berpikir paling banyak, tetapi yang berpikir paling bijak.
Overthinking: Ketika Akal Kehilangan Kendali
Overthinking muncul saat seseorang tidak mampu membedakan antara berpikir produktif dan berpikir destruktif. Ia merasa sedang mencari solusi, padahal hanya berputar dalam lingkaran kecemasan. Pikiran terus memutar ulang kesalahan, menebak-nebak pandangan orang lain, dan meramalkan masa depan dengan rasa takut.
Al-Qur’an mengingatkan:
“وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا”
(QS. Al-Isrā’: 36)
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.”
Ayat ini seolah berbicara langsung kepada manusia modern yang tenggelam dalam pikiran tanpa dasar. Kita sering menebak tanpa ilmu, menilai tanpa bukti, dan mencemaskan hal yang belum tentu terjadi. Overthinking membuat hati tidak tenang karena ia melampaui batas ilmu dan logika.
Dalam konteks spiritual, overthinking juga menunjukkan kurangnya tawakal — sikap berserah setelah berikhtiar. Imam al-Māwardī berkata:
“من عجز عن تدبير نفسه، كان عن تدبير غيره أعجز.”
“Barang siapa tidak mampu mengatur dirinya, maka ia lebih lemah dalam mengatur orang lain.”
Orang yang tak mampu mengatur pikirannya akan mudah dikalahkan oleh kekhawatiran sendiri. Akalnya lemah karena sibuk memikirkan hal yang tak bisa dikendalikan.
Keseimbangan Antara Akal dan Hati
Salah satu pelajaran besar dari al-Māwardī adalah pentingnya keseimbangan antara akal dan hati. Akal bertugas menimbang, sementara hati menuntun dengan nilai dan ketenangan. Bila akal bekerja tanpa hati, lahirlah kecemasan; bila hati berjalan tanpa akal, muncul kebodohan. Maka, keseimbangan keduanya adalah kunci kebijaksanaan sejati.
Dalam kehidupan modern, banyak orang menuhankan rasionalitas, seakan semua harus dijelaskan dengan logika. Namun, Imam al-Māwardī mengingatkan bahwa logika yang tak terarah bisa menjadi jebakan. beliau berkata:
“من أطلق فكره فيما لا طائل تحته، أتعب نفسه وأضاع وقته.”
“Barang siapa melepaskan pikirannya pada hal yang tidak berguna, ia telah melelahkan dirinya dan menyia-nyiakan waktunya.”
Inilah hakikat overthinking — aktivitas mental yang tampak seperti berpikir, padahal hanya menguras tenaga. Akal yang sehat justru tahu kapan harus berhenti, kapan harus tenang, dan kapan harus berserah.
Tafakkur yang Sehat: Alternatif dari Overthinking
Islam tidak melarang berpikir. Bahkan, Al-Qur’an berkali-kali memerintahkan manusia untuk tafakkur (merenung) dan tadabbur (memahami makna kehidupan). Namun, tafakkur dalam Islam bukanlah memutar pikiran dalam kecemasan, melainkan merenung dengan tujuan menemukan hikmah.
Allah berfirman:
“إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ”
(QS. Āli ‘Imrān: 190)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”
Ayat ini menegaskan bahwa berpikir seharusnya membawa manusia kepada ketenangan dan kesadaran spiritual, bukan pada kegelisahan. Tafakkur mengarahkan akal untuk melihat kebesaran Tuhan, sedangkan overthinking menjerat akal dalam kekhawatiran diri sendiri.
Imam al-Māwardī mengajarkan agar setiap renungan disertai niat yang benar dan arah yang jelas. Tanpa arah, pikiran hanyalah gelombang yang mengguncang jiwa.
Mengelola Pikiran dengan Hikmah
Mengendalikan pikiran tidak berarti berhenti berpikir. Justru, ia berarti menyaring pikiran agar yang tersisa hanyalah yang bermanfaat. Imam al-Māwardī menyarankan agar manusia menimbang setiap gagasan dengan tiga pertanyaan sederhana:
- Apakah pikiran ini membawa manfaat nyata?
- Apakah hal ini berada dalam kendaliku?
- Apakah pikiranku mendekatkanku kepada kebaikan atau justru menjauhkan?
Jika jawabannya “tidak” untuk ketiganya, maka lepaskanlah. Itulah bentuk akal sehat yang sesungguhnya — akal yang tahu kapan harus diam.
Dalam kehidupan sehari-hari, cara paling praktis untuk menghindari overthinking adalah dengan memusatkan pikiran pada tindakan, bukan kekhawatiran. Fokus pada apa yang bisa dilakukan, bukan apa yang bisa terjadi. Karena dalam Islam, nilai seseorang diukur bukan dari seberapa banyak ia khawatir, melainkan seberapa teguh ia berusaha.
Akal yang Tenang Adalah Tanda Keimanan
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ الْقَوِيَّ، الَّذِي لَا يَهْتَزُّ قَلْبُهُ لِمِصِيبَةٍ وَلَا يَضْطَرِبُ عَقْلُهُ لِفِتْنَةٍ”
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang beriman dan kuat, yang hatinya tidak terguncang oleh musibah dan akalnya tidak goyah oleh fitnah.”
Ketenangan pikiran adalah buah dari iman yang kokoh. Orang yang beriman tidak berarti tidak pernah berpikir keras, tetapi ia tahu batasnya. Ia menyandarkan yang tak bisa dikendalikan kepada Allah, sebagaimana firman-Nya:
“وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ” (QS. Al-Mā’idah: 23)
“Dan bertawakallah kepada Allah jika kamu benar-benar orang yang beriman.”
Maka, iman bukan sekadar keyakinan di hati, tetapi juga kemampuan untuk menenangkan pikiran di tengah badai.
Penutup: Berpikir dengan Tenang, Hidup dengan Damai
Overthinking memang tampak seperti tanda kepekaan, tetapi sesungguhnya ia adalah bentuk kelemahan akal yang kehilangan kendali. Imam al-Māwardī mengajarkan bahwa akal sehat adalah akal yang mengenal batas, menimbang dengan jernih, dan menuntun hati menuju ketenangan.
Jadi, ketika pikiran mulai menjerat, ingatlah bahwa akal sehat bukan yang paling banyak berpikir, melainkan yang paling tahu kapan berhenti. Sebab, dalam diam yang jernih itulah kebijaksanaan tumbuh.
“Akal adalah lentera yang menuntun hati. Jika lentera itu berlebihan cahayanya, ia bisa membutakan; tapi bila tepat cahayanya, ia menerangi jalan dengan indah.”
Berpikir dengan tenang adalah seni hidup. Dan sebagaimana seni, ia memerlukan keseimbangan antara logika dan iman. Di situlah pelajaran besar dari Imam al-Māwardī: mari gunakan akal untuk menuntun hati, bukan untuk menenggelamkannya.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
