SURAU.CO–Para tokoh nasional sebelum kemerdekaan yang punya kepedulian kuat terhadap masalah-masalah kebangsaan terkait dengan agama, telah menyadari potensi ketegangan antara negara dan agama sejak awal. Beberapa di antara mereka mulai mendiskusikan hubungan antara agama sebagai seperangkat ajaran dengan negara bangsa atau nasionalisme. Akhirnya, mereka meyakini bahwa negara yang akan dibangun harus mampu menjamin keutuhan bangsa Indonesia serta melestarikan tradisi dan budaya bangsa. Dari sinilah lahir Pancasila, yang oleh Soekarno rumuskan dan gali dari tradisi dan budaya bangsa Indonesia sendiri.
Secara historis, sosiologis, maupun kultural, jelas bahwa Pancasila merupakan bagian integral dan falsafah hidup bangsa Indonesia. Inilah sebabnya, para tokoh dan pemimpin nasional memahami dengan tepat arti penting Pancasila bagi bangsa Indonesia. Mereka juga merasakan bahwa di dalamnya terkandung pesan-pesan luhur semua agama. Tidak hanya itu, nilai-nilai luhur sebagaimana terkandung di dalam Pancasila tercermin dalam aktivitas sehari-hari bangsa Indonesia yang moderat, toleran, tepo-sliro, dan lain-lain. Secara ringkas, kita bisa mengatakan, praktik bangsa Indonesia adalah living Pancasila.
Pancasila: Merefleksikan Esensi Syariah
Memang, meskipun hubungan antara Islam sebagai seperangkat ajaran dengan nasionalisme telah dibincangkan secara intensif jauh sebelum kemerdekaan, gagasan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara sempat muncul ke permukaan dalam sidang-sidang penetapan dasar negara. Kita bisa memahami hal ini, karena dekade 1940-an dan 1950-an merupakan masa subur dan berkecamuknya berbagai macam ideologi di seluruh dunia. Namun akhirnya, dengan pemahaman dan pengamalan agama yang sangat mendalam dan spiritual —yang lebih menekankan isi daripada kemasan— para Pendiri Bangsa meyakini Pancasila merefleksikan esensi syari’ah dan secara bulat menyepakatinya sebagai dasar negara.
Esensi syari’ah tersebut tercermin dalam falsafah hidup bangsa Indonesia, yakni: Pengakuan ketuhanan secara monoteistik (sila pertama); Penghargaan pada nilai-nilai kemanusiaan dalam kerangka keadilan dan peradaban (sila kedua); Penolakan secara eksplisit terhadap separatisme dan mendahulukan kebersamaan atau jamaah (sila ketiga); Kepemimpinan yang bijaksana (hikmah) dengan sistem musyawarah dan perwakilan (sila keempat); Jaminan kesejahteraan rakyat, keadilan, dan perlindungan hukum untuk siapa pun tanpa kecuali (sila kelima). Tak satu pun dari pesan-pesan luhur ini yang bertentangan dengan ajaran agama manapun yang bangsa Indonesia anut. Inilah yang dimaksudkan bahwa Pancasila merefleksikan esensi syari’ah sebagaimana diyakini para Pendiri Bangsa.
Peran Pemimpin dalam Melestarikan NKRI
Tidak bisa kita pungkiri, kesadaran dan pemahaman yang mendalam atas tradisi dan budaya bangsa Indonesia pada satu sisi, serta pemahaman dan pengamalan agama yang mendalam dan spiritual pada sisi yang lain, adalah faktor yang sangat menentukan keutuhan dan kelestarian Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemimpin Indonesia, terutama pemimpin formal pemangku kekuasaan politik, seharusnya menjadi orang yang mengerti dan setia pada tradisi dan budaya bangsa Indonesia pada satu sisi, serta mengerti secara mendalam dan mengamalkan agamanya secara spiritual pada sisi yang lain. Dalam hal ini, spiritualitas akan mendorong kuat kesetiaan dan kejujuran untuk menunaikan amanah kekuasaan.
Kekayaan dan keluarga, kekuasaan dan relasi personal, semua adalah cobaan yang akan terus menggoda seseorang untuk setia pada amanah (kepercayaan) yang harus ia tunaikan atau justru menggoyahkan amanah yang ia peroleh demi meraih keuntungan pribadi dan kelompok. Di tengah arus dana asing (Wahabi) yang sangat besar dan menggoda, kejujuran personal menjadi sangat penting dan berharga. Di tengah arus ideologi transnasional yang sangat kuat, kesetiaan pada tradisi dan budaya bangsa menjadi amat penting dan berharga. Sehingga semua komponen bangsa —khususnya para pemimpin bangsa— harus sadar untuk melestarikan tradisi dan budaya bangsa Indonesia pada satu sisi, dan terus berusaha memahami agama yang dianut secara mendalam dan mengamalkannya secara tulus pada sisi yang lain. Para pemimpin harus benar-benar menjadikan “tahta untuk rakyat” sebagai kenyataan, bukan jargon politik yang bisa ditukar dengan komoditas lain demi meraih kekuasaan.
Ancaman Ideologi Transnasional dan Formalisasi Agama
Prasyarat dalam bidang kultural dan agama ini sangat penting, terutama di tengah maraknya penyusupan ideologi transnasional yang berusaha keras meruntuhkan NKRI dan melenyapkan Pancasila. Kelompok-kelompok garis keras menyalahkan para Pendiri Bangsa karena memilih Pancasila sebagai dasar negara, bukan Islam. Menurut mereka, inilah penyebab krisis multidimensional di Indonesia: krisis ekonomi, degradasi moral, tidak tegaknya keadilan, tidak adanya kepastian hukum, maraknya korupsi, dan lain sebagainya. Dengan menimpakan semua masalah ini pada Pancasila, mereka ingin menodai Pancasila untuk kemudian melenyapkannya. Mereka menawarkan pemahaman sempit dan terbatas tentang Islam sebagai pengganti Pancasila. Dengan kata lain, mereka menginginkan formalisasi Islam. Sunan Kalijogo telah menolak usaha formalisasi agama pada masanya. Padahal sebenarnya, jika mau jujur, nilai-nilai luhur Pancasila belum sepenuhnya terwujudkan. Bahkan, beberapa penguasa yang lalu sempat menyalahgunakan Pancasila sebagai senjata politik.
Menimpakan Akar Masalah pada Pancasila
Sambil terus menimpakan semua masalah bangsa pada Pancasila. Selanjutnya beberapa kelompok terus melakukan sweeping dan perusakan tempat hiburan dengan dalih amr ma‘rûf nahy munkar. Mereka memfitnah murtad atau kafir, termasuk mengancam dan/atau menyerang siapa pun secara fisik semata-mata karena tidak sejalan dengan mereka. Anehnya, mereka tidak merasakan semua ini sebagai degradasi moral maupun pelanggaran hukum. Beberapa aksi jalanan yang mereka lakukan tampak saling terkait dengan usaha-usaha konstitusional di parlemen, pemerintahan, dan fatwa MUI. Hal ini menjadi petunjuk bahwa mereka bekerja dengan sistem, bukan sebuah kebetulan. Ini terkait dalam usaha memperjuangkan ideologinya untuk mengatur semua aspek kehidupan bangsa Indonesia sesuai dengan pemahaman mereka yang sempit dan terbatas tentang Islam. Bahkan, ada indikasi kuat bahwa semua ini mendapat dukungan dana asing (Wahabi) yang luar biasa besar, dan masuk secara leluasa ke Indonesia.
Syeikh al-Akbar al-Azhar, Muhammad Sayyid Tantawi, menilai aksi-aksi yang bersifat intimidatif, merugikan pihak lain secara materi maupun non-materi, mengancam keselamatan atau bahkan menghilangkan jiwa dan/atau mencederai raga siapa pun—sekalipun mereka lakukan atas nama dakwah dan/atau amr ma ‘rûf nahy munkar— adalah dakwah yang salah, dan umat Islam harus menolaknya. Bahkan, pemerintah wajib menangkap para pelaku kejahatan (jarîmah) tersebut dan menghukum mereka sesuai dengan aturan yang berlaku. Dakwah apa pun yang tidak sejalan dengan pesan luhur agama, adalah dakwah yang salah dan harus kita tolak.
Islam Pribumi sebagai Benteng Pertahanan
Ideologi kelompok-kelompok garis keras yang totalitarian-sentralistik berusaha menguasai dan mengatur semua aspek kehidupan manusia. Sedangkan agenda mereka, mereka jadikan sebagai wakil Tuhan (khalîfah Allah) untuk mengatur semua aspek kehidupan manusia. Untuk mewujudkan ambisi ini, mereka menyusup dengan segala cara ke hampir semua bidang kehidupan bangsa Indonesia. Baik di sektor swasta dan pemerintahan, dunia pendidikan maupun penerbitan, dunia politik maupun bisnis. Islam pribumi dan orientasi spiritual adalah dua hal yang selalu mereka serang, karena keduanya menjadi hambatan utama mereka mencapai tujuan.(St.Diyar)
Referensi:KH. Abdurrahman Wahid(Ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, 2009
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
