SURAU.CO– Ali ibn Abu Thalib adalah seorang sahabat Nabi yang berasal dari suku Quraisy keturunan Bani Hasyim. Ayahnya bernama Abu Thalib ibn Abdul Muthalib ibn Hasyim ibn Abdu Manaf, dan ibunya bernama Fatimah bint Asad ibn Hasyim. Ia memiliki tiga saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan, yaitu Thalib, Ja’far, Uqail, Jamanah, Raithah, dan Ummu Hani. Allah memberinya kemuliaan ketika ia menikahi salah seorang putri Nabi Muhammad saw., Fatimah al-Zahra, pemimpin para wanita ahli surga. Dari pernikahannya, ia mendapat dua putra kesayangan Rasulullah: Hasan dan Husain, pemimpin pemuda ahli surga.
Ali sebagai Qadi: Doa Nabi dan Ketegasan Hukum
Ketika Nabi Muhammad saw. mengutus Ali untuk menjadi qadi di Yaman, ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku hanyalah pemuda biasa, dan Tuan mengutusku untuk menetapkan hukum di antara mereka. Bagaimanakah aku mengambil keputusan?”
Nabi saw. menepuk dadanya sambil berdoa, “Ya Allah, tunjukkanlah hatinya dan tetapkanlah lisannya.” Ali menuturkan, “Demi Allah, sejak saat itu aku tak pernah ragu dalam mengambil keputusan.”
Bahkan, Umar ibn al-Khathab sendiri pernah mengakui, “Jika tak ada Ali, Umar pasti sudah hancur.”
Burung Panggang dan Bukti Cinta Allah
Diriwayatkan dari Abu Hanifah dari Hamad, dari Ibrahim, dari Anas, bahwa suatu hari seseorang memberikan hadiah kepada Nabi saw. Kemudian beliau bersabda, “Ya Allah, datangkanlah makhluk yang paling Engkau cintai sehingga ia makan burung ini bersamaku.” Tak lama kemudian, Ali ibn Abu Thalib r.a. datang mengetuk pintu. Anas ibn Malik r.a. berkata, “Nabi sedang ada keperluan.” Lalu Ali kembali pulang. Nabi saw. muncul lagi dan menyatakan ucapan seperti yang pertama. Ali ibn Abu Thalib kembali mengetuk pintu, dan Anas ibn Malik berkata, “Bukankah telah kukatakan bahwa Nabi sedang sibuk.” Selanjutnya, Nabi saw. kembali bersabda seperti dua ucapannya yang pertama. Untuk ketiga kalinya, Ali datang, lalu mengetuk pintu lebih keras dari ketukannya yang pertama. Nabi saw. mendengar ketukannya, dan meskipun Anas telah mengatakan bahwa Nabi saw. sedang sibuk, Nabi saw. memberi izin kepada Ali untuk masuk. Setibanya Ali di dalam, Nabi saw. bersabda, “Wahai Ali, apa yang menghalangimu untuk segera menemuiku?”
Ali berkata, “Aku telah datang, namun Anas menolakku. Lalu aku datang lagi, tetapi Anas menolakku lagi, dan untuk ketiga kalinya aku datang, tetapi Anas tetap menolakku.”
Nabi saw. bersabda, “Wahai Anas, mengapa kaulakukan itu?”
Anas menjawab, “Aku ingin agar orang yang kauharapkan dalam doamu itu adalah orang Anshar.”
Nabi saw. bersabda, “Wahai Anas, memangnya ada orang Anshar yang lebih baik dibanding Ali? Atau adakah orang Anshar yang lebih utama dibanding Ali?”
Perang Siffin dan Wafatnya Sang Pahlawan
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Amar akan dibunuh oleh golongan yang zalim.” Oleh karena itu, ketika Perang Siffin meletus antara pasukan Ali dan Muawiyah, banyak orang menunggu kepada siapa Amar berpihak. Melihat bahwa Amar berada di pihak Ali, mereka paham bahwa Ali berada di pihak yang benar. Amar ikut serta dalam perang itu sampai akhirnya pihak yang zalim membunuhnya.
Ibn Umar pernah mengungkapkan,
“Belum pernah aku merasakan penyesalan berkaitan dengan urusan dunia selain ketika aku tidak dapat ikut berperang bersama Ali melawan kelompok yang zalim.”
Al-Khathib al-Baghdadi menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bertanya kepada Ali, “Siapakah yang pertama kali paling celaka?”
Ali menjawab, “Mereka yang menyembelih unta (milik Nabi Salih a.s.).”
Nabi saw. bertanya lagi, “Lalu siapakah yang terakhir paling celaka?”
Ali menjawab, “Hanya Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui.”
Nabi saw. bersabda, “Orang yang memukulmu atas ini lalu ia mencelup atas ini,” ujar Rasulullah sambil menunjuk ke arah ubun-ubun dan janggutnya.
Pada waktu Ali hendak melaksanakan shalat subuh, Abdurrahman ibn Muljam membuntutinya. Ketika Ali hendak masuk masjid, Abdurrahman menebaskan pedangnya tepat mengenai keningnya. Saat itu, Ali berkata kepada orang di sekelilingnya, “Jiwa harus dibayar dengan jiwa. Jika aku mati, bunuhlah dia sebagaimana dia membunuhku. Jika aku bertahan hidup, biarlah aku yang akan memutuskan hukumannya.”
Ali ibn Abu Thalib wafat pada tahun 40 Hijriah. Jiwanya yang suci bersih menghadap sang Pencipta. Semoga Allah merahmatinya.(St.Diyar)
Referensi:Muhammad Raji Hasan Kinas, Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, 2012
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
