Khazanah
Beranda » Berita » Ali ibn Abu Thalib: Sahabat dengan Keluasan Ilmu dan Ketawaduan

Ali ibn Abu Thalib: Sahabat dengan Keluasan Ilmu dan Ketawaduan

Ilustrasi seorang hamba yang bersujud pada pencipta.
Ilustrasi seorang hamba yang bersujud pada pencipta.

SURAU.CO– Ali ibn Abu Thalib adalah seorang sahabat Nabi yang berasal dari suku Quraisy keturunan Bani Hasyim. Ayahnya bernama Abu Thalib ibn Abdul Muthalib ibn Hasyim ibn Abdu Manaf, dan ibunya bernama Fatimah bint Asad ibn Hasyim. Ia memiliki tiga saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan, yaitu Thalib, Ja’far, Uqail, Jamanah, Raithah, dan Ummu Hani. Allah memberinya kemuliaan ketika ia menikahi salah seorang putri Nabi Muhammad saw., Fatimah al-Zahra, pemimpin para wanita ahli surga. Dari pernikahannya, ia mendapat dua putra kesayangan Rasulullah: Hasan dan Husain, pemimpin pemuda ahli surga.

Keluasan Ilmu Ali ibn Abu Thalib: Pintu Gerbang Kota Ilmu

Mengenai keluasan ilmu yang Ali ibn Abu Thalib miliki, Ibn Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya. Barang siapa menghendaki ilmu, ia harus mendatangi pintunya.”

Ibn Abbas berkata, “Ali telah dianugerahi sembilan dari sepuluh bagian ilmu. Dan, demi Allah, ia bahkan memiliki pula sepersepuluh ilmu yang dianugerahkan kepada mereka.”

Said ibn Amr ibn Said ibn al-Ash bertanya kepada Ubaidillah ibn Iyasy ibn Abu Rabiah, “Paman, kenapa manusia lebih condong kepada Ali?”

Ubaidillah menjawab, “Keponakanku, sesungguhnya Ali memiliki apa yang engkau inginkan. Keluasan ilmunya tak dapat tertandingi siapa pun. Ia pun memiliki wawasan yang luas, ia lebih dahulu memeluk Islam, ia adalah menantu Rasulullah saw., ia memahami sunnah beliau, ia mahir bertempur, dan sangat mengasihi orang yang membutuhkan.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Dalam kesempatan lain, ia berujar, “Sepanjang hidupku bersama Rasulullah saw., tidak pernah sekalipun mataku terpejam dan kepalaku terbaring tidur kecuali aku mengetahui pada hari itu apa yang diturunkan oleh Jibril a.s tentang yang halal dan yang haram atau tentang yang sunnah, atau kitab, atau perintah dan larangan, dan tentang siapakah ayat itu turun.”

Ali mencapai keistimewaan dalam bidang ilmu karena dua sebab. Pertama, karena anugerah yang diberikan Allah kepadanya berupa akal yang cerdas dan lisan yang fasih. Ia pernah berkata, “Allah menganugerahiku akal yang cerdas dan lisan yang fasih.” Kedua, Nabi selalu mendorongnya untuk mencari ilmu. Ali berkata, “Jika aku bertanya, aku pasti mendapatkan jawaban dan jika aku diam, beliau akan mengajariku.”

Nasihat Ali: Etika Ilmu dan Amalan

Keluasan ilmu dan kecerdasan Ali ibn Abu Thalib telah mendapatkan pengakuan oleh kebanyakan umat, bahkan oleh Nabi saw. Alangkah baiknya jika kita mendengarkan nasihatnya tentang etika orang-orang yang berilmu. Ali r.a. berkata,

“Pelajarilah ilmu sehingga kalian terkenal dengan ilmu itu, amalkanlah ilmu kalian sehingga kalian menjadi ahli amal, karena suatu zaman akan datang setelah kalian. Sembilan dari sepuluh orang pada zaman itu mengingkari kebenaran (al-haqq), dan hanya orang yang bertobat dan kembali yang selamat dari itu. Mereka adalah para pemimpin yang mendapat petunjuk dan pelita ilmu, bukan orang yang tergesa-gesa, banyak cakap, dan menyia-nyiakan waktu.”

Dalam kesempatan yang berbeda ia berkata, “Wahai orang yang berilmu, amalkanlah ilmu kalian karena seorang alim adalah yang mengetahui kemudian mengamalkan. Seorang alim adalah yang ilmunya bersesuaian dengan amalnya. Kaum-kaum akan muncul membawa ilmu namun tidak mengamalkannya. Apa yang tersembunyi pada diri mereka bertolak belakang dengan yang terlihat; ilmunya bertentangan dengan amalnya. Mereka duduk saling berhadapan membangga-banggakan ilmunya masing-masing, seraya melecehkan orang lain. Akibatnya, seseorang marah kepada teman semajelisnya dan meninggalkannya. Ketahuilah, amal mereka itu tidak akan naik kepada Allah Yang Mahasuci.”

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Ketawaduan dan Kedudukan Istimewa di Sisi Nabi

Mengenai kezuhudan dan ketawadu’annya, Ali pernah berkata,

“Dunia itu tak ubahnya bangkai, siapa saja yang menginginkannya sedikit saja, maka bersabarlah menunggu giliran dengan anjing-anjing.”

Terdapat cerita bahwa suatu hari Ali mendatangi penjual pakaian bersama pembantunya. Ia membeli dua helai baju, kemudian berkata kepada pembantunya, “Pilihlah salah satu yang engkau sukai!”

Pembantu itu pun mengambil baju yang disukainya, dan Ali mengambil baju lainnya, lalu memakainya. Saat ia mengulurkan tangannya, ternyata baju itu kepanjangan. Ali berkata kepada pembantunya, “Potonglah bagian yang kepanjangan ini!” Si pembantu itu kemudian memotongnya, dan Ali mengenakan pakaian itu, lalu beranjak pergi.

Ali ibn Abu Thalib memiliki kedudukan yang istimewa di sisi Nabi saw., yang membedakannya dari para Ahlul Bait lain. Diriwayatkan dari Sa‘d ibn Abi Waqqash r.a. bahwa sebelum pergi ke medan Perang Tabuk, Rasulullah saw. memercayakan urusan di Madinah kepada Muhammad ibn Musalmah r.a. dan menitipkan keluarganya kepada Ali ibn Abu Thalib. Kaum munafik menghasut Ali karramallahu wajhah bahwa Nabi meninggalkannya di Madinah karena ia tidak menyukai Ali.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Maka, Ali segera pergi menyusul Nabi saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, engkau (hanya) memberiku tugas untuk mengurusi wanita dan anak-anak?” Rasulullah saw. memintanya pulang seraya menghiburnya dengan ucapan, “Tidak relakah engkau memiliki kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Hanya saja, tidak ada nabi setelahku.”

Diriwayatkan dari Zurr ibn Hubaisy dari Ali bahwa Nabi saw. bersabda kepadanya,

“Tidak ada yang mencintaimu kecuali orang mukmin dan tidak ada yang membencimu kecuali munafik.”

(St.Diyar)

Referensi:Muhammad Raji Hasan Kinas, Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, 2012


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement