SURAU.CO– Habib ibn Zaid, seorang sahabat Nabi dari kalangan Anshar, berasal dari kabilah Khazraj, keturunan Bani Mazin ibn al-Najjar. Ayahnya adalah Zaid ibn Ashim, dan ibunya bernama Nusaybah bint Ka‘b al-Maziniyah, yang akrab dipanggil Ummu Umarah. Habib tumbuh dalam keluarga yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Ia sangat menikmati jihad; bagi Habib, ketakwaan adalah bekal utama.
Habib, saudaranya Abdullah, dan kedua orang tua mereka memeluk Islam berkat bimbingan utusan Rasulullah, Mush‘ab ibn Umair. Seluruh anggota keluarga itu mengikuti Baiat Aqabah kedua. Dalam baiat tersebut, mereka menetapkan dua belas pemimpin kaum Anshar, yaitu sembilan orang dari suku Khazraj dan tiga orang dari suku Aus.
Setelah keluarga Ummu Umarah memberikan baiat kepada Rasulullah saw., beliau secara khusus membaca doa,
“Semoga Allah memberkati kalian dari kalangan Ahlul Bait (keluarga), semoga Allah mengasihi kalian para Ahlul Bait.”
Keluarga Mujahid dari Bani Najjar
Apa yang keluarga mulia laukan ini setelah berbaiat dan mendapat doa dari Rasulullah saw.? Mereka memberikan seluruh cinta dan perhatian kepada Allah dan Rasulullah. Oleh karena itu, tidak ada yang lebih berarti bagi mereka kecuali menetapi jalan perjuangan di jalan Allah Swt. Mereka menghadapi berbagai kesulitan dan cobaan yang merintangi mereka di jalan itu. Keluarga ini mengalami kepedihan saat suami Ummu Umarah, Zaid ibn Ashim, meninggal dunia. Saat itu, Ummu Umarah dan keluarganya merasa sedih dan berduka, seakan-akan dunia telah meninggalkan mereka. Namun, mereka menyadari bahwa semua itu merupakan kehendak Allah yang akan semua manusia alami. Keimanan kepada Allah membuatnya mampu tegak bertahan dan melanjutkan perjuangan. Ummu Umarah dan anak-anaknya berhasil melewati masa sulit itu. Setelah masa iddahnya habis, Ghaziyah ibn Umar al-Mazini melamar dan kemudian menikahi Ummu Umarah. Ketika keluarga mulia ini mendengar seruan jihad menuju medan Uhud yang dikumandangkan Rasulullah saw., mereka sigap menyambut seruan itu. Memang, kecintaan pada jihad telah mengalir kental dalam pembuluh darah mereka.
Ujian di Medan Uhud : Turut Menghunus Pedang
Ummu Umarah dan beberapa sahabat wanita lain tidak terjun langsung ke medan perang. Sebaliknya, mereka bertugas merawat pasukan yang terluka dan menyediakan minuman. Tidak seperti dalam Perang Badar, pada Perang Uhud kaum Muslim benar-benar mendapat cobaan yang sangat hebat. Akibat sebagian pasukan tidak mengindahkan perintah Rasulullah sebagai komando tertinggi, kaum Muslim terdesak hebat, dan sebagian meninggalkan medan perang. Bahkan, Rasulullah terluka: wajah mulianya berlumuran darah, perisainya pecah, dan beberapa pecahan logam melukai pahanya. Melihat pasukan Muslim terdesak hebat dan keselamatan Rasulullah terancam, Ummu Umarah tidak mau berdiam diri. Ia melemparkan kantung minuman, lalu menghunus pedang dan terjun ke medan perang layaknya prajurit laki-laki. Ia bergabung dengan kaum Muhajirin dan Anshar untuk melindungi Rasulullah dari musuh yang terus menerobos dan berusaha merobohkan beliau. Ummu Umarah berperang gagah berani menghadapi musuh yang datang bergelombang, hingga ia mendapat 13 luka, yang sebagiannya cukup parah. Rasulullah saw. melihat keberanian dan luka-luka yang Ummu Umarah derita. Oleh karena itu, beliau segera memanggil putranya, Abdullah, lalu bersabda,
“Ibumu, ibumu, balut lukanya. Kedudukan ibumu lebih baik daripada kedudukan fulan dan fulan.”
Pengorbanan Sang Ibu
Ummu Umarah sangat mencintai jihad di jalan Allah dan menghendaki kesyahidan. Oleh karena itu, ia sama sekali tidak memedulikan luka-luka tubuhnya yang terus mengeluarkan darah. Ia hanya mengutamakan keselamatan Rasulullah. Ummu Umarah merasa senang mendengar ucapan Rasulullah. Ia bahagia karena ditempatkan di tempat yang mulia. Namun, ia ingin menggapai kemuliaan yang lebih tinggi, yaitu syahid dalam perjuangan di jalan Allah. Karena itu, ia berkata dengan penuh pengharapan, “Wahai Rasulullah, doakanlah dan perkenankanlah kami agar bisa menemanimu di surga.” Mujahidah yang mulia itu mengungkapkan keinginan yang benar-benar agung. Ia menghendaki kemuliaan berada di sisi Rasulullah, di dunia dan di akhirat. Ia tidak menghendaki hal lain meskipun tubuhnya dipenuhi banyak luka. Ia tidak merasakan kepedihan atau rasa sakit akibat luka-luka itu karena merasa senang dan bahagia mendengar ucapan Rasulullah saw. yang berkenan memenuhi permintaannya. Beliau berdoa, “Ya Allah, jadikanlah mereka pendampingku di surga.” Ketika Ummu Umarah mendengar doa yang dipanjatkan Rasulullah, sontak ia berujar, “Aku tak lagi peduli dengan apa pun yang kualami di dunia ini. Segala sesuatu menjadi tidak berarti ketika surga menjadi ganjaran dan tempat kembali.”
Ummu Umarah membekali kedua putranya, Abdullah dan Habib, dengan kecintaan kepada Allah dan Rasulullah. Ia juga mendorong dan membangkitkan kecintaan mereka pada jihad di jalan Allah. Ia berharap kelak mereka mendapat kesyahidan, dan ia juga menganjurkan mereka untuk berusaha mencapainya setiap kali mendapat kesempatan untuk berjihad.
Setelah Rasulullah wafat, beberapa kelompok menentang pemimpin kaum Muslim. Mereka enggan memberikan zakat yang dulu mereka berikan dengan taat sewaktu Rasulullah masih hidup. Sebagian lain mengikuti orang-orang yang mengaku sebagai nabi, termasuk di antaranya Musailamah Sang Pendusta dari Yamamah, yang mengaku sebagai utusan Tuhan sebagaimana Nabi Muhammad.
Fitnah Nabi Palsu: Musailamah Al-Kadzdzab
Ketika Rasulullah masih ada, Musailamah mengutus dua pembantunya, Abdullah ibn al-Nawahah dan Usamah ibn Atsal, untuk menyampaikan suratnya kepada Nabi saw. Surat itu berbunyi:
Dari Musailamah Rasulullah kepada Muhammad Rasulullah. Salamullāhi ‘alaykum… ammā ba‘d. Sesungguhnya aku berbagi kenabian ini denganmu, dan aku memiliki setengah bagian kenabian, dan untuk Quraisy setengah bagian. Namun, kaum Quraisy menentang dan membangkang.
Rasulullah murka melihat isi surat itu, tetapi beliau menahan kemarahannya. Ia berkata kepada dua utusan nabi palsu itu, “Dan kalian berdua, apakah kalian menerima apa yang dikatakan Musailamah?” Mereka menjawab, “Kami mengatakan seperti yang ia katakan. Kami bersaksi bahwa Musailamah adalah utusan Allah.” Mendengar jawaban keduanya, banyak sahabat yang murka. Beberapa di antara mereka melompat hendak membunuh keduanya. Namun, Rasulullah menahan mereka dan berkata, “Demi Allah, seandainya para rasul Allah dibolehkan membunuh, aku akan menebas leher kalian!”
Surat Rasulullah
Sebagai balasan, Rasulullah saw. menulis surat yang beliau berikan kepada kedua utusan itu:
Bismillahirrahmanirrahim. Dari Muhammad Rasulullah kepada Musailamah Sang Pendusta. Semoga keselamatan dilimpahkan kepada orang yang mengikuti hidayah… ammā ba‘d. Sesungguhnya bumi ini adalah milik Allah yang diwariskan kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya. Dan segala akibat yang baik hanya bagi orang yang bertakwa.
Surat itu tidak menyurutkan hasrat Musailamah untuk menjadi nabi dan penguasa Arab. Ia tidak menghentikan kebiasaannya berjalan-jalan di atas keledainya, menyeru manusia ke dalam agama barunya yang tidak mewajibkan zakat. Ia termasuk salah satu tokoh yang paling bertanggung jawab atas perpecahan bangsa Arab. Hari demi hari pengikutnya bertambah banyak. Rasulullah saw. khawatir gerakan sempalan seperti itu akan tumbuh berkecambah dan merintangi cita-citanya untuk menyatukan bangsa Arab menjadi umat yang satu. Karena itulah, Rasulullah berniat mengirimkan surat kedua, menyusul surat pertama yang dibawa kedua pesuruh Musailamah, dengan harapan Musailamah merasa takut dan kembali kepada ajaran yang benar.
Siapakah yang kemudian diperintahkan oleh Rasulullah saw. untuk menyampaikan surat beliau yang kedua kepada Musailamah? Ternyata Rasulullah saw. memilih seorang putra Ummu Umarah, wanita yang dikenal sebagai mujahidah yang tangguh dan sabar, yaitu Habib ibn Zaid. Dialah yang diperintahkan untuk berangkat menuju Yamamah.
Maka, Habib segera berangkat membawa surat dari pemimpin manusia yang agung lagi mulia, Rasulullah Muhammad saw. Setibanya di tempat Musailamah, ia segera memberi tahu tuan rumah bahwa ia datang sebagai utusan Rasulullah untuk menyampaikan surat dari beliau. Musailamah mempersilakannya masuk. Habib memasuki rumah Musailamah dengan kepala tegak, dengan dasar keimanan yang mantap, dan hati yang tenang. Sementara itu, Musailamah memandang utusan Rasulullah saw. itu dengan pandangan yang menghina dan merendahkan. Setelah membaca surat dari Rasulullah itu, Musailamah memerintahkan anak buahnya untuk mengikat dua tangan Habib dan memasukkannya ke penjara.
Habib ibn Zaid: Syahid di Tangan Sang Pendusta
Setelah mereka mengurungnya beberapa lama, Musailamah memerintahkan anak buahnya untuk menggiring Habib ke hadapannya. Ia berniat mencambuk sahabat yang mulia itu di depan para pengikutnya. Sebelum menjalankan niatnya, Musailamah berkata kepada Habib, “Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah?” Habib menjawab, “Ya.” Musailamah kembali bertanya, “Apakah kau bersaksi bahwa aku utusan Allah?” Habib menjawab, “Tidak! Aku sudah mendengar apa yang kau katakan.” Musailamah yang merasa terlecehkan seketika menjadi murka. Ia kembali menanyai Habib dengan pertanyaan serupa. Habib kukuh dengan jawabannya. Akibatnya, Musailamah memerintahkan anak buahnya untuk mencambuki tubuh Habib hingga semua pakaiannya terkoyak. Musailamah kembali mengajukan pertanyaan serupa, tetapi jawaban Habib tetap sama. Habib tetap kukuh dalam keimanannya meskipun beberapa bagian tubuhnya mengelupas dan berdarah karena cambuk yang terus mereka lecutkan padanya. Semakin lama, semakin banyak darah yang keluar dari tubuhnya. Akhirnya, Habib ambruk ke tanah dan ia mengembuskan napasnya yang terakhir. Ruh terbang menuju Tuhan akibat kezaliman dan kebengisan Musailamah Sang Pendusta.
Sebelum mengembuskan napas terakhirnya, kalimat yang terucap dari mulutnya adalah: “Muhammad Rasulullah”.
Pembalasan dan Kemenangan: Peran Ummu Umarah di Perang Yamamah
Ketika mendengar kabar kematian putranya dan kekejian yang musuh Allah lakukan kepada Habib, Ummu Umarah berkata,
“Keteguhan dan keteladanan seperti itulah yang telah kutanamkan kepadanya. Allah yang akan memperhitungkannya. Habib telah mengucapkan janji setia kepada Rasulullah saw. di malam Aqabah ketika ia masih kecil. Hari ini, saat beranjak dewasa, ia menunaikan tugas dan kewajibannya dengan baik.”
Hari pembalasan pun tiba. Ummu Umarah bersama putra sulungnya, Abdullah, berada di antara pasukan Muslim. Mereka menumpas perlawanan Musailamah dan penduduk Yamamah yang mengikuti nabi palsu itu. Ummu Umarah dan Abdullah berada di dekat Abu Dujanah dan Wahshy ibn Harb ketika keduanya membunuh Musailamah Sang Pendusta. (St.Diyar)
Referensi:Muhammad Raji Hasan Kinas, Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, 2012
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
