Kisah
Beranda » Berita » Mengapa Umar Menangis Ketika Disebut Dirinya Raja?

Mengapa Umar Menangis Ketika Disebut Dirinya Raja?

Ilustrasi by Meta AI.

SURAU.CO – Umar bin Khattab adalah Khalifah kedua dalam Islam. Ia dikenal dengan kepemimpinannya yang tegas. Ia juga adil dan sederhana. Namun demikian, di balik ketegasannya, tersimpan hati yang sangat lembut. Ia sangat takut kepada Allah. Ia juga sangat khawatir akan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Mungkin Anda bertanya-tanya, mengapa seorang pemimpin sebesar Umar menangis hanya karena disebut “raja”? Kisah ini mengungkapkan karakter luar biasa sang Amirul Mukminin.

Latar Belakang: Kesederhanaan Umar dan Kekhawatiran akan Dunia

Umar bin Khattab memimpin kekhalifahan yang sangat luas. Ia menguasai wilayah dari Mesir hingga Persia. Meskipun demikian, kehidupan pribadinya sangat sederhana. Ia menolak kemewahan dunia. Ia lebih memilih hidup layaknya rakyat biasa. Pakaiannya sering bertambal. Makanannya pun sangat sederhana.

Kesederhanaan ini bukan tanpa alasan. Umar sangat memahami pesan Nabi Muhammad SAW. Nabi sering mengingatkan tentang bahaya cinta dunia. Ia juga mengingatkan tentang beban berat kepemimpinan. Oleh karena itu, Umar selalu berusaha menjaga dirinya. Ia ingin tetap fokus pada akhirat. Ia ingin menghindari godaan kekuasaan.

Momen Krusial: Sebutan “Raja” dan Air Mata Umar

Suatu hari, seorang laki-laki datang menemui Umar. Laki-laki itu berkata, “Assalamualaikum, wahai raja!” Seketika itu, Umar terkejut. Ia merasa sangat tidak nyaman dengan sebutan tersebut. Alih-alih senang, air mata justru membasahi pipinya. Ia menangis tersedu-sedu.

Para Sahabat di sekitarnya merasa heran. Mereka bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau menangis mendengar sebutan itu?”

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Dengan suara bergetar, Umar menjawab, “Aku adalah Amirul Mukminin, bukan raja! Sebutan raja hanya untuk pemimpin yang berkuasa dengan kehendak pribadinya. Ia berkuasa tanpa tuntunan syariat. Aku takut Allah akan menanyaiku tentang setiap orang yang aku pimpin. Aku takut tidak bisa mempertanggungjawabkan amanah ini.”

Reaksi Umar bin Khattab memberikan wawasan mendalam tentang kepemimpinan dalam Islam. Pertama, ia menunjukkan perbedaan fundamental antara konsep “raja” dan “Amirul Mukminin.”

  • Raja: Secara umum, seorang raja memerintah berdasarkan hak warisan atau kekuasaan mutlaknya. Ia mungkin tidak selalu terikat pada hukum ilahi. Kekuasaannya sering kali bersifat absolut. Ia bisa berfoya-foya dengan harta negara. Ia juga bisa memimpin dengan keinginan pribadinya.

  • Amirul Mukminin: Sebaliknya, seorang Amirul Mukminin adalah pemimpin yang Allah titipkan amanah besar. Ia adalah pengganti Nabi. Ia wajib memimpin berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah. Ia bertanggung jawab penuh kepada Allah dan umatnya. Harta negara adalah amanah, bukan miliknya pribadi. Ia harus melayani, bukan dilayani.

Kedua, tangisan Umar menunjukkan ketakutannya akan hari penghakiman. Ia sadar betul setiap tindakannya sebagai pemimpin akan Allah hitung. Ia takut tidak mampu menunaikan amanah itu dengan baik. Dengan demikian, tangisannya bukanlah tanda kelemahan. Ia adalah tanda ketakutan yang tulus kepada Allah. Ia adalah tanda kesadaran akan beratnya tanggung jawab.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Implikasi Bagi Kepemimpinan Saat Ini

Kisah Umar ini relevan hingga kini. Ia mengajarkan para pemimpin untuk rendah hati. Ia mengingatkan mereka untuk selalu sadar akan amanah. Pemimpin sejati tidak berkuasa demi dirinya sendiri. Melainkan, ia berkuasa demi kesejahteraan rakyat. Ia bertanggung jawab kepada Tuhannya.

Umar tidak ingin dipuji atau diistimewakan. Ia hanya ingin menunaikan tugasnya sebaik mungkin. Ia ingin mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah. Oleh karena itu, keteladanannya menjadi standar ideal. Ini berlaku bagi setiap pemimpin Muslim.

Tangisan Umar bin Khattab ketika disebut raja adalah pelajaran berharga. Ia menunjukkan hakikat kepemimpinan Islam. Kepemimpinan ini bukan tentang kekuasaan. Ia tentang amanah, tanggung jawab, dan ketakwaan. Singkatnya, Umar adalah contoh sempurna. Ia adalah pemimpin yang takut kepada Allah. Ia memimpin dengan keadilan dan kesederhanaan. Kisah ini terus menginspirasi. Ia mengajarkan kita tentang makna sejati seorang pemimpin.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement