SURAU.CO. Pernahkah engkau merasa begitu lemah hingga hanya bisa menengadahkan tangan dan mengadu kepada Tuhan? Ketika dunia tak mendengar, Allah tetap mendengar. Doa perempuan yang tulus bisa mengguncang langit. Ketika ada seorang wanita yang bisa mengguncang ‘Arsy dengan doa nya dan melahirkan hukum keadilan dalam Islam, ialah Khaulah binti Tsa‘labah.
Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. al-Mujadilah : 1)
Dalam kehidupan, ada kalanya manusia merasa suaranya tenggelam, tak didengar, bahkan diabaikan. Namun kisah Khaulah binti Tsa‘labah membuktikan, suara seorang perempuan salehah mampu menembus batas bumi hingga terdengar di langit. Khaulah binti Tsa‘labah, sahabiyah yang suaranya didengar langsung oleh Allah hingga melahirkan Surah Al-Mujadilah. Ia bukan hanya simbol kesabaran, tapi juga keberanian spiritual perempuan dalam menegakkan keadilan dengan iman dan doa.
Khaulah bukan bangsawan, bukan istri khalifah. Ia hanya wanita sederhana dari kaum Anshar, namun dari lisannya lahirlah ayat Al-Qur’an yang menegakkan keadilan bagi perempuan sepanjang zaman.
Kisah ini bukan sekadar sejarah masa lalu. Ia adalah pelajaran hidup tentang keberanian, cinta, dan keteguhan iman dalam menghadapi ketidakadilan. Bahkan dalam lingkup yang paling pribadi seperti rumah tangga.
Cinta, Amarah, dan Ujian di Rumah Tangga
Khaulah hidup bersama suaminya Aus bin ash-Shamad, dalam rumah tangga yang awalnya harmonis. Di masa muda, Khaulah adalah wanita yang menawan dan berkepribadian lembut. Sementara Aus terkenal sebagai lelaki kaya yang dermawan. Rumah tangga mereka awalnya penuh cinta, tawa, dan kebahagiaan.
Namun, waktu berjalan. Seiring usia, kecantikan Khaulah mulai memudar, dan kesibukan mengurus anak-anak membuatnya jarang bersenda gurau dengan suami seperti dulu. Perubahan kecil itu menumbuhkan jarak emosional, sesuatu yang banyak dialami pasangan dalam kehidupan nyata. Hingga suatu hari, dalam amarah yang tak terkendali, Aus melontarkan kalimat yang mengubah segalanya. Aus berkata, “Engkau haram bagiku seperti punggung ibuku.”
Kata-kata itu disebut zhihar, sebuah bentuk sumpah yang pada masa jahiliah dianggap setara dengan perceraian mutlak. Seketika, Khaulah menjadi seperti orang asing di rumahnya sendiri, tidak boleh didekati, tapi juga tidak resmi diceraikan. Khaulah terjebak di antara dua status, bukan istri tapi juga bukan janda.
Namun Khaulah bukan perempuan yang mudah menyerah. Ia tahu suaminya salah, tapi ia juga tahu cintanya dan tanggung jawabnya terhadap anak-anak. Dalam kepedihan, ia memutuskan untuk mencari keadilan, bukan dengan amarah, melainkan dengan iman.
Ia pergi menghadap Rasulullah ﷺ untuk mengadukan nasibnya. Dengan penuh hormat dan air mata, ia berkata, “Wahai Rasulullah, suamiku telah menziharku. Aku memiliki anak-anak yang jika aku serahkan kepada suamiku, mereka akan terlantar; dan jika aku pelihara sendiri, mereka akan kelaparan.”
Rasulullah mendengarkan, tapi beliau belum menerima wahyu tentang masalah zhihar. Maka beliau berkata, “Engkau telah haram baginya, wahai Khaulah. Aku tidak dapat berbuat apa-apa sebelum ada perintah dari Allah.”
Bayangkan perasaan seorang istri yang ditolak oleh hukum manusia, tapi ia tidak menyerah. Khaulah menengadahkan tangannya dan berdoa dengan suara lirih tapi penuh kekuatan. “Wahai Tuhanku, aku mengadu kepada-Mu tentang kesusahanku dan kepiluanku berpisah dengannya. Wahai Tuhanku, turunkanlah melalui lisan Nabi-Mu sesuatu yang dapat menyelesaikan masalah kami.”
Langit Menjawab Suara Seorang Perempuan
Doa Khaulah tak berhenti di dinding rumah Rasulullah. Ia menembus langit, tak lama kemudian Rasulullah ﷺ menerima wahyu. Aisyah r.a., yang saat itu berada di dekat Rasulullah, mendengar doa Khaulah dan berkata, “Mahasuci Allah! Aku mendengar keluh kesah Khaulah di rumah ini, tapi Allah dari atas langit ketujuh mendengar suaranya dan menurunkan ayat tentangnya.”
Rasulullah ﷺ terlihat gemetar dan wajahnya berubah, tanda turunnya wahyu. Setelah beberapa saat, beliau tersenyum dan bersabda, “Wahai Khaulah, Allah telah menurunkan ayat tentang dirimu dan suamimu.” Lalu beliau membacakan firman Allah dalam Surah al-Mujadilah ayat 1-4.
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada engkau (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadu kepada Allah. Dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua. Sungguh, Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. al-Mujadilah: 1)
Subhanallah. Suara seorang perempuan yang teraniaya di bumi ternyata mengguncang ‘Arsy di langit. Allah langsung menurunkan aturan untuk membatalkan kebiasaan jahiliah yang menzalimi wanita. Melalui wahyu itu, Allah menetapkan bahwa zhihar bukanlah talak.
Dalam surah al-Mujadilah ayat 3-4, Allah mrnjelaskan bahwa suami yang telah menzihar istrinya wajib menebus dosanya sebelum kembali menyentuhnya, dengan cara memerdekakan seorang hamba sahaya. Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut. Dan jika masih tidak sanggup, memberi makan enam puluh orang miskin.
Ketika Rasulullah menyampaikan hukum itu, Aus mengakui kesalahannya. Ia segera menebusnya dengan memberi makan enam puluh orang miskin. Dan dengan itu, Khaulah kembali halal untuknya. Rumah tangga mereka pun terselamatkan.
Pelajaran Abadi dari Khaulah binti Tsa‘labah
Khaulah bukan hanya seorang istri salehah, tetapi juga simbol keberanian dan kecerdasan emosional. Ia tidak marah atau berontak, melainkan memperjuangkan haknya dengan keteguhan iman Ia berjuang dengan cara yang mulia dan terhormat, dengan doa dan argumentasi yang berlandaskan iman. Sikapnya menunjukkan bahwa perempuan berhak didengar, dihormati, dan dilindungi, bahkan oleh wahyu Ilahi.
Dari kisah ini, kita belajar bahwa Islam menempatkan perempuan pada kedudukan yang mulia, jauh dari bayangan budaya jahiliah yang menindas. Allah berfirman, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (QS. al-Baqarah :228)
Suatu hari, Umar bin Khattab r.a. berhenti di jalan hanya untuk mendengarkan Khaulah yang telah tua berbicara. Ketika seorang sahabat heran, Umar menjawab: “Demi Allah, suara wanita ini pernah didengar oleh Tuhan dari atas tujuh langit. Bagaimana mungkin aku tidak mendengarkannya?”
Khaulah mengajarkan kepada kita bahwa doa yang tulus tak pernah sia-sia. Ia tidak memiliki pengaruh, tidak punya kuasa, tapi ia punya iman yang tak tergoyahkan. Doanya melahirkan perubahan hukum sosial dan menjadi simbol bahwa Islam berpihak pada keadilan dan kasih sayang.
Dalam dunia modern yang masih sering memperlihatkan ketimpangan gender dan kekerasan domestik, kisah Khaulah seolah menjadi seruan lembut namun kuat, “Perempuan pun punya suara dan Allah mendengarnya.”
Semoga setiap hati yang merasa kecil dan tak berdaya, menemukan kekuatan seperti Khaulah. Karena dalam setiap air mata yang jatuh karena ketidakadilan, bisa jadi langit pun tengah bersiap untuk menjawab.
Khaulah binti Tsa‘labah telah tiada, tetapi suaranya abadi di Al-Qur’an. Ia menjadi simbol bahwa satu doa dari hati yang tulus mampu mengubah sejarah. “Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. al-Mujadilah : 1)
Kisah Khaulah binti Tsa‘labah bukan hanya dongeng dari masa lalu, melainkan cermin bagi peradaban. Ia mengingatkan bahwa setiap perjuangan yang berlandaskan iman pasti mendapat tempat di sisi Allah. Karena sejatinya, ketika manusia berpaling, Allah selalu mendengar.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
