Khazanah
Beranda » Berita » Ilmu dan Akhlak: Baterai yang Menghidupkan Pengetahuan

Ilmu dan Akhlak: Baterai yang Menghidupkan Pengetahuan

Pria belajar dengan tenang simbol ilmu dan akhlak
Seorang pria duduk di meja belajar dengan kitab terbuka, wajahnya teduh disinari cahaya lampu lembut simbol ilmu yang hidup oleh akhlak.

Surau.co Di era digital ini, manusia semakin giat mengejar ilmu, gelar, dan berbagai pengetahuan baru. Setiap hari, banyak orang menambah wawasan melalui buku, kuliah, hingga media sosial. Namun ironisnya, semakin tinggi pendidikan seseorang, kadang semakin renggang pula hubungannya dengan akhlak. Kita sering melihat orang cerdas yang pandai berdebat, tapi mudah merendahkan orang lain. Kita juga menjumpai banyak orang berilmu yang kehilangan rasa empati. Padahal, ilmu tanpa akhlak ibarat ponsel tanpa baterai — bentuknya ada, tapi tak berfungsi.

Dalam pandangan Islam, ilmu tidak pernah berdiri sendiri. Islam selalu menautkan ilmu dengan akhlak, ibadah, dan niat yang bersih. Rasulullah ﷺ diutus bukan hanya untuk mengajarkan pengetahuan, tetapi juga untuk menyempurnakan budi pekerti. Beliau bersabda:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
“إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَاقِ”
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)

Hadis ini menegaskan bahwa inti dari misi kenabian dan ilmu adalah akhlak. Tanpa keduanya hanya akan menjadi wadah kosong tanpa ruh.

Ilmu Tanpa Akhlak: Cahaya yang Membutakan

Ilmu seharusnya menyalakan cahaya kehidupan manusia. Namun ketika seseorang memisahkan ilmu dari akhlak, cahaya itu bisa berubah menjadi sinar yang menyilaukan dan bahkan membutakan. Banyak orang berilmu yang justru menggunakan pengetahuannya untuk kepentingan diri, memanipulasi fakta, atau menyesatkan orang lain.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Al-Qur’an memberikan peringatan keras kepada mereka yang tahu tapi tak berbuat benar. Allah berfirman:

مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا
“Perumpamaan orang-orang yang memikul Taurat, tetapi tidak melaksanakannya, seperti keledai yang membawa kitab-kitab besar.” (QS. Al-Jumu‘ah: 5)

Ayat ini menegaskan bahwa pengetahuan tanpa akhlak hanya menambah beban. Ilmu seharusnya menuntun manusia, bukan menjerumuskannya.

Akhlak Sebagai Energi Ilmu

Ilmu memang penting, tetapi akhlaklah yang menghidupkannya. Seperti baterai yang memberi daya pada ponsel, akhlak memberi energi spiritual agar ilmu bisa bermanfaat. Tanpa akhlak, ilmu hanya menjadi teori kering tanpa gerak hati.

Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syathā ad-Dimyāthī dalam Kifāyatul Atqiyā’ wa Minhājul Ashfiyā’ menulis:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

“وَمِنْ عَلامَاتِ صِدْقِ العَالِمِ أَنْ يَكُونَ عِلْمُهُ نَافِعًا وَيُؤَدِّي إِلَى حُسْنِ الخُلُقِ وَالتَّوَاضُعِ.”
“Salah satu tanda kejujuran seorang alim ialah ketika ilmunya bermanfaat dan menumbuhkan akhlak baik serta kerendahan hati.”

Artinya, orang yang benar-benar berilmu akan semakin rendah hati, bukan semakin tinggi hati. Ia sadar bahwa semakin luas ilmu, semakin besar tanggung jawab moralnya.

Ketika Ilmu Menumbuhkan Kesombongan

Tidak sedikit orang berilmu yang akhirnya terjebak dalam kesombongan intelektual. Mereka merasa paling benar, meremehkan pandangan orang lain, dan menolak koreksi. Padahal, kesombongan seperti itu justru menghancurkan nilai ilmu itu sendiri.

Rasulullah ﷺ mengingatkan:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji zarrah kesombongan.” (HR. Muslim)

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Orang yang berilmu sejati tidak menjadikan pengetahuan sebagai alat dominasi. Ia menjadikannya sebagai sarana untuk menebar kasih sayang dan memuliakan sesama. Ilmunya tidak melahirkan debat kusir, melainkan ketenangan dan kebijaksanaan.

Ilmu dan Akhlak: Dua Sayap yang Harus Bergerak Bersama

Ilmu tanpa akhlak tidak membawa manfaat, sedangkan akhlak tanpa ilmu sering kehilangan arah. Karena itu, keduanya harus tumbuh bersamaan. Dalam tradisi Islam, belajar ilmu selalu disertai dengan belajar adab. Imam Malik rahimahullah menasihati murid-muridnya:

“Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu.”

Kalimat ini menegaskan bahwa hati yang berakhlak baik akan lebih mudah menerima ilmu. Sebaliknya, hati yang penuh kesombongan akan menolak kebenaran meski mendengarnya setiap hari.

Mengapa Akhlak Menjadi Pondasi Keilmuan

Akhlak mencerminkan kesadaran spiritual seseorang. Saat seseorang berakhlak baik, ia sadar bahwa Allah selalu hadir mengawasi. Kesadaran ini membuatnya berhati-hati dalam menggunakan ilmunya.

Seorang dokter berakhlak akan berjuang menyelamatkan nyawa pasien, bukan mencari keuntungan. Seorang ilmuwan yang bermoral akan menjaga alam, bukan mengeksploitasinya. Sebaliknya, tanpa akhlak, kepandaian bisa berubah menjadi ancaman.

Allah berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujādilah: 11)

Ayat ini menunjukkan bahwa kemuliaan sejati tidak lahir dari ilmu semata, tetapi dari perpaduan antara iman, ilmu, dan akhlak.

Ilmu yang Membawa Ketenangan, Bukan Kesombongan

Ilmu yang berakhlak akan menumbuhkan ketenangan batin. Orang yang berilmu dengan benar tidak mudah iri, tidak haus pengakuan, dan tidak merasa paling benar. Ia memandang pengetahuan sebagai jalan untuk mengenal Allah, bukan sebagai panggung untuk memamerkan diri.

Sebaliknya, ilmu tanpa akhlak hanya menambah kegelisahan. Orang yang terus mengejar prestise intelektual tanpa membersihkan hati akan merasa kosong. Semakin banyak tahu, semakin lelah jiwanya.

Teladan Para Ulama: Ilmu yang Hidup Karena Akhlak

Sejarah para ulama menunjukkan bahwa ilmu dan akhlak tidak pernah terpisah. Imam Syafi‘i, misalnya, terkenal bukan hanya karena kepakarannya dalam fiqih, tetapi juga karena kelembutannya terhadap guru dan lawan debat. Beliau berkata:

“Aku tidak pernah berdebat dengan seseorang melainkan aku berharap Allah menunjukkan kebenaran melalui lisannya.”

Itulah wujud ilmu yang berakhlak: mencari kebenaran, bukan kemenangan.
Syaikh Abu Bakar ad-Dimyāthī juga menegaskan:

“العلم بلا عمل جنون، والعمل بلا علم لا يكون.”
“Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu tidak akan sempurna.”

Ungkapan ini menegaskan bahwa ilmu sejati harus melahirkan amal dan perbuatan yang baik, bukan kesombongan.

Menanamkan Akhlak dalam Sehari-hari

Kita bisa menanamkan akhlak dalam setiap bentuk. Guru menunjukkan ilmu berakhlak ketika sabar menghadapi murid. Siswa menunjukkan ilmu berakhlak ketika menghormati gurunya. Penulis, dosen, dan peneliti menunjukkan ilmu berakhlak ketika menggunakan pengetahuan untuk kemaslahatan.

Ilmu yang berakhlak membuat seseorang lebih peduli, lebih sabar, dan lebih manusiawi. Karena sejatinya, semakin tinggi ilmu seseorang, semakin besar pula tanggung jawab moralnya.

Penutup: Jadikan Akhlak sebagai Baterai Ilmu Kehidupan

Ilmu tanpa akhlak hanyalah ponsel tanpa daya — terlihat canggih, tapi tak berguna. Akhlaklah yang menghidupkan fungsi dan arah dari setiap pengetahuan. Mereka yang membangun akhlak di atas ilmunya akan memancarkan cahaya yang menenangkan. Mereka tidak mencari pengakuan, tetapi mencari keberkahan.

Sebab ilmu sejati tidak diukur dari seberapa banyak kita tahu, melainkan dari seberapa dalam ilmu itu membentuk hati kita menjadi lebih baik. Maka, mari jadikan akhlak sebagai baterai kehidupan agar cahaya yang kita sebar tidak hanya menerangi dunia, tetapi juga menghangatkan jiwa manusia di sekeliling kita.

* Gerwin Satria N
Pegiat Literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement