Khazanah
Beranda » Berita » Qana‘ah Itu Bukan Pasrah, Tapi Ketika Hati Merasa Cukup

Qana‘ah Itu Bukan Pasrah, Tapi Ketika Hati Merasa Cukup

Pria berdoa di bawah cahaya fajar, simbol qana‘ah dan ketenangan hati.
Seorang pria duduk di ketika fajar, cahaya lembut fajar menerangi wajahnya. Ekspresi tenang dan penuh syukur.

Surau.co. Dalam hidup yang serba cepat ini, banyak orang terus berlari tanpa arah yang pasti. Setiap hari mereka mengejar sesuatu yang dianggap bisa membuat bahagia—lebih banyak harta, lebih tinggi jabatan, atau lebih banyak pengakuan. Namun, anehnya, semakin banyak yang diraih, hati justru semakin gelisah. Di titik inilah kita perlu merenung: mungkin bukan kekurangan yang membuat hidup terasa berat, tetapi karena kita belum belajar qana‘ah—merasa cukup dengan apa yang Allah berikan.

Qana‘ah bukan sekadar kata, tapi jalan hidup. Ia bukan pasrah tanpa usaha, bukan alasan untuk berhenti berjuang. Justru qana‘ah adalah kebijaksanaan hati dalam menempatkan dunia sesuai porsinya. Rasulullah ﷺ bersabda:

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kekayaan itu bukan karena banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kaya hati.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa ukuran bahagia dan kaya bukan pada banyaknya materi, tetapi pada hati yang merasa cukup. Orang yang qana‘ah tidak berhenti berusaha, tapi hatinya tidak tergantung pada hasil. Ia bekerja dengan sungguh-sungguh, namun tetap tenang bila hasilnya tidak sesuai rencana.

Qana‘ah: Antara Usaha dan Ketundukan

Sering kali, qana‘ah disalahpahami sebagai bentuk kepasrahan total tanpa usaha. Padahal, Islam mengajarkan keseimbangan antara ikhtiar dan ridha. Dalam kitab Kifāyatul Atqiyā’ wa Minhājul Ashfiyā’, Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syathā ad-Dimyāthī menjelaskan:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

وَالقَنَاعَةُ هِيَ الرِّضَا بِالْقِسْمَةِ وَتَرْكُ التَّطَلُّعِ إِلَى مَا فِي أَيْدِي النَّاسِ
“Qana‘ah adalah ridha terhadap pembagian (rezeki) yang Allah tetapkan, dan tidak memandang apa yang ada di tangan manusia.”

Kata “ridha terhadap pembagian” bukan berarti berhenti berusaha, melainkan tidak menuntut lebih dari apa yang telah ditentukan. Qana‘ah adalah sikap batin yang membebaskan manusia dari perasaan iri dan haus akan dunia. Ia membangun ketenangan karena fokusnya bukan pada apa yang kurang, tetapi pada syukur terhadap apa yang sudah ada.

Dalam konteks modern, qana‘ah bisa kita artikan sebagai mindset spiritual yang menjaga jiwa dari stres eksistensial. Banyak orang kelelahan bukan karena kerja keras, melainkan karena terus membandingkan diri dengan orang lain. Qana‘ah hadir sebagai penawar: ia membuat hati tetap stabil di tengah hiruk-pikuk ambisi dunia.

Qana‘ah Membuka Jalan Syukur

Seseorang tidak akan mampu bersyukur sebelum ia belajar merasa cukup. Qana‘ah adalah pintu masuk menuju syukur yang sejati. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), ketika Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu; dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
(QS. Ibrahim [14]: 7)

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Orang yang qana‘ah tidak merasa kekurangan walau hidup sederhana. Ia melihat berkah pada setiap hal kecil—pada makanan yang cukup, tempat tinggal yang aman, dan keluarga yang penuh kasih. Sebaliknya, orang yang tamak akan selalu merasa miskin, meski harta menumpuk. Karena itu, qana‘ah bukan sekadar sikap religius, tapi juga sumber kebahagiaan yang nyata.

Dalam kehidupan sehari-hari, qana‘ah mengajarkan kita untuk menghargai proses. Kita tetap menanam, meski belum panen. Kita tetap berusaha, meski belum terlihat hasilnya. Dan di setiap langkah, kita belajar percaya bahwa Allah tahu yang terbaik. Di situlah letak kedamaian sejati.

Qana‘ah Melatih Kemandirian Jiwa

Hidup yang qana‘ah membuat seseorang tidak mudah terombang-ambing oleh dunia luar. Ia tidak menakar dirinya dengan ukuran orang lain, melainkan dengan ukuran hati. Dalam Kifāyatul Atqiyā’, Syaikh Abu Bakar ad-Dimyāthī juga berkata:

مَنْ قَنِعَ بِمَا رَزَقَهُ اللَّهُ فَهُوَ أَغْنَى النَّاسِ
“Barang siapa yang merasa cukup dengan rezeki yang Allah berikan kepadanya, maka dia adalah orang yang paling kaya.”

Kekayaan di sini bukan soal saldo, tapi kemandirian batin. Qana‘ah menjadikan seseorang teguh dan tidak tergantung pada validasi sosial. Ia bekerja karena tanggung jawab, bukan karena ingin dipuji. Ia membantu karena kasih, bukan karena ingin dikenal dermawan.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Bila seseorang sudah qana‘ah, maka kegagalan tak membuatnya hancur, dan keberhasilan tak membuatnya sombong. Ia menyadari, semua hanya amanah sementara. Inilah yang membuat hati tenang: ketika seseorang tidak terus menerus ingin memiliki segalanya.

Qana‘ah Melindungi dari Keputusasaan

Kehidupan tidak selalu berjalan mulus. Ada saatnya rezeki sempit, usaha gagal, atau harapan tidak sesuai kenyataan. Namun, qana‘ah menjaga seseorang agar tidak larut dalam keputusasaan. Sebab, ia yakin bahwa rezeki bukan hanya yang tampak secara materi, tapi juga ketenangan, kesehatan, dan cinta dari orang-orang terdekat.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
“Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah menjadikannya qana‘ah terhadap apa yang diberikan.”
(HR. Muslim)

Hadis ini memberi pelajaran penting: keberuntungan sejati bukan pada banyaknya harta, tapi pada hati yang tenang karena merasa cukup. Dengan qana‘ah, seseorang tidak mudah iri terhadap nasib orang lain, juga tidak kecewa ketika cita-citanya belum tercapai. Ia melihat setiap takdir sebagai bentuk kasih Allah, bukan hukuman.

Qana‘ah di Era Kompetitif

Di zaman sekarang, media sosial sering membuat kita lupa batas antara kebutuhan dan keinginan. Kita terus membandingkan hidup sendiri dengan kehidupan orang lain yang tampak sempurna di layar. Padahal, yang terlihat hanyalah potongan momen, bukan kenyataan seutuhnya.

Qana‘ah menjadi obat di tengah budaya pamer dan kompetisi semu ini. Ia mengajarkan kita untuk menilai diri sendiri dengan standar Allah, bukan dengan pandangan manusia. Hidup yang qana‘ah bukan berarti menolak kemajuan, tetapi menata niat agar setiap pencapaian tetap berlandaskan syukur, bukan kesombongan.

Ketika seseorang menanam qana‘ah dalam hidupnya, ia bekerja dengan tenang, mencintai dengan tulus, dan menikmati hasil dengan rasa syukur. Ia tidak berlomba untuk menjadi yang paling kaya, tapi berusaha menjadi yang paling tenang.

Qana‘ah: Keberanian untuk Berkaca

Qana‘ah juga menuntut kejujuran terhadap diri sendiri. Banyak orang merasa gelisah karena mereka belum berdamai dengan batasnya. Qana‘ah mengajarkan bahwa tidak semua hal harus dimiliki, tidak semua peluang harus diambil. Ada saatnya kita berhenti mengejar, dan mulai menikmati.

Kejujuran terhadap diri adalah langkah pertama menuju qana‘ah. Karena sering kali, ketidaktenangan bukan berasal dari kurangnya harta, tapi karena hati menolak menerima kenyataan. Syaikh Abu Bakar ad-Dimyāthī menulis bahwa orang yang qana‘ah akan selalu “memandang nikmat yang ia punya lebih besar dari nikmat orang lain”. Pandangan ini membentuk jiwa yang kokoh dan bahagia, sebab ia melihat kehidupan dengan kacamata syukur, bukan kekurangan.

Penutup: Saat Hati Belajar Merasa Cukup

Qana‘ah adalah seni merdeka dari ketamakan. Ia bukan tentang menyerah, tapi tentang bijak menakar keinginan. Orang yang qana‘ah tetap menanam dan bekerja, namun hatinya tenang ketika hasilnya kecil, karena ia yakin Allah sudah menyiapkan yang terbaik. Dalam dunia yang menuntut lebih setiap hari, qana‘ah justru menjadi bentuk keberanian—berani untuk merasa cukup.

Ketenangan sejati bukan datang dari apa yang kita punya, tapi dari cara kita memandang apa yang kita miliki. Saat hati merasa cukup, dunia tidak lagi menaklukkan kita. Dan di situlah, qana‘ah bukan hanya ajaran, tapi jalan menuju kebahagiaan yang hakiki.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement