Suaru.co. Di era sekarang, batas antara halal dan haram sering kali tampak kabur. Orang bisa berkata, “Ah, cuma sedikit kok,” atau “Yang penting niatnya baik.” Padahal, dalam pandangan Islam, kebaikan bukan hanya soal niat, tapi juga tentang kehati-hatian dalam memilih jalan hidup. Inilah yang disebut dengan wara’ — sikap hati yang memilih menjauh dari hal yang meragukan, bukan karena takut kehilangan dunia, tapi karena ingin menjaga hubungan dengan Allah tetap jernih.
Wara’ bukan hanya soal menahan diri dari dosa besar. Ia lebih halus: tentang menolak sesuatu yang mungkin saja salah, walau belum jelas salahnya. Sifat ini sering dianggap “berlebihan” oleh sebagian orang modern, tapi sesungguhnya ia adalah tanda kedewasaan spiritual. Wara’ adalah seni menjaga hati agar tetap bersih di tengah dunia yang penuh godaan abu-abu.
Apa Itu Wara’: Bukan Takut Dunia, Tapi Takut Kotor Hati
Kata wara’ secara bahasa berarti “menahan diri”. Dalam istilah tasawuf, ia bermakna menjauh dari hal yang syubhat (meragukan), baik dalam ucapan, tindakan, maupun rezeki. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu menuju apa yang tidak meragukanmu.”
(HR. Tirmidzi)
Hadits ini singkat tapi dalam. Ia mengajarkan refleks keimanan: ketika ragu, lebih baik mundur selangkah daripada menyesal. Dalam kehidupan modern, ini bisa berarti menolak peluang kerja yang mencurigakan, menahan komentar yang bisa menyakiti, atau memilih diam ketika informasi belum pasti.
Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syathā ad-Dimyāthī dalam Kifāyatul Atqiyā’ wa Minhājul Ashfiyā’ menulis:
الْوَرَعُ هُوَ تَرْكُ مَا يَخَافُ أَنْ يَكُونَ فِيهِ إِثْمٌ
“Wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan mengandung dosa.”
Artinya, seorang yang wara’ bukan karena ingin terlihat suci, tapi karena hatinya sensitif terhadap dosa, sekecil apa pun bentuknya. Ia tidak hanya menjauh dari yang jelas haram, tapi juga dari yang samar, karena baginya kedekatan dengan Allah lebih berharga daripada kesenangan sesaat.
Wara’ di Zaman Modern: Ketika Godaan Tak Lagi Jelas Wujudnya
Zaman sekarang menghadirkan tantangan baru bagi orang yang ingin hidup wara’. Dulu, keharaman tampak jelas: ada riba, zina, atau ghibah. Sekarang, bentuknya bisa terselip di dalam layar ponsel, di komentar media sosial, atau di cara kita mencari rezeki.
Kita hidup di era “abu-abu moral”: iklan bisa memanipulasi niat, konten bisa terlihat bermanfaat tapi menjerumuskan, bahkan amal pun bisa tercampur dengan keinginan populer di dunia maya. Maka, wara’ modern bukan hanya soal menghindari dosa, tapi juga menjaga keikhlasan niat di tengah hiruk pikuk perhatian digital.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ
“Barang siapa menjaga diri dari hal-hal yang syubhat, maka ia telah menjaga agama dan kehormatannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini terasa sangat relevan di era media sosial. Kadang seseorang menulis dengan niat dakwah, tapi di hatinya terselip keinginan dilihat baik. Di sinilah latihan wara’ dibutuhkan: bukan untuk mengekang, tapi untuk menata niat agar tetap lurus.
Melatih Hati Agar Sensitif Terhadap Keraguan
Seseorang tidak bisa menjadi wara’ hanya dengan teori. Ia butuh latihan hati — semacam “disiplin batin” untuk mengenali suara lembut nurani. Ketika hati sudah terbiasa dekat dengan Allah, ia akan peka terhadap hal-hal yang samar.
Syaikh Abu Bakar Syathā menjelaskan dalam kitabnya:
الْوَرَعُ مِيزَانُ الْقَلْبِ، فَإِذَا دَقَّ الْوَرَعُ دَقَّ الْإِيمَانُ
“Wara’ adalah timbangan hati. Jika wara’ seseorang halus, maka imannya pun halus.”
Artinya, semakin peka seseorang terhadap hal yang meragukan, semakin halus pula rasa imannya. Orang wara’ tidak perlu banyak berdebat tentang hukum, karena hatinya sudah menolak hal yang abu-abu bahkan sebelum akalnya memutuskan.
Latihan ini bisa dimulai dengan hal kecil:
- Tidak langsung menyebarkan berita yang belum jelas sumbernya.
- Menghindari pembicaraan yang menimbulkan prasangka.
- Menolak pekerjaan atau keuntungan yang menimbulkan rasa ragu.
Semakin sering seseorang melakukan ini, semakin kuat otot batinnya untuk mengenali kebenaran.
Antara Wara’ dan Paranoid: Menjaga Keseimbangan
Ada perbedaan halus antara wara’ dan sikap paranoid. Wara’ lahir dari ketenangan hati dan keyakinan kepada Allah, sedangkan paranoid muncul dari ketakutan yang berlebihan. Orang yang wara’ tetap hidup normal, tetap berinteraksi, tetap bekerja dan bergaul, hanya saja ia menata hatinya agar tidak mudah tergelincir.
Dalam tasawuf, wara’ sering disebut sebagai “seni menjaga jarak”. Ia bukan pelarian dari dunia, tapi cara berinteraksi dengan dunia tanpa kehilangan kesucian hati.
Seseorang bisa bekerja di tengah hiruk pikuk bisnis, tapi tetap wara’ dengan memastikan rezekinya bersih. Seseorang bisa berkarya di media sosial, tapi tetap wara’ dengan menjaga niatnya lurus. Inilah keindahan sikap ini: ia tidak menolak dunia, tapi mengajari bagaimana hidup di dalamnya dengan kesadaran penuh.
Wara’ dan Kebebasan Jiwa
Menariknya, orang yang hidup dengan prinsip wara’ justru lebih tenang. Ia tidak terjebak dalam rasa bersalah, tidak mudah bimbang, dan tidak tergantung pada penilaian orang lain. Dengan menjaga diri dari yang meragukan, ia membebaskan jiwanya dari beban “apakah ini salah atau tidak ya?”.
Allah berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.”
(QS. At-Taghābun: 16)
Ayat ini menunjukkan bahwa wara’ bukan beban, tapi bentuk cinta. Orang yang mencintai Allah tidak ingin hubungannya ternoda oleh hal-hal samar. Ia menjaga bukan karena dipaksa, tapi karena takut kehilangan kedekatan dengan-Nya.
Dalam kehidupan modern yang serba cepat, wara’ justru menjadi pelindung jiwa. Ia mengembalikan manusia pada pusatnya: ketenangan hati.
Wara’ Itu Bukan Untuk Dilihat Orang
Wara’ sejati tidak butuh panggung. Ia tidak diumumkan, tidak dipamerkan, bahkan sering disalahpahami. Orang wara’ bisa tampak “biasa saja” di mata manusia, tapi hatinya selalu waspada terhadap hal yang mengotori iman.
Syaikh Abu Bakar Syathā menulis dengan sangat lembut:
الْوَرَعُ سِرٌّ بَيْنَ الْعَبْدِ وَرَبِّهِ، يَحْفَظُهُ مِنَ الرِّيَاءِ وَالسُّمْعَةِ
“Wara’ adalah rahasia antara hamba dan Tuhannya, yang menjaganya dari riya dan mencari pujian.”
Artinya, wara’ bukan berarti tampil suci, tapi diam-diam menjaga diri agar amalnya tetap murni. Seperti pohon yang kuat bukan karena suaranya, tapi karena akarnya dalam.
Belajar Wara’ di Dunia yang Bising
Kita hidup di zaman ketika semua orang ingin dilihat, didengar, dan diakui. Dalam suasana seperti ini, wara’ terasa seperti keheningan di tengah konser. Tapi justru di situlah nilainya: ia menjaga kita agar tidak kehilangan kesadaran di tengah kebisingan dunia.
Belajar wara’ berarti melatih pause — berhenti sejenak sebelum mengambil keputusan, berpikir sebelum berucap, menimbang sebelum menerima sesuatu. Dalam keheningan itu, kita memberi ruang bagi hati untuk berbicara.
Kadang, suara hati itu lembut sekali. Ia berkata, “Jangan,” atau “Tunda dulu.” Dan jika kita cukup jujur untuk mendengarnya, itulah momen ketika wara’ sedang bekerja dalam diri.
Penutup: Keindahan Menjaga yang Tak Terlihat
Wara’ mungkin terlihat seperti pembatas, tapi sejatinya ia adalah penjaga kebebasan jiwa. Ia tidak membuat hidup sempit, justru membuat langkah lebih ringan karena hati bebas dari keraguan.
Dalam dunia yang menormalisasi zona abu-abu, orang wara’ adalah penjaga cahaya. Ia tidak menghakimi, tidak merasa paling benar, tapi diam-diam menjaga kesucian batin agar tetap bisa memantulkan kebenaran.
Mari belajar seni menjauh dari hal yang meragukan. Bukan karena takut dosa, tapi karena ingin terus merasa dekat dengan Allah — tanpa dinding keraguan di antara kita dan-Nya.
Seperti kata seorang ulama:
“Ketika kau meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik.”
Dan mungkin, yang paling baik itu bukan harta atau kedudukan, tapi ketenangan hati.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
