Surau.co. Banyak orang mengira ketenangan hati datang dari doa yang panjang, ibadah yang banyak, atau rutinitas rohani yang tertata rapi. Padahal, ketenangan sejati sering bersembunyi di tempat yang lebih sederhana: kejujuran terhadap diri sendiri.
Kita bisa terlihat saleh di hadapan orang lain, tetapi jika di dalam hati masih ada kepura-puraan, hati sulit tenang. Seolah ada ruang kosong yang tak bisa diisi oleh pujian atau pencapaian apa pun.
Kejujuran batin adalah fondasi dari segala ketenteraman. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
دَعْ مَا يُرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يُرِيبُكَ
“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.”
(HR. Tirmidzi)
Hadis ini mengajarkan bahwa kedamaian hati muncul ketika kita memilih yang jelas, jujur, dan lurus. Ketika hati resah, bisa jadi karena kita sedang menipu diri sendiri — menolak kebenaran yang sudah kita tahu.
Hati yang Resah: Cermin dari Ketidakjujuran Batin
Keresahan hati bukan hanya tanda lelah, tapi juga sinyal bahwa ada sesuatu yang belum selaras di dalam diri. Kita sering berbohong pada diri sendiri: mengaku bahagia padahal tidak, berpura-pura kuat padahal rapuh, atau menolak kesalahan padahal tahu kita salah.
Kejujuran kepada diri sendiri menuntut keberanian. Berani mengakui bahwa kita lemah, salah arah, atau terlalu banyak berpura-pura. Sebagian orang menghindari refleksi ini karena takut menemukan kebenaran yang menyakitkan. Namun, menunda kejujuran justru memperpanjang kegelisahan.
Dalam Al-Qur’an surat Asy-Syams [91]: 7–10, Allah berfirman:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
“Demi jiwa dan penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepadanya jalan kefasikan dan ketakwaan. Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”
Ayat ini menegaskan: setiap jiwa sudah diberi kemampuan membedakan mana yang benar dan salah. Namun, saat seseorang menutupi nurani, jiwanya menjadi gelap. Kegelapan itu menjelma keresahan yang tak bisa disembuhkan dengan apa pun, kecuali kejujuran.
Kejujuran Batin dalam Pandangan Ulama
Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syathā ad-Dimyāthī dalam Kifāyatul Atqiyā’ wa Minhājul Ashfiyā’ menjelaskan:
وَالصِّدْقُ هُوَ مُوَافَقَةُ اللِّسَانِ لِمَا فِي الْجَنَانِ
“Kejujuran adalah kesesuaian antara ucapan lisan dengan isi hati.”
Namun, kejujuran sejati tidak berhenti pada kata-kata. Ia meluas pada seluruh tindakan dan niat. Seseorang bisa terlihat berkata benar, tapi hatinya menyimpan niat lain. Inilah bentuk ketidakjujuran batin yang sering luput disadari.
Ketika hati tidak tenang, bisa jadi karena ada “jarak” antara yang kita ucapkan dan yang sebenarnya kita rasakan. Kita tersenyum di luar, tapi menyembunyikan kesedihan. Kita mengaku ikhlas, tapi masih menuntut pengakuan. Ketidakselarasan ini menimbulkan pertentangan batin — dan di situlah kegelisahan tumbuh.
Syaikh ad-Dimyāthī juga mengingatkan bahwa kejujuran adalah asal segala kebaikan. Jika akar ini busuk, maka amal saleh yang tumbuh darinya pun kehilangan rasa. Orang yang jujur akan diberi kekuatan batin untuk menerima apa adanya, bukan sebagaimana yang diinginkannya.
Tanda-Tanda Kita Belum Jujur pada Diri Sendiri
- Sering Merasa Cemas Tanpa Sebab
Kecemasan yang datang tanpa alasan logis sering kali berasal dari konflik batin. Kita ingin sesuatu yang berbeda dengan nilai yang kita yakini. Misalnya, kita tahu sebuah jalan salah, tapi kita memaksa diri berjalan di sana. Nurani menolak, tapi ego tetap memaksa. Maka, hati pun bergejolak.
- Mudah Tersinggung dan Merasa Diserang
Orang yang belum jujur dengan dirinya mudah tersinggung, karena kritik orang lain menyentuh luka yang belum disembuhkan. Padahal, kritik bisa menjadi cermin untuk melihat diri. Ketika kita benar-benar jujur, kita tidak akan takut pada kritik — justru bersyukur karena bisa belajar darinya.
- Tidak Nyaman Saat Sendirian
Hati yang belum damai takut pada kesunyian, karena dalam sepi, suara nurani menjadi lebih jelas. Maka, kita mencari kebisingan untuk menutupinya. Padahal, kesunyian justru tempat terbaik untuk berdialog dengan diri sendiri.
Kejujuran yang Menyembuhkan Luka Batin
Kejujuran terhadap diri bukan sekadar berkata benar, tapi juga mengakui keadaan diri apa adanya. Menerima bahwa kita kadang lemah, iri, atau kecewa — dan itu manusiawi. Justru dengan mengakuinya, kita membuka jalan penyembuhan.
Ibarat luka yang tak mau diobati, ketidakjujuran membuat hati terus berdarah dalam diam. Tetapi begitu kita mengakuinya, kejujuran menjadi obat yang mengeringkan luka itu perlahan.
Dalam hadis riwayat Muslim, Nabi ﷺ bersabda:
اِسْتَفْتِ قَلْبَكَ، الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ، وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ
“Mintalah fatwa pada hatimu. Kebaikan adalah apa yang membuat jiwa tenang dan hati tenteram, sedangkan dosa adalah apa yang membuat jiwa gelisah dan dada bergetar.”
Hadis ini menunjukkan bahwa hati yang bersih mampu mengenali kejujuran. Ketika hati gelisah, itu tanda bahwa sesuatu belum benar — entah niat, tindakan, atau arah hidup.
Langkah-Langkah Menjadi Jujur pada Diri Sendiri
- Berhenti Membandingkan Diri dengan Orang Lain
Perbandingan melahirkan kepalsuan. Kita mulai hidup bukan sesuai nilai diri, tapi sesuai ekspektasi orang lain. Padahal, setiap jiwa punya jalan masing-masing. Kejujuran dimulai ketika kita berdamai dengan takdir dan berhenti berpura-pura menjadi orang lain.
- Melatih Keberanian Mengakui Kesalahan
Tidak ada kejujuran tanpa keberanian. Mengakui salah bukan tanda lemah, tapi bukti hati sedang tumbuh. Semakin berani seseorang menghadapi dirinya sendiri, semakin tenang hatinya.
- Menata Niat dalam Setiap Amal
Kejujuran terbesar justru terletak pada niat. Banyak amal terlihat indah di mata manusia, tetapi kosong di sisi Allah karena niatnya tercemar riya.
Ketika niat lurus, hati pun tenang, sebab tidak ada beban untuk menipu siapa pun — bahkan diri sendiri.
Kejujuran, Jalan Menuju Ketenangan Hati
Kejujuran bukan hanya nilai moral, tapi kebutuhan spiritual. Ia menyatukan antara lisan, niat, dan tindakan. Orang jujur tidak sibuk menutup-nutupi, karena ia sudah berdamai dengan dirinya sendiri. Itulah yang membuat wajahnya teduh, ucapannya ringan, dan hatinya lapang.
Allah berfirman dalam Surat At-Taubah [9]: 119:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan jadilah bersama orang-orang yang jujur.”
Ayat ini bukan sekadar perintah moral, tetapi juga petunjuk psikologis. Kejujuran menenangkan hati karena ia selaras dengan fitrah. Orang jujur merasa ringan menjalani hidup — tidak ada yang perlu disembunyikan, tidak ada topeng yang harus dipertahankan.
Penutup: Saat Kejujuran Menjadi Obat Jiwa
Hidup ini singkat. Jangan habiskan waktu untuk berpura-pura kuat, bahagia, atau benar. Jujurlah, walau itu terasa pahit. Karena kejujuran mungkin tidak langsung membuat segalanya mudah, tapi pasti membuat hati lebih tenang.
Kejujuran adalah cahaya yang menuntun kita pulang — pulang ke diri sendiri, pulang ke hati yang damai, pulang kepada Allah yang Maha Mengetahui isi hati.
Jika hati belum tenang, jangan buru-buru menyalahkan dunia.
Bisa jadi, hati hanya ingin kamu berhenti sejenak…
dan mulai berkata jujur pada dirimu sendiri.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
