Surau.co. Kita hidup di zaman ketika opini bisa lahir hanya dalam hitungan detik. Seseorang tergelincir sedikit saja, dunia maya sudah ramai mengomentari. Fenomena “ngejudge” atau cepat menilai orang lain kini jadi kebiasaan sosial yang tanpa sadar dianggap normal. Padahal, dalam ajaran Islam, menilai seseorang tanpa pengetahuan yang cukup adalah tanda hati yang belum matang.
“Coba ngecek diri sendiri dulu” — kalimat sederhana ini terdengar ringan, tapi maknanya dalam. Ia adalah panggilan untuk berhenti sejenak sebelum jari menulis komentar, sebelum lidah melontarkan opini. Sebab sering kali, apa yang kita lihat dari orang lain hanyalah potongan kecil dari cerita panjang yang tak kita tahu ujungnya.
Ketika Hati Terlalu Cepat Menilai
Kecenderungan menilai orang lain muncul dari ego yang ingin merasa “lebih benar”. Kadang kita tidak sadar, bahwa di balik keinginan untuk memperbaiki orang lain, terselip rasa ingin membuktikan diri. Padahal, Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.”
(QS. Al-Hujurāt: 12)
Ayat ini bukan hanya larangan menuduh tanpa bukti, tapi juga ajakan untuk menahan diri dari kesimpulan terburu-buru.
Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syathā ad-Dimyāthī dalam Kifāyatul Atqiyā’ wa Minhājul Ashfiyā’ menjelaskan:
إِذَا رَأَيْتَ مِنْ أَخِيكَ ذَنْبًا فَلَا تَنْظُرْ إِلَيْهِ بِعَيْنِ الِازْدِرَاءِ، فَقَدْ يَكُونُ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرًا مِنْكَ
“Jika engkau melihat saudaramu melakukan kesalahan, jangan pandang dia dengan mata merendahkan, karena bisa jadi di sisi Allah, ia lebih baik darimu.”
Ucapan ini menampar kesombongan halus dalam diri kita. Sebelum menilai orang lain, mungkin yang perlu diperiksa justru hati kita sendiri — apakah sudah bersih dari prasangka, atau malah masih sibuk mencari celah untuk merasa unggul.
Melihat Orang Lain dengan Mata Hati, Bukan Emosi
Dalam kehidupan sehari-hari, menilai seseorang sering kali muncul spontan. Kita melihat gaya berpakaian, cara bicara, atau ekspresi wajah — lalu membuat kesimpulan. Padahal, Nabi ﷺ telah mengingatkan dalam hadits:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.”
(HR. Muslim)
Jika Allah saja tidak menilai dari tampilan luar, mengapa kita sering terlalu cepat melakukannya?
Menilai orang tanpa mengenal kisahnya ibarat membaca satu halaman dari buku tebal lalu menganggap tahu seluruh isinya. Sering kali, orang yang kita anggap “kurang baik” sedang berjuang dengan luka yang tidak tampak. Maka, disiplin hati menahan penilaian adalah bentuk kecerdasan spiritual — kemampuan untuk menunda reaksi dan memberi ruang bagi empati.
Kebiasaan Mengevaluasi Diri: Cermin Keikhlasan
Orang yang terbiasa menilai dirinya sendiri lebih dulu akan lebih berhati-hati dalam menilai orang lain. Evaluasi diri (muhasabah) adalah ajaran inti dalam tasawuf. Ia bukan sekadar introspeksi, tapi latihan batin untuk menundukkan ego.
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.”
(QS. Al-Hasyr: 18)
Ayat ini memerintahkan kita untuk melihat ke dalam, bukan ke luar. Bukan berfokus pada kesalahan orang, tapi pada bekal yang sedang kita siapkan untuk kehidupan akhirat.
Syaikh Abu Bakar Syathā juga berkata:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ أَشْغَلَهُ عَيْبُهُ عَنْ عُيُوبِ النَّاسِ
“Barang siapa mengenali dirinya, maka kesalahannya sendiri akan menyibukkannya dari mencari-cari kesalahan orang lain.”
Kalimat ini mengajarkan bahwa sibuk memperbaiki diri adalah jalan menuju kebahagiaan batin. Orang yang hatinya penuh kesadaran tidak punya waktu untuk menghakimi, karena energi jiwanya habis untuk memperbaiki dirinya sendiri.
Mengapa Kita Sering Terjebak Dalam “Ngejudge”?
Ada dua alasan utama mengapa kebiasaan menilai orang sulit dihindari: ego dan luka batin. Ego membuat kita ingin merasa lebih baik dari orang lain. Luka batin membuat kita mudah memproyeksikan rasa sakit ke orang lain — kita mengkritik karena sebenarnya belum berdamai dengan diri sendiri.
Ketika seseorang belum berdamai dengan masa lalunya, ia akan mencari kesalahan di luar dirinya agar tidak perlu menghadapi rasa tidak nyaman di dalam. Maka, ngejudge sering kali bukan tanda kebijaksanaan, tapi sinyal bahwa hati sedang tidak tenang.
Di sisi lain, lingkungan digital memperkuat budaya penilaian instan. Kita diberi ruang untuk “berkomentar” atas hidup orang lain seolah menjadi juri. Padahal, setiap komentar bisa menjadi beban bagi yang menerimanya. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini bukan sekadar etika berbicara, tapi panduan menjaga kebersihan hati.
Ngecek Diri Sendiri Itu Butuh Keberanian
Mengakui kesalahan diri tidak mudah. Butuh keberanian untuk melihat sisi gelap yang selama ini kita sembunyikan. Tapi justru di sanalah pintu perubahan terbuka.
Orang yang berani memeriksa dirinya akan lebih jujur dalam bertumbuh. Ia tidak sibuk mencari kambing hitam, tapi belajar dari setiap kegagalan. Dalam konteks spiritual, ini disebut tazkiyatun nafs — penyucian jiwa.
Disiplin mengecek diri sendiri berarti:
- Mengakui kesalahan tanpa merasa hina.
- Mengintrospeksi niat sebelum bertindak.
- Menyadari bahwa setiap manusia sedang dalam proses.
Kalau setiap orang melakukan itu, dunia akan lebih lembut. Karena yang sibuk memperbaiki diri tak punya waktu untuk menghakimi orang lain.
Belajar Dari Kesalahan Tanpa Merendahkan Orang Lain
Kita bisa menasihati tanpa menghakimi. Bisa mengingatkan tanpa menyakiti. Islam tidak melarang memberi nasihat, tapi mengatur adabnya.
Imam Asy-Syafi’i berkata, “Barang siapa menasihati saudaranya secara rahasia, maka ia telah menasihatinya dan memperindahnya. Tapi barang siapa menasihatinya di depan umum, maka ia telah mempermalukannya dan mencelanya.”
Inilah adab mulia yang kini mulai hilang. Kadang niat menasihati berubah menjadi ajang membuktikan siapa yang lebih benar. Padahal, niat yang tulus tidak butuh panggung.
Ngecek diri dulu artinya: “Apakah niatku benar-benar untuk membantu dia, atau sekadar ingin terlihat lebih suci?”
Dari Menilai Menjadi Mendoakan
Salah satu latihan hati yang paling indah adalah mengganti penilaian dengan doa. Daripada berkata “dia kok begitu sih?”, ubahlah menjadi “semoga Allah kuatkan dia.”
Kita tidak tahu bagaimana pergulatan seseorang. Bisa jadi, orang yang kita anggap lalai sedang menahan diri untuk tidak menyerah. Bisa jadi yang tampak ceria justru sedang berjuang menahan air mata.
Maka, daripada menghakimi, lebih baik mendoakan. Karena doa adalah bentuk cinta yang tak bersyarat — menginginkan kebaikan tanpa mengukur pantas tidaknya orang lain.
Penutup: Menjadi Cermin, Bukan Hakim
Pada akhirnya, hidup bukan kompetisi siapa yang paling benar, tapi perjalanan siapa yang paling tulus mencari kebenaran. Sebelum menilai orang lain, lihatlah diri sendiri di cermin kejujuran. Mungkin kita juga masih punya sisi yang sama, hanya dalam bentuk berbeda. Setiap orang sedang berjuang dengan versinya masing-masing.
Hati yang lembut tidak lahir dari banyaknya ilmu, tapi dari keberanian untuk melihat diri apa adanya. Maka, mulai sekarang, sebelum ngejudge orang, coba cek dulu isi hati sendiri — apakah kita sedang menilai karena cinta, atau karena luka. Karena sejatinya, orang yang sibuk memperbaiki diri adalah orang yang paling damai hidupnya.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
