Ibadah Khazanah
Beranda » Berita » Bagaimana Hukum Shalat Dalam Gereja?: Berbagai Pendapat Ulama

Bagaimana Hukum Shalat Dalam Gereja?: Berbagai Pendapat Ulama

Hukum Shalat Dalam Gereja
Bagaimana Hukum Shalat Dalam Gereja? Berbagai Pendapat Ulama. Gambar : SURAU.CO

SURAU.CO – Dalam kehidupan seorang Muslim, shalat memiliki kedudukan yang sangat agung. Ia merupakan tiang agama, pembeda antara iman dan kufur, serta bentuk penghambaan tertinggi kepada Allah . Karena itu, di mana pun seorang Muslim berada, ia tidak boleh meninggalkan shalat. Baik dalam keadaan lapang maupun sempit, di rumah atau dalam perjalanan, bahkan ketika berada pada tempat yang tidak ideal.

Namun, bagaimana jika seorang Muslim berada padfa tempat yang tidak terdapat masjid, misalnya ketika berkunjung atau bekerja pada negara non-Muslim? Dalam keadaan satu-satunya tempat tertutup yang bisa untuk beribadah adalah sebuah gereja? Apakah Islam membolehkan shalat dalam gereja? Ataukah Islam melarangnya karena tempat tersebut merupakan rumah ibadah agama lain?

Pertanyaan ini telah lama menjadi bahasan oleh para ulama dari berbagai mazhab. Untuk memahami hukumnya dengan tepat, kita perlu meninjau persoalan ini dari berbagai sisi: dalil syar’i, pendapat para ulama klasik dan kontemporer, serta kondisi dan niat orang yang melakukannya.

Prinsip Umum: Seluruh Bumi adalah Tempat Shalat

Rasulullah bersabda:

“Ju’ilat liya al-ardhu masjidan wa thahuran”
“Dijadikan untukku bumi ini sebagai masjid dan alat bersuci.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Hadis ini menunjukkan bahwa pada dasarnya seluruh permukaan bumi dapat menjadi tempat shalat, selama tidak ada najis atau larangan syar’i pada tempat tersebut. Artinya, seorang Muslim tidak terikat harus shalat di masjid, melainkan boleh di rumah, ladang, kantor, bahkan padang pasir, selama tempat itu bersih dan suci.

Namun, ada pengecualian terhadap tempat-tempat yang Rasulullah larang, seperti:

“Janganlah kalian shalat di kuburan dan di tempat penyembelihan berhala.”
(HR. Muslim)

Larangan ini menunjukkan bahwa tempat yang mengandung unsur kesyirikan atau pemujaan selain Allah menjadi pengecualian dari keumuman hadis pertama. Maka, timbul pertanyaan: apakah gereja termasuk tempat seperti itu?

Pandangan Mazhab Fikih tentang Shalat di Gereja

a. Mazhab Hanafi

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa shalat di gereja hukumnya boleh, selama tempat tersebut bersih dari najis dan tidak terdapat patung atau simbol kesyirikan di depannya.

Imam al-Kasani dalam Bada’i as-Shana’i menyebutkan bahwa tidak makruh shalat di gereja jika tempatnya suci, karena hukum asal bumi adalah boleh digunakan untuk shalat. Namun, bila terdapat gambar atau patung yang dapat mengganggu kekhusyukan, maka makruh.

b. Mazhab Maliki

Mazhab Maliki memiliki pandangan agak lebih ketat. Dalam al-Mudawwanah, Imam Malik rahimahullah mengatakan bahwa shalat di gereja hukumnya makruh, karena tempat itu digunakan untuk peribadatan kepada selain Allah. Namun, bila seseorang terpaksa (darurat) melakukannya karena tidak ada tempat lain, maka tidak mengapa.

Pandangan ini menunjukkan adanya kehati-hatian dalam menjaga kesucian ibadah dan menghindari penyerupaan dengan agama lain.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

c. Mazhab Syafi’i

Mazhab Syafi’i juga membolehkan shalat di gereja dengan syarat-syarat tertentu. Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ menjelaskan bahwa boleh shalat di gereja jika diyakini tempat itu suci dan tidak ada najis. Namun, jika ada gambar, salib, atau patung, maka makruh hukumnya.

Imam an-Nawawi menegaskan bahwa hukum asal tempat adalah suci, kecuali jika terbukti sebaliknya. Karena itu, selama tempatnya bersih dan niatnya hanya untuk beribadah kepada Allah, shalatnya sah.

d. Mazhab Hanbali

Ulama Hanabilah memiliki dua pendapat. Sebagian besar berpendapat makruh shalat di gereja, baik ada gambar atau tidak. Sebab, mereka memandang gereja adalah tempat syiar agama lain yang bertentangan dengan tauhid.

Namun, sebagian lainnya seperti yang dikemukakan oleh Ibn Qudamah dalam al-Mughni menyatakan bahwa boleh shalat di gereja jika tidak ada alternatif lain, dan shalatnya tetap sah.

Pendapat Para Sahabat dan Ulama Salaf

Beberapa riwayat menunjukkan bahwa sebagian sahabat Nabi juga pernah shalat di tempat ibadah kaum Nasrani.

  1. Umar bin Khattab r.a. — ketika menaklukkan Baitul Maqdis, beliau tidak shalat di dalam gereja Al-Qiyamah (Holy Sepulchre) bukan karena tempat itu najis, tapi karena khawatir kaum Nasrani akan menjadikannya alasan untuk mengklaim bahwa tempat itu milik kaum Muslimin.
    Artinya, alasan beliau bukan hukum syar’i tentang kenajisan, tapi pertimbangan sosial dan politik.
  2. Ibnu Abbas r.a. disebutkan pernah shalat di dalam gereja, dengan catatan bahwa tempatnya bersih dan tidak ada gambar.
  3. Hasan al-Bashri dan Sa’id bin Jubair — keduanya membolehkan shalat di gereja jika diyakini kesuciannya.

Dengan demikian, para ulama salaf pada umumnya tidak mengharamkan shalat di gereja, meski mereka menganjurkan kehati-hatian dan menghindarinya bila ada pilihan lain.

Dalil dan Pertimbangan Fikih

a. Dalil Kebolehan

  • Hadis “bumi dijadikan untukku sebagai masjid dan alat bersuci” menjadi dasar kebolehan shalat di mana saja.
  • Tidak ada dalil yang secara khusus melarang shalat di gereja, selama tempatnya suci.

b. Dalil Kemakruhan atau Larangan

  • Gereja merupakan tempat di mana sering dipasang patung, gambar Yesus, dan simbol salib. Hal ini dikhawatirkan dapat mengganggu kekhusyukan atau menyerupai perbuatan kaum musyrik.
  • Allah berfirman:
    “Dan (janganlah kamu) mendekati tempat-tempat syirik.”
    (QS. al-An’am: 151, secara umum melarang pendekatan terhadap hal-hal yang berpotensi menyeret kepada syirik).

c. Kaedah Fikih

Kaedah penting yang dapat menjadi alas dalam kasus ini adalah:

“Adh-dharurat tubihu al-mahzurat”
(Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang semula terlarang)

Maka, jika seseorang benar-benar tidak memiliki tempat lain untuk shalat, misalnya karena kondisi keamanan, cuaca ekstrem, atau tidak adanya ruang publik yang layak, maka shalat dalam gereja boleh. Kebolehan ini berdasarkan alasan darurat, selama tetap menjaga adab dan niat yang lurus.

Pandangan Ulama Kontemporer

a. Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah

Ibn Taimiyyah menyebutkan dalam Majmu’ al-Fatawa (Jilid 22) bahwa shalat di gereja boleh jika tempatnya bersih, karena hukum asal suatu tempat adalah suci. Namun, beliau mengingatkan agar seorang Muslim tidak menjadikan tempat itu sebagai kebiasaan, karena gereja merupakan simbol agama lain.

b. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

Beliau menyatakan bahwa tidak mengapa shalat di gereja bila tidak ada masjid, selama diyakini kebersihannya. Tetapi, jika di sana ada gambar atau patung, sebaiknya shalat di luar atau memalingkan pandangan dari arah gambar tersebut.

c. Dewan Fatwa Al-Azhar

Lembaga Al-Azhar Mesir juga mengeluarkan pendapat bahwa shalat di gereja sah, karena tidak ada dalil yang membatalkannya, dengan syarat tempat tersebut suci dari najis.

Adab dan Etika Bila Harus Shalat di Gereja

Apabila seorang Muslim terpaksa melaksanakan shalat di gereja karena tidak ada tempat lain, maka hendaknya memperhatikan beberapa hal berikut:

  1. Pastikan kesucian tempat — pilih bagian lantai atau ruangan yang bersih, jauh dari patung, salib, atau altar.
  2. Minta izin dengan sopan kepada pihak gereja, bila diperlukan.
  3. Tidak menghadap ke arah patung atau salib. Jika sulit, maka bisa memalingkan pandangan atau menghadap sedikit menyamping.
  4. Tidak menyerupai ritual mereka — misalnya menundukkan kepala di depan salib atau berada di tempat khusus yang biasa digunakan untuk ibadah mereka.
  5. Segera keluar setelah shalat, tidak berlama-lama di dalam.

Dengan menjaga adab ini, seorang Muslim dapat tetap melaksanakan kewajiban shalat tanpa menimbulkan fitnah atau kesalahpahaman.

Penutup

Berdasarkan dalil dan pendapat para ulama, dapat disimpulkan bahwa:

  1. Hukum asal shalat di gereja adalah boleh, selama tempatnya suci dan tidak mengandung najis.
  2. Makruh hukumnya bila di dalam gereja terdapat gambar, patung, atau simbol kesyirikan, karena dapat mengganggu kekhusyukan.
  3. Boleh dilakukan dalam keadaan darurat atau terpaksa, seperti ketika tidak ada tempat lain untuk shalat.
  4. Bila ada masjid, mushalla, atau tempat lain yang layak, maka lebih utama untuk tidak shalat di gereja, demi menjaga kehormatan syiar Islam.

Rasulullah mengajarkan bahwa Islam adalah agama yang mudah dan penuh hikmah. Dalam keadaan apa pun, seorang Muslim tetap dapat beribadah kepada Allah selama ia menjaga niat, adab, dan kesucian tempat.

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian.”
(HR. Muslim)

Dalam situasi dunia modern yang serba terhubung, banyak Muslim tinggal atau bekerja di negeri yang minoritas Islam. Pertanyaan seperti “Bolehkah shalat di gereja?” bukanlah persoalan teoritis, tetapi kebutuhan praktis sehari-hari.

Syariat Islam, dengan keluasan dan rahmatnya, memberikan kelonggaran selama tidak melanggar prinsip tauhid. Maka, jika seorang Muslim menunaikan shalat di gereja semata-mata karena tidak ada pilihan lain, dan ia melakukannya dengan penuh ketundukan kepada Allah, shalatnya tetap sah dan diterima insyaAllah.

Namun, tetaplah berusaha mencari tempat terbaik untuk bersujud — karena setiap sujud di tempat yang mulia akan meninggalkan cahaya dan keberkahan yang lebih dalam hati.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement