Khazanah
Beranda » Berita » Mujahadah: Berjuang Melawan Diri Sendiri, Bukan Orang Lain

Mujahadah: Berjuang Melawan Diri Sendiri, Bukan Orang Lain

Seorang pria duduk bersila dalam cahaya subuh, melambangkan perjuangan melawan diri sendiri dalam mujahadah.
Ilustrasi menggambarkan seseorang yang sedang bermujahadah melawan hawa nafsu melalui ketenangan dan perenungan diri.

MSurau.co. Setiap manusia pasti pernah merasa lelah dengan hidupnya. Ada yang berjuang melawan kesulitan ekonomi, ada yang menahan amarah, dan ada pula yang berusaha memperbaiki dirinya sendiri. Namun, di antara semua perjuangan itu, perjuangan yang paling berat justru bukan menghadapi dunia luar, melainkan menghadapi diri sendiri. Dalam Islam, perjuangan ini disebut mujahadah—sebuah bentuk jihad terbesar yang tak selalu terlihat, tetapi paling menentukan arah hidup seseorang.

Sering kali, manusia mudah berperang dengan orang lain karena perbedaan pendapat, namun lupa berperang dengan hawa nafsunya sendiri. Padahal, kemenangan sejati tidak diukur dari seberapa banyak musuh dikalahkan, tetapi seberapa besar seseorang mampu mengendalikan dirinya. Mujahadah bukan tentang mengangkat senjata, melainkan tentang mengangkat kesadaran—bahwa musuh terbesar kita sesungguhnya ada di dalam diri.

Makna Mujahadah dalam Pandangan Islam

Secara bahasa, mujahadah berasal dari kata “jahada” yang berarti bersungguh-sungguh. Dalam konteks spiritual, mujahadah berarti bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu demi mendekatkan diri kepada Allah. Ia merupakan jihad batin yang menuntut keteguhan hati, kesabaran, dan kejujuran dalam beramal.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (mujahadah) untuk mencari keridaan Kami, pasti akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. Al-‘Ankabūt [29]: 69)

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Ayat ini menjelaskan bahwa setiap perjuangan melawan hawa nafsu akan mengantarkan seseorang pada petunjuk Allah. Mujahadah bukan sekadar usaha moral, tetapi juga jalan spiritual menuju kesempurnaan iman.

Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syathā ad-Dimyāthī dalam Kifāyatul Atqiyā’ wa Minhājul Ashfiyā’ menulis:

المُجَاهَدَةُ هِيَ مُحَارَبَةُ النَّفْسِ وَالْهَوَى لِيُطَاعَ اللَّهُ وَيُتْرَكَ الْعِصْيَانُ
“Mujahadah adalah memerangi diri dan hawa nafsu agar Allah ditaati dan kemaksiatan ditinggalkan.”

Artinya, mujahadah bukan sekadar menahan diri, tapi juga bentuk pengendalian yang mengarahkan seseorang untuk terus taat, meski hatinya bergejolak.

Melawan Diri Sendiri Lebih Berat daripada Melawan Dunia

Rasulullah ﷺ pernah bersabda kepada para sahabat yang baru pulang dari medan perang:

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ
“Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar.”
Para sahabat bertanya, “Apakah jihad yang lebih besar itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,
جِهَادُ النَّفْسِ
“Itu adalah jihad melawan hawa nafsu.”
(HR. Al-Bayhaqi)

Hadits ini menunjukkan bahwa perjuangan melawan diri sendiri jauh lebih berat dibandingkan melawan musuh di medan perang. Mengapa? Karena hawa nafsu selalu bersama kita, tidak bisa dihindari, dan sering kali menyamar dalam bentuk yang tampak baik.

Melawan diri sendiri berarti menolak godaan untuk malas, menahan lidah dari ucapan yang menyakiti, menundukkan ego, dan menjaga hati agar tidak sombong. Ini semua adalah bentuk jihad batin yang tidak terlihat oleh mata manusia, tapi sangat mulia di sisi Allah.

Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan kompetitif, mujahadah menjadi semakin relevan. Kita berjuang melawan dorongan untuk pamer di media sosial, melawan keinginan untuk membalas dendam, dan melawan hasrat untuk selalu ingin diakui. Mujahadah membuat kita belajar menata niat dan membersihkan hati.

Tahapan Mujahadah: Dari Menahan ke Menyucikan

Perjuangan batin ini tidak terjadi seketika. Mujahadah berjalan melalui tahapan-tahapan yang membutuhkan kesadaran dan latihan. Pertama, seseorang harus mampu menahan diri dari dorongan negatif. Kedua, ia perlu mengarahkan diri pada kebaikan. Dan ketiga, ia berusaha menyucikan hatinya agar ikhlas dalam segala hal.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Syaikh Abu Bakar ad-Dimyāthī menegaskan dalam Kifāyatul Atqiyā’:

مَنْ لَمْ يُجَاهِدْ نَفْسَهُ فِي التَّزْكِيَةِ لَمْ يَذُقْ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ
“Barang siapa tidak berjuang menyucikan dirinya, maka ia tidak akan merasakan manisnya iman.”

Kutipan ini menegaskan bahwa mujahadah bukan hanya tentang menahan diri dari dosa, tetapi juga tentang memperindah jiwa dengan akhlak yang luhur. Ketika seseorang mampu menaklukkan nafsunya, ia akan merasakan ketenangan batin yang tak tergantikan.

Dalam praktiknya, mujahadah bisa dimulai dari hal-hal kecil: menahan amarah saat disakiti, menolak rasa malas ketika harus beribadah, atau berusaha jujur meski sulit. Dari kebiasaan kecil itulah, hati menjadi kuat dan terbiasa dengan disiplin spiritual.

Buah dari Mujahadah: Ketenangan dan Kejernihan Hati

Setiap perjuangan pasti memiliki hasil. Buah dari mujahadah bukan kekuasaan atau pujian, tetapi ketenangan hati. Orang yang berhasil melawan dirinya sendiri akan merasakan kebebasan sejati—bebas dari kemarahan, dendam, dan kecemasan.

Allah berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا، وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.”
(QS. Asy-Syams [91]: 9–10)

Ayat ini menegaskan bahwa keberuntungan sejati ada pada jiwa yang bersih. Mujahadah menjadi jalan menuju kebersihan itu. Saat hati jernih, seseorang akan lebih mudah bersyukur, sabar, dan ikhlas menerima takdir.

Mereka yang berlatih mujahadah juga akan lebih peka terhadap kebaikan.  Mampu melihat hikmah di balik ujian, bukan sekadar penderitaan. Mereka memandang dunia dengan mata hati, bukan hanya mata kepala. Itulah yang membuat hidup terasa lebih ringan, meski tantangan tetap datang silih berganti.

Mujahadah dalam Kehidupan Sehari-hari

Bentuk mujahadah bisa berbeda bagi setiap orang. Bagi sebagian, mujahadah berarti melawan rasa malas untuk shalat tepat waktu. Bagi yang lain, mungkin berarti menahan diri dari bergosip atau iri hati. Intinya, mujahadah adalah upaya sadar untuk menundukkan hawa nafsu yang menghalangi ketaatan.

Dalam kehidupan modern, mujahadah juga bisa berarti melawan kesibukan dunia yang membuat kita lupa berdoa. Atau melawan kebiasaan menunda kebaikan karena sibuk mengejar materi. Mujahadah mengingatkan kita untuk menata kembali prioritas: bahwa hati harus tetap menjadi pusat kehidupan, bukan ego atau ambisi.

Syaikh Abu Bakar ad-Dimyāthī menulis dengan indah:

لَا طَرِيقَ إِلَى الْقُرْبِ مِنَ اللهِ إِلَّا بِمُجَاهَدَةِ النَّفْسِ
“Tidak ada jalan menuju kedekatan dengan Allah kecuali dengan mujahadah terhadap diri sendiri.”

Maka, setiap usaha kecil untuk menundukkan hawa nafsu—meski tampak sepele—sesungguhnya adalah langkah besar menuju Tuhan. Mujahadah bukan sekadar teori, tapi latihan spiritual yang harus dijalani terus-menerus.

Menemukan Makna Hidup dalam Perjuangan Batin

Sering kali manusia mencari arti hidup dalam pencapaian lahiriah: jabatan, harta, atau pengakuan. Padahal, makna sejati hidup justru muncul dari proses berjuang mengalahkan diri sendiri. Ketika seseorang mampu menaklukkan amarah, memaafkan yang menyakitinya, dan tetap sabar dalam ujian, saat itulah ia menemukan kedamaian sejati.

Mujahadah mengajarkan bahwa perubahan tidak terjadi tanpa kesungguhan. Ia mengajak kita menyelam ke dalam diri, menemukan sumber kegelapan, lalu menyalakan cahaya iman di sana. Dalam proses itu, manusia menjadi lebih mengenal Tuhannya, sekaligus mengenal dirinya sendiri.

Maka, siapa pun yang sedang berjuang menata hati—meski jatuh dan bangun—sesungguhnya sedang menapaki jalan para kekasih Allah. Karena setiap langkah menuju perbaikan diri adalah bagian dari jihad besar yang dijanjikan ganjaran tak terhingga.

Penutup: Perang Sunyi yang Membahagiakan

Mujahadah memang tidak mudah. Ia ibarat perang sunyi yang tak banyak disorot orang. Tapi justru di dalam kesunyian itu, ada keindahan yang dalam. Saat seseorang berhasil menaklukkan dirinya, ia menemukan kebebasan yang sejati: bebas dari hawa nafsu yang menjerat, bebas dari keinginan yang menipu, dan bebas untuk benar-benar mencintai Allah dengan tulus.

Jadi, jangan pernah meremehkan perjuangan kecil yang dilakukan dalam diam—menahan amarah, melawan malas, atau mengalah demi kebaikan. Itulah mujahadah yang sesungguhnya. Perang melawan diri sendiri adalah jihad terbesar, dan kemenangan di dalamnya adalah kemenangan yang paling mulia.

“kita mungkin tak terlihat gagah di medan perang, tapi jika hati mampu menaklukkan hawa nafsu, kita telah menjadi pemenang sejati.”

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement