SURAU.CO – Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali seorang Muslim menghadapi situasi di mana tubuhnya mengeluarkan darah, baik karena luka, mimisan, atau sebab lainnya. Lalu muncul pertanyaan yang kerap membingungkan sebagian orang: apakah keluar darah membatalkan wudhu?
Pertanyaan ini bukan hanya penting bagi mereka yang sering mengalami luka kecil atau mimisan, tetapi juga bagi para pekerja yang aktivitasnya sering menyebabkan tangan tergores atau tubuh terluka. Untuk menjawabnya secara benar, kita perlu memahami masalah ini berdasarkan dalil Al-Qur’an, hadis Nabi ﷺ, dan pandangan para ulama.
Wudhu dan Tujuannya
Wudhu secara bahasa berarti bersuci atau membersihkan diri. Secara syar’i, wudhu adalah ibadah yang melakukannya dengan membasuh anggota-anggota tertentu dari tubuh menggunakan air dengan niat untuk mengangkat hadas kecil.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajah kalian dan tangan kalian sampai siku, dan sapulah kepala kalian serta (basuhlah) kaki kalian sampai kedua mata kaki.”
(QS. Al-Ma’idah: 6)
Ayat ini menegaskan bahwa wudhu adalah syarat sahnya shalat. Maka, setiap Muslim harus menjaga kesuciannya agar Allah SWT menerima ibadahnya. Namun, apakah darah yang keluar dari tubuh menyebabkan hadas dan membatalkan wudhu? Dari sinilah muncul perbedaan pandangan ulama.
Jenis Darah yang Keluar
Sebelum membahas hukumnya, kita perlu memahami jenis-jenis keluarnya darah, karena setiap keadaan memiliki hukum berbeda.
- Darah dari anggota luar tubuh, seperti luka di tangan, kaki, atau bagian tubuh lainnya.
- Darah dari dalam tubuh yang keluar melalui lubang alami, seperti hidung (mimisan), mulut, atau telinga.
- Darah haid, nifas, dan istihadhah pada perempuan.
- Darah yang sedikit, seperti tusukan jarum atau luka kecil.
Klasifikasi ini penting, karena sebagian ulama membedakan hukum antara darah yang sedikit dan yang banyak, atau antara darah yang keluar melalui jalan alami dan yang bukan.
Pendapat Ulama Tentang Darah dan Wudhu
Karena tidak ada dalil yang tegas dari Qur’an dan hadis, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan apakah keluarnya darah membatalkan wudhu.
Mazhab Hanafi
Menurut mazhab Hanafi, keluarnya darah membatalkan wudhu, asalkan darah tersebut mengalir keluar dari tempatnya (misalnya luka berdarah yang mengalir ke kulit atau pakaian). Namun, jika darah hanya muncul tetapi tidak mengalir, misalnya hanya berupa titik kecil atau sekadar merah pada kulit, maka tidak membatalkan wudhu.
Dalil mereka antara lain adalah atsar dari sebagian sahabat seperti Ibnu Umar dan Ibnu Abi Aufa yang disebutkan bahwa mereka berwudhu ketika berdarah. Hanafi juga berpegang pada qiyas (analogi) bahwa darah adalah najis, dan keluarnya najis dari tubuh membatalkan wudhu sebagaimana keluarnya sesuatu dari dua jalan (depan dan belakang).
Mazhab Syafi’i
Berbeda dengan Hanafi, mazhab Syafi’i berpendapat bahwa keluarnya darah tidak membatalkan wudhu, kecuali darah tersebut keluar dari dua jalan, yaitu qubul (kemaluan) dan dubur (anus). Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan dalam Al-Majmu’:
“Darah, nanah, muntah, dan semisalnya tidak membatalkan wudhu, meskipun banyak, selama tidak keluar dari dua jalan.”
Mazhab ini berpegang pada kaidah bahwa hukum asal wudhu tetap sah sampai ada dalil yang sahih yang membatalkannya. Karena tidak ada hadis sahih dari Nabi ﷺ yang menyebutkan bahwa darah membatalkan wudhu, maka tidak boleh menetapkan hal itu sebagai pembatal.
Mazhab Maliki
Mazhab Maliki sejalan dengan mazhab Syafi’i. Mereka berpendapat bahwa keluarnya darah, baik sedikit maupun banyak, tidak membatalkan wudhu, kecuali jika bersama keluarnya sesuatu dari dua jalan atau hal lain yang jelas sebagai pembatal (seperti buang air kecil, buang angin, dan sebagainya).
Mazhab Hanbali
Mazhab Hanbali memiliki pandangan yang mirip dengan Hanafi, yaitu bahwa darah yang banyak dan mengalir dapat membatalkan wudhu. Namun, mereka menegaskan bahwa ukuran “banyak” adalah sesuatu yang berlaku umum. Jadi, tidak ada ukuran pasti secara jumlah, tetapi berdasarkan kebiasaan dan persepsi umum.
Dalil dan Penjelasan dari Hadis
Beberapa riwayat menunjukkan bahwa keluarnya darah tidak membatalkan wudhu, antara lain adalah kisah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu ketika beliau terkena tikaman saat shalat, dan beliau tetap melanjutkan shalatnya dalam keadaan berdarah.
Juga dalam riwayat bahwa Abdullah bin Mas’ud dan sahabat lainnya shalat dalam keadaan luka dan darah masih mengalir, namun mereka tidak mengulangi wudhunya.
Tidak ada riwayat sahih yang menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ memerintahkan orang yang berdarah untuk mengulang wudhunya. Ini menunjukkan bahwa keluarnya darah bukan pembatal wudhu secara mutlak.
Pandangan yang Lebih Kuat
Dari keseluruhan pendapat tersebut, pandangan yang lebih kuat (rajih) menurut banyak ulama kontemporer dan berdasarkan dalil yang lebih kuat adalah bahwa keluarnya darah tidak membatalkan wudhu, selama tidak keluar dari dua jalan (qubul dan dubur). Alasan utamanya adalah:
- Tidak ada dalil yang sahih dan tegas dari Rasulullah ﷺ yang menyebutkan bahwa darah membatalkan wudhu.
- Hukum asal seseorang yang telah berwudhu adalah tetap suci sampai ada dalil yang membatalkan (kaidah: al-yaqin la yazulu bisy-syak — keyakinan tidak hilang karena keraguan).
- Banyak sahabat Nabi ﷺ mengalami luka ketika berperang, dan mereka tetap shalat tanpa memperbarui wudhu.
Sunnah Membersihkan Darah
Walaupun tidak membatalkan wudhu, darah tetap termasuk najis menurut kesepakatan mayoritas ulama. Maka, jika darah tersebut mengenai pakaian atau tubuh, hendaknya dibersihkan sebelum shalat, karena kebersihan pakaian dan badan adalah bagian dari kesempurnaan ibadah.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan pakaianmu bersihkanlah.”
(QS. Al-Muddatsir: 4)
Dengan demikian, seorang Muslim yang berdarah karena luka atau mimisan tidak perlu mengulang wudhu, tetapi cukup membersihkan darahnya jika ingin menjaga kesucian dan kehormatan dalam shalat. Dari uraian panjang ini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa:
- Tidak ada dalil sahih yang menyebutkan bahwa darah membatalkan wudhu.
- Pendapat yang lebih kuat dan banyak dipegang oleh para ulama (terutama Syafi’i dan Maliki) adalah bahwa keluarnya darah tidak membatalkan wudhu, kecuali jika keluar dari dua jalan.
- Namun, disunnahkan untuk membersihkan darah dan mengganti pakaian yang terkena darah demi menjaga kesucian dalam beribadah.
- Jika darah keluar sangat banyak hingga membuat seseorang pusing atau lemah, maka disarankan untuk beristirahat dan berwudhu kembali sebagai bentuk kehati-hatian (ihtiyath), bukan karena batal secara hukum.
Penutup
Islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan umatnya. Dalam hal bersuci, Islam mengajarkan keseimbangan antara menjaga kebersihan dan tidak berlebih-lebihan dalam was-was.
Jadi, ketika seseorang mengalami luka kecil, mimisan, atau darah keluar karena sebab tertentu, tidak perlu panik atau terburu-buru mengulang wudhu, karena hukum asalnya tetap suci. Namun, menjaga kebersihan dan adab ketika beribadah tetap menjadi hal yang utama.
Semoga penjelasan ini membuat kita semakin paham bahwa syariat Islam senantiasa memudahkan dan menenangkan hati umatnya.
“Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit diri dalam agama ini kecuali ia akan dikalahkan olehnya.”
(HR. Bukhari)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
