Kisah
Beranda » Berita » Kisah Abu Yazid dan Qiyamul Lail

Kisah Abu Yazid dan Qiyamul Lail

Ilustrasi shalat sebagai tarian jiwa menuju Sang Kekasih.
Suasana malam dengan seorang hamba bersujud, dikelilingi lingkaran cahaya kosmik—simbol tarian jiwa dalam shalat.

SURAU.CO – Dalam perjalanan spiritual para salafus saleh, banyak kisah yang mampu menggugah hati dan membangkitkan semangat beribadah. Salah satu kisah yang penuh hikmah adalah kisah Abu Yazid al-Busthami—seorang anak kecil yang hatinya dipenuhi kecintaan kepada Allah sejak dini.

Suatu hari, Abu Yazid Thaifur bin Isa al-Busthami radhiyallahu ‘anhu sedang menghafal ayat pertama dari Surah Al-Muzzammil:

“Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk shalat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil.” (QS. Al-Muzzammil: 1–2).

Ketika ayat itu menancap dalam ingatannya, ia merenung dan bertanya kepada ayahnya dengan penuh ketulusan, “Wahai Ayahku! Siapakah orang yang dimaksud dalam ayat ini?”

Sang ayah menjawab dengan lembut, “Wahai anakku, ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Mengenal Dunia agar Tidak Tertipu olehnya: Tafsir Hikmah Al-Hikam

Namun, hati kecil Abu Yazid kembali bertanya, “Wahai Ayahku! Mengapa kamu tidak melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?”

Pertanyaan polos itu membuat sang ayah tersentak. Ia menjawab, “Wahai anakku, sesungguhnya qiyamul lail diwajibkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan kepada umatnya.”

Abu Yazid pun menjawab. Ia tidak membantah, namun kata-kata itu tertanam di dalam hatinya.

Tergerak oleh Ayat Kedua

Beberapa waktu kemudian, Abu Yazid menghafal ayat lain dari surah yang sama:

“Tuhan Sejatimu mengetahui bahwa engkau berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau paruhnya; dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersamamu.” (QS. Al-Muzzammil: 20).

Panjang Umur Belum Tentu Bermakna: Hikmah dalam Al-Hikam tentang Kualitas Usia

Begitu menghafalnya, ia kembali bertanya kepada ayahnya, “Wahai Ayahku! Saya mendengar bahwa segolongan orang juga melakukan qiyamul lail. Siapakah mereka?

Ayahnya menjawab, “Mereka adalah para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam—semoga Allah meridai mereka semua.”

Mendengar jawaban itu, Abu Yazid kembali mengajukan pertanyaan yang menusuk hati, “Wahai Ayahku! Apa sisi sebaiknya meninggalkan sesuatu yang dikerjakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya?”

Ayahnya teringat sejenak, lalu berkata lirih, “Kamu benar, wahai anakku.”

Sejak saat itu, sang ayah mulai rutin menegakkan qiyamul lail. Ia merasakan ketulusan oleh ketulusan dan semangat spiritual anaknya yang kecil namun memiliki hati yang besar.

Bahagia di Tengah Luka: Rahasia Spiritual Dzikir dari Al-Hikam

Ketika Anak Ingin Ikut Beribadah

Pada suatu malam, Abu Yazid terbangun dan melihat ayahnya sedang shalat malam. Ia mendekat dan berkata, “Wahai Ayahku! Ajarkan aku bagaimana cara bersuci dan shalat bersamamu.”

Namun, sang ayah berusaha menenangkannya, “Wahai anakku, tidurlah. Engkau masih kecil.”

Abu Yazid yang memiliki hati yang lembut namun menjawab, “Wahai Ayahku! Pada hari ketika manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan berkelompok-kelompok untuk memperlihatkan amal perbuatannya, aku akan berkata kepada Tuhanku, ‘Aku pernah meminta kepada ayahku untuk mengajarkan wudhu dan shalat, tapi dia tidak mengajarkannya.’”

Mendengar ucapan itu, sang ayah menangis. Ia berkata, “Tidak, wahai anakku! Demi Allah, aku tidak ingin seperti itu.” Maka ia segera mengajarkan tata cara bersuci dan shalat kepada anaknya. Malam itu, sang ayah dan anak pun berdiri bersama dalam shalat qiyamul lail—sebuah momen yang menandai awal perjalanan spiritual Abu Yazid al-Busthami.

Pelajaran dari Kisah Abu Yazid

Kisah ini mengandung banyak hikmah yang patut direnungkan. Pertama, hati yang bersih akan mudah tersentuh oleh firman Allah. Abu Yazid, meskipun masih anak-anak, memiliki kepekaan luar biasa terhadap makna Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan pentingnya menanamkan kecintaan kepada Al-Qur’an sejak usia dini.

Kedua, anak-anak belajar lebih banyak dari keteladanan orang tua daripada sekadar nasihat. Ketika sang ayah mulai rutin melakukan qiyamul lail, hal itu terjadi bukan karena paksaan, tetapi karena dorongan moral dari anak yang tulus. Ini menggambarkan bahwa kebaikan yang lahir dari hati akan menular, bahkan dari anak kepada orang tua.

Ketiga, kisah ini juga menegaskan bahwa qiyamul lail bukanlah ibadah yang ringan, namun ia adalah jalan bagi mereka yang ingin mendekatkan diri kepada Allah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR.Muslim).

Qiyamul lail menjadi tanda keimanan yang hidup, karena hanya orang-orang yang jantungnya terjaga yang mau meninggalkan tidur nyenyak demi berdiri di hadapan Rabb-nya.

Kisah ini mengajarkan bahwa kesadaran spiritual tidak mengenal usia. Anak kecil pun bisa menjadi guru bagi orang tua dalam hal ketulusan dan semangat beribadah. Maka, siapa pun kita, semoga kisah ini menjadi pengingat untuk menyalakan kembali semangat qiyamul lail, sebagaimana yang dilakukan oleh para kekasih Allah di masa lalu.

“Dan pada sebagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra’: 79).

Top of Form


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement