SURAU.CO – Sejarah Islam penuh dengan kisah kepemimpinan yang agung, namun sayangnya tidak sedikit tokoh besar yang justru menjadi korban pemutarbalikan fakta. Salah satu di antaranya adalah Khalifah Harun al-Rasyid rahimahullah, sosok pemimpin yang mencintai sunnah dan sangat menghormati para ulama. Dalam catatan sejarah, banyak propaganda yang berusaha menodai citranya—menyebutnya sebagai penguasa lalai, pecinta dunia, dan hidup dalam kemewahan. Padahal, sosok sejatinya adalah seorang khalifah yang tegas, adil, berilmu, dan sangat dekat dengan para ulama.
Harun al-Rasyid naik takhta pada malam Sabtu, 16 Rabi’ul Awwal 170 H (14 September 786 M) , menggantikan ayahandanya, Khalifah al-Mahdi. Ketika itu, usianya baru 25 tahun, namun tanggung jawab besar sudah berada di pundaknya. Sejak awal, Harun menunjukkan kecerdasan dan kedewasaan luar biasa dalam memimpin kekhilafahan Abbasiyah. Di bawah kepemimpinannya, Bagdad mencapai masa keemasan: ekonomi berkembang pesat, ilmu pengetahuan tumbuh subur, dan syiar Islam tersebar luas.
Namun, keberhasilan itu tidak lepas dari kesungguhannya menegakkan nilai-nilai agama. Ia bukan hanya penguasa politik, tetapi juga hamba Allah yang sangat cinta pada ajaran Rasulullah ﷺ dan memuliakan para pewaris ilmu beliau—para ulama.
Pemimpin yang Memuliakan Ulama
Salah satu ciri utama Harun al-Rasyid adalah penghormatan mendalam kepada para ulama. Ia sangat menjaga adab terhadap ilmu dan para pengajarnya. Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah menuturkan,
“Tidak kuketahui ada seorang raja pun yang rela menempuh perjalanan jauh demi belajar, kecuali Harun al-Rasyid. Ia berjalan bersama dua anaknya, al-Amin dan al-Ma’mun, untuk mendengarkan kajian al-Muwaththa’ yang disampaikan oleh Imam Malik rahimahullah.”
Kisah ini menunjukkan bagaimana Harun menanamkan kecintaan terhadap ilmu kepada putra-putranya. Ia ingin mereka belajar langsung dari sumbernya, bukan sekadar membaca dari lembaran.
Ulama besar seperti Abdullah bin al-Mubarak pun menaruh rasa hormat yang mendalam kepada Sang Khalifah. Ketika Harun al-Rasyid menjelang wafat, Abdullah bin al-Mubarak duduk dalam kesedihan yang mendalam. Para muridnya sampai harus menenangkan beliau. Padahal, Abdullah bin al-Mubarak adalah seorang ulama besar dari kalangan tabi’ tabi’in, sosok yang terkenal sangat wara’ dan zuhud. Kesedihannya menjadi bukti betapa Harun adalah pemimpin yang saleh dan dicintai para ulama.
Kecintaannya pada Sunnah Nabi ﷺ
Harun al-Rasyid sangat menghormati nama Rasulullah ﷺ. Abu Mu’awiyah ad-Dharir meriwayatkan:
“Tidaklah aku menyebut nama Nabi ﷺ di hadapan al-Rasyid, kecuali beliau selalu mengucapkan, ‘Shalawat untuk junjunganku.’ Suatu kali saya membacakan hadis kepada beliau—Rasulullah ﷺ bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku ingin berguling di jalan Allah, lalu dibunuh, kemudian hidup kembali, lalu dibunuh lagi, kemudian hidup kembali, lalu dibunuh lagi.” (HR. al-Bukhari, no. 6713).
Mendengar hadis ini, Harun al-Rasyid menangis tersedu-sedu. Ia merasakan betul semangat jihad Rasulullah ﷺ dan kerinduannya terhadap pahala syahid. Air mata Harun bukan sekadar emosi, melainkan pancaran cinta dan penghormatan mendalam terhadap Nabi dan sunnahnya.
Kecintaannya pada Islam tidak hanya terlihat dalam ibadah, tetapi juga dalam ketegasan menegakkan kebenaran. Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Aliyah bahwa suatu ketika Harun menangkap seorang zindiq (orang yang merusak akidahnya), si zindiq menantang, ketika hendak dihukum mati,
“Engkau tidak akan mampu memenggal kepalaku, karena aku telah membuat seribu hadis palsu atas nama Rasulullah ﷺ. Tidak ada yang bisa membedakan mana hadis palsu dan mana yang sahih selain aku.”
Namun Harun menjawab dengan tegas,
“Apakah kamu tidak tahu wahai sahabat Allah, bahwa Abu Ishaq al-Fazari dan Abdullah bin al-Mubarak akan meneliti dan menilai hadis-hadis itu huruf demi huruf?”
Ucapan ini menunjukkan ketegasan sekaligus kepercayaannya terhadap para ulama hadis yang menjaga kemurnian ajaran Islam.
Sanjungan Para Ulama
Keadilan dan ketakwaan Harun al-Rasyid membuat banyak ulama memberikan pujian kepadanya. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah , seorang sufi besar, berkata:
“Tidak ada satu pun kematian yang lebih mengecewakan dibandingkan kematian Amirul Mukminin Harun. Aku berharap Allah mengambil sebagian umurku untuk menambah umurnya.”
Murid-murid Fudhail semula menganggap perkataan itu sebagai sanjungan berlebihan. Namun setelah Harun wafat dan muncul fitnah besar di masa al-Ma’mun —yakni munculnya paham khalqul Qur’an (Al-Qur’anmakhluk)—mereka pun sadar bahwa Fudhail benar. Dengan wafatnya Harun al-Rasyid, hilanglah pemimpin yang menjaga kemurnian akidah umat.
Khalifah Harun al-Rasyid bukan sekadar tokoh sejarah, melainkan teladan kepemimpinan Islami yang memadukan kekuasaan dan ketakwaan. Ia melindungi sunnah, menghormati ulama, dan menegakkan kebenaran tanpa kompromi. Ia bukan penguasa yang hidup dalam kemewahan semata, melainkan pemimpin yang air matanya menetes karena rindu kepada Rasulullah ﷺ.
Dalam diri Harun al-Rasyid, kita melihat gambaran nyata seorang pemimpin yang berilmu, beradab, dan berjiwa hamba Allah sejati. Sejarah mungkin bisa terungkap, tetapi kebenaran akan selalu ditemukan. Nama Harun al-Rasyid tetap akan dikenang sebagai Amirul Mukminin yang mencintai sunnah dan ulama .
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
