SURAU.CO – Dalam sejarah kehidupan para salaf, banyak kisah yang menggambarkan keindahan iman dan kesabaran menghadapi ujian hidup. Salah satunya adalah kisah Abu Qilabah, seorang shaleh yang hidup zuhud, sabar, dan penuh syukur meski dalam keadaan yang sangat sulit. Kisahnya, yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqaat, menjadi pelajaran berharga tentang makna kesabaran sejati dan rasa syukur kepada Allah, bahkan di tengah penderita yang paling berat sekalipun.
Suatu hari, seorang laki-laki bernama Abu Ibrahim bercerita bahwa ia pernah tersesat di padang pasir. Saat berjalan tanpa arah, ia menemukan sebuah kemah tua. Di dalam kemah itu duduk seorang lelaki renta dengan keadaan yang sangat memprihatinkan — kedua tangannya buntung, matanya buta, dan ia hidup sendirian tanpa keluarga. Meskipun demikian, dari bibirnya terus terucap kalimat penuh makna:
“Alhamdulillah alladzī faḍḍalanī ‘alā katsīrin mimman khalaqa tafḍīlā.”
“Segala puji bagi Allah yang telah melebihkanku di atas banyakmakhluk yang telah Dia ciptakan.”
Abu Ibrahim terheran mendengar ucapan itu. Ia heran bagaimana mungkin seseorang yang kehilangan begitu banyak kenikmatan masih bisa mengucap syukur dan merasa lebih beruntung daripada banyak orang lainnya.
Syukur yang Lahir dari Keimanan
Ketika Abu Ibrahim menanyakan alasan dibalik kalimat syukur tersebut, lelaki tua itu menjawab dengan lembut namun penuh makna. Ia berkata bahwa meski tubuhnya cacat dan hidupnya sebatang kara, Allah masih memberikan akal sehat yang membuatnya mampu berpikir dan mengenal Tuhannya.
“Berapa banyak orang gila di dunia ini?” tanyanya.
“Banyak,” jawab Abu Ibrahim.
Maka, segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia, jawab si tua itu.
Ia kemudian melanjutkan, bahwa Allah masih memberikan pendengaran untuk mendengar adzan dan dzikir, lisan untuk mengingat nama Allah, dan yang paling utama — iman dan Islam yang menuntunnya dalam kesabaran.
“Berapa banyak orang yang sakit seperti aku, tapi mereka kafir kepada Allah?” katanya. “Mereka menderita di dunia, dan akan menderita di akhirat. Bagi saya, semoga Allah menjadikanku termasuk orang yang bersabar dan mendapat balasan-Nya.”
Ucapan itu membuat Abu Ibrahim menangis. Ia menyadari bahwa syukur sejati bukanlah tentang apa yang dimiliki secara lahiriah, melainkan tentang bagaimana seseorang memandang nikmat Allah melalui hati yang beriman.
Permintaan yang Menggetarkan
Di tengah perbincangan itu, lelaki tua tersebut mengajukan satu permintaan. Ia berkata lirih bahwa satu-satunya anggota keluarganya yang tersisa hanyalah seorang anak laki-laki berusia empat belas tahun. Anak itulah yang selama ini menemaninya, menyuapi, memandikannya, dan memenuhi segala kebutuhannya. Namun, sejak malam sebelumnya, sang anak pergi mencari makanan dan belum juga kembali.
Ia memohon kepada Abu Ibrahim untuk mencari anaknya, sebab dalam kondisi buta dan cacat, ia tak mampu berbuat apa-apa. Dengan iba, Abu Ibrahim menyanggupi permintaan itu.
Abu Ibrahim pun berkeliling mencari anak tersebut. Ia melintasi lembah, bukit, dan padang pasir. Hingga akhirnya, di sebuah bukit kecil, ia melihat kawanan burung gagak berkerumun. Dengan hati berdebar, ia mendekat, dan betapa terkejutnya ia ketika mendapati tubuh anak itu telah tercabik-cabik — rupanya diserang oleh serigala.
Air matanya menetes. Ia lebih sedih memikirkan bagaimana menyampaikan kabar ini kepada ayah si anak, daripada memikirkan jasad bocah malang itu sendiri.
Ujian dan Kesabaran
Setelah menenangkan diri, Abu Ibrahim kembali ke kemah dan berusaha menyiapkan kata-kata terbaik. Ia teringat pada kisah Nabi Ayyub ‘alaihissalaam , yang diuji dengan penderitaan luar biasa namun tetap bersyukur dan sabar.
Ia pun berkata kepada si tua, “Siapakah yang lebih dicintai Allah, kamu atau Ayyub?”
“Tentu Ayyub,” jawabnya.
“Dan siapa yang lebih berat ujiannya?”
“Tentu saja Ayyub.”
“Kalau begitu, bersabarlah dan berharaplah pahala dari Allah. Karena anakmu telah dibunuh oleh serigala di lereng gunung.”
Mendengar kabar itu, lelaki tua tersebut hanya mampu mengucapkan, “Lā ilāha illallāh…” Air matanya mengalir deras. Abu Ibrahim berusaha menenangkan dan menalqinkannya. Tak lama kemudian, di tengah kesedihan dan dzikirnya kepada Allah, lelaki saleh itu menahan napas terakhir.
Abu Ibrahim menutup jasadnya dengan kain seadanya, lalu mencari bantuan untuk menguburkannya. Tak lama kemudian, datanglah tiga orang musafir. Mereka setuju membantu, namun ketika membuka kain penutup wajahnya, mereka terkejut dan berteriak, “ Abu Qilabah! Abu Qilabah! ”
Ternyata, lelaki itu bukan orang sembarangan. Ia adalah Abu Qilabah ‘Abdullah bin Zaid , seorang ulama besar yang dikenal karena ketakwaan dan ilmunya. Namun, karena berbagai ujian hidup, ia memilih menyendiri di padang pasir, menjauh dari hiruk pikuk dunia.
Abu Ibrahim dan para musafir itu pun memandikan, mengafani, dan menguburkannya dengan penuh hormat. Setelah peristiwa itu, Abu Ibrahim bermimpi melihat Abu Qilabah dalam keadaan sempurna, berpakaian putih bersih, dan berjalan di taman hijau surga.
Ketika ditanya apa yang membuatnya mendapatkan kenikmatan seperti itu, Abu Qilabah menjawab:
“Allah telah memasukkanku ke dalam surga dan berkata kepadaku: ‘Salāmun ‘alaikum bimā ṣabartum, fanima ‘uqbād-dār’
(Salam sejahtera atas kalian kesabaran karena kalian. Maka alangkah baik tempat kembali itu.)”*
(QS. Ar-Ra’d [13]: 24)
Pelajaran dari Kisah Abu Qilabah
Kisah ini menunjukkan bahwa rasa syukur dan kesabaran adalah kunci kebahagiaan sejati. Abu Qilabah tidak memandang kekurangannya sebagai alasan untuk mengambil keputusan, tetapi sebagai kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ia menyadari bahwa setiap detak napas, setiap kemampuan berpikir, mendengar, dan mengingat Allah adalah nikmat yang tak ternilai.
Dari kisah ini pula kita belajar bahwa balasan indah dari Allah tidak selalu tampak di dunia. Namun, bagi mereka yang bersabar dan bersyukur, Allah telah menyiapkan balasan terbaik di akhirat — tempat yang penuh ketenangan, sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”
(QS. Az-Zumar [39]: 10)
Kisah Abu Qilabah menjadi pengingat bahwa ketika segala sesuatu terasa hilang, masih ada yang tak akan pernah pergi: rahmat dan kasih sayang Allah bagi hamba-hamba-Nya yang bersabar dan bersyukur.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
