SURAU.CO – Ummu Kultsum binti Abu Bakar ash-Shiddiq al-Qurasyiyah at-Taimiyah termasuk salah satu perempuan mulia dari generasi awal Islam. Ia tidak sempat bertemu langsung dengan Rasulullah ﷺ karena lahir setelah beliau wafat. Namun, kisah hidupnya menampilkan kemuliaan akhlak, kecerdasan, dan semangat keilmuan yang ia warisi dari keluarga besar Abu Bakar ash-Shiddiq. Sepanjang hidupnya, Ummu Kultsum menampilkan bagaimana nilai kesalehan, kedermawanan, dan keteguhan hati tertanam kuat dalam diri seorang perempuan Muslim pada masa awal Islam.
Ummu Kultsum lahir dari pasangan Abu Bakar ash-Shiddiq dan Habibah binti Kharijah. Ketika Abu Bakar sakit menjelang wafat, dia berkata kepada putrinya, Aisyah, “Aku yakin bayi yang dikandung Habibah adalah perempuan.” Ucapan itu terbukti benar setelah Abu Bakar wafat, karena Habibah melahirkan seorang bayi perempuan yang kemudian mereka beri nama Ummu Kultsum. Para ulama menganggap hal ini sebagai salah satu bentuk karamah (kemuliaan spiritual) Abu Bakar karena bahayanya terbukti benar.
Sejak kecil, Ummu Kultsum tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sarat ilmu dan teladan. Kakaknya, Aisyah binti Abu Bakar, yang juga Ummul Mukminin, terkenal karena kecerdasannya dan menjadi rujukan utama dalam ilmu hadis. Melalui Aisyah, Ummu Kultsum mempelajari banyak hal tentang ajaran Rasulullah ﷺ dan kehidupan beragama yang seimbang antara ilmu dan amal.
Menjadi Istri Sahabat Dermawan, Thalhah bin Ubaidillah
Ketika dewasa, Ummu Kultsum menikah dengan Thalhah bin Ubaidillah , salah satu sahabat utama Rasulullah ﷺ yang termasuk dalam Asyrah al-Mubasyyarin bil Jannah —sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Dari pernikahan ini, ia melahirkan dua anak bernama Zakariya dan Yusuf. Namun, Yusuf meninggal saat masih kecil.
Sebagai istri, Ummu Kultsum menunjukkan kecerdasan dan kebijaksanaan luar biasa. Suatu hari, Thalhah membawa harta pulang sebesar 100.000 dinar dari Hadramaut. Malam itu, dia tidak bisa tidur karena gelisah. Ummu Kultsum yang menyadari permusuhan suaminya segera menanyakan alasannya. Thalhah menjawab, “Aku khawatir menahan harta ini semalaman tanpa menunaikan haknya.” Dengan lembut, Ummu Kultsum menasihatinya, “Besok pagi, mintalah wadah dan bagikan harta itu kepada kaum Muhajirin dan Anshar sesuai dengan kedudukan mereka.”
Thalhah tersenyum dan berkata, “Semoga Allah merahmatimu. Engkau benar-benar wanita yang mendapat taufik, putri dari lelaki yang juga diberi taufik.” Keesokan paginya, mereka memanggil pembantu untuk menyiapkan wadah, lalu membagikan seluruh harta itu tanpa menahan sedikit pun. Kisah ini menampilkan bahwa Ummu Kultsum tidak hanya mewarisi kedermawanan ayahnya, tetapi juga menumbuhkan semangat amal dalam kehidupan rumah tangganya.
Kedekatan dengan Aisyah dan Ilmu Susuan
Ummu Kultsum memiliki hubungan yang sangat dekat dengan kakaknya, Aisyah. Suatu hari, Aisyah mengutus Salim bin Abdullah bin Umar agar disusui oleh Ummu Kultsum sebanyak sepuluh kali supaya menjadi mahram dan bebas keluar masuk rumahnya. Ummu Kultsum mulai menyusui Salim, tetapi karena sakit, dia hanya sempat melakukannya tiga kali. Akibatnya, proses itu tidak selesai, dan Salim tidak menjadi mahram bagi Aisyah.
Peristiwa ini menjadi rujukan penting dalam pembahasan fiqih radha’ah (hukum susuan). Kisah ini menunjukkan bagaimana keluarga Abu Bakar berusaha menerapkan hukum Islam dengan teliti dan penuh kesadaran akan tanggung jawab syar’i.
Menolak Lamaran Umar bin al-Khattab
Ummu Kultsum juga pernah menghadapi peristiwa penting ketika Umar bin al-Khattab melamarnya. Umar mengirimkan lamaran melalui Aisyah, yang berperan sebagai wali sekaligus pengasuh sang adik. Setelah mendengar lamaran itu, Ummu Kultsum menolaknya karena perbedaan usia yang sangat jauh. Umar menerima penolakan itu dengan lapang dada dan tidak mempermasalahkannya.
Tak lama setelah itu, Thalhah bin Ubaidillah melamarnya, dan Aisyah menikahkan keduanya. Ketika mendengar kabar pernikahan itu, Ali bin Abi Thalib mengucapkan selamat kepada Thalhah dan berkata, “Engkau telah menikahi perempuan dari keluarga yang penuh keberkahan.” Dengan pernikahan itu, Ummu Kultsum memulai babak baru dalam hidupnya sebagai istri salah satu sahabat terkemuka.
Dalam kehidupan keluarga, Ummu Kultsum menanamkan nilai hormat dan kecerdasan kepada anak-anaknya. Suatu hari, putrinya, Aisyah binti Thalhah , berkata kepadanya, “Ayahku lebih baik daripada ayahmu, wahai Ibu.” Ummu Kultsum menanggapinya dengan senyum, dan kakaknya Aisyah (Ummul Mukminin) menengahi sambil berkata, “Abu Bakar menerima kabar gembira sebagai orang yang dibebaskan dari neraka, sedangkan Thalhah menerima kabar gembira sebagai syahid di jalan Allah.”
Percakapan itu menggambarkan suasana keakraban dan kecerdasan di antara keluarga para sahabat. Mereka tidak hanya berdebat tentang keutamaan, tetapi juga menampilkan cara menghargai kelebihan masing-masing dengan bijak.
Pewarisan Ilmu dan Hadis
Walaupun tidak tergolong sahabat karena lahir setelah Rasulullah ﷺ wafat, Ummu Kultsum tetap berperan dalam meriwayatkan hadis. Ia meriwayatkan hadis dari Aisyah, di mana Rasulullah ﷺ bersabda:
Rasulullah ﷺ keluar pada suatu malam hingga larut, sementara orang-orang di masjid telah tidur. Kemudian dia keluar dan shalat, lalu bersabda: ‘Inilah waktunya (shalat malam). Kalau tidak memberatkan umatku, niscaya aku akan memenuhinya.’
Selain itu, Ummu Kultsum juga meriwayatkan doa panjang yang Rasulullah ﷺ ajarkan kepada Aisyah. Doa ini berisi permohonan untuk segala kebaikan dan perlindungan dari seluruh keburukan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Imam Ahmad meriwayatkannya dalam Musnad (no. 24498), dan Ibnu Majah mencatatnya dalam Sunan (no. 3846). Al-Albani kemudian menilai hadis ini sahih dalam Shahih al-Jami’ (no. 1276).
Kisah hidup Ummu Kultsum binti Abu Bakar ash-Shiddiq menampilkan bahwa Islam menempatkan perempuan dalam posisi penting sebagai pendidik, istri, ibu, dan penjaga ilmu. Ia tumbuh di tengah keluarga yang menanamkan cinta terhadap ilmu dan amal saleh. Dengan kelembutan sikap, kecerdasan berpikir, dan keteguhan iman, ia menjadi salah satu teladan perempuan Muslimah dalam sejarah Islam awal.
Abu Bakar dikenal sebagai Ash-Shiddiq karena kejujuran dan keteguhan imannya, dan putri mewarisi sifat itu dengan caranya sendiri—melalui keilmuan, kedermawanan, dan kesalehan. Meski namanya tidak mengatur Aisyah binti Abu Bakar, kisah hidupnya memperkaya mozaik sejarah Islam dan menegaskan bahwa perempuan berperan besar dalam membangun peradaban iman dan ilmu.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
