SURAU.CO – Dalam sejarah Islam, umat Islam selalu mengenang nama Imam Bukhari sebagai salah satu ulama terbesar di bidang hadis. Seluruh ulama pada masanya mengakui keilmuannya. Hingga kini, karya monumentalnya Shahih al-Bukhari menduduki posisi kitab paling otoritatif setelah Al-Qur’an. Namun, dibalik kebesaran itu, tersimpan kisah perjuangan, keteguhan prinsip, dan pengorbanan yang luar biasa. Imam Bukhari tidak hanya menjadi ulama yang cerdas, tetapi juga tampil sebagai sosok prajurit yang mempertahankan kehormatan ilmu pengetahuan, meskipun harus berhadapan langsung dengan penguasa.
Imam Bukhari lahir di kota Bukhara (sekarang wilayah Uzbekistan) pada tahun 194 H (810 M). Sejak kecil, ia sudah menunjukkan kecerdasan luar biasa dalam memahami dan menghafal hadis. Saat berusia 10 tahun, ia mulai menghafal hadis-hadis Nabi SAW dan mempelajari sanadnya dengan cermat. Ia tumbuh menjadi sosok yang sangat teliti dalam menyelidiki kebenaran sebuah hadis, baik dari segi matan (isi) maupun sanad (rantai perawi).
Ketika kedewasaannya tiba, para ulama mengakui ketekunan dan keluasan ilmunya. Mereka bahkan dianugerahi gelar Amirul Mukminin fil Hadis — pemimpin kaum mukmin dalam bidang hadis. Gelar ini hanya diberikan kepada ulama yang mencapai puncak keilmuan hadis. Banyak ulama besar dari berbagai negeri datang kepadanya untuk belajar, berdiskusi, dan menguji kecermatan ilmunya.
Ujian dari Para Ulama
Suatu hari, Imam Bukhari mengunjungi kota Samarkand. Di sana, sekitar 400 ulama hadis berkumpul dengan tujuan menguji kemampuannya. Mereka mencampuradukkan sanad dan matan hadis — misalnya menukar sanad hadis dari Syam ke Irak dan sebaliknya. Mereka berharap dapat menjatuhkan reputasi Imam Bukhari yang sudah terkenal di dunia Islam.
Namun, Imam Bukhari menyambut ujian itu dengan tenang. Ketika mereka membacakan hadis-hadis yang telah mereka ubah, ia langsung menolak semua hadis yang tidak bersanad sahih. Ia menjelaskan kesalahan mereka satu demi satu, meluruskan sanadnya, dan mengembalikan setiap hadis kepada sumber aslinya. Para ulama yang semula berniat menjatuhkannya akhirnya mengakui kehebatannya dan menghormati keluasan ilmunya. Peristiwa serupa juga terjadi di Bagdad, sebagaimana dicatat oleh Abu Zahrah dalam al-Hadis wal Muhaditsun .
Penolakan terhadap Penguasa
Kecerdasan dan keteguhan Imam Bukhari ternyata membuat sebagian penguasa merasa terganggu. Salah satu peristiwa paling terkenal terjadi ketika ia berhadapan dengan penguasa Khurasan, Khalid bin Ahmad adz-Dzahili. Penguasa itu mendengar populernya Imam Bukhari dan ingin agar anak-anaknya belajar langsung kepadanya di istana.
Khalid bin Ahmad mengirim utusan untuk memanggil Imam Bukhari agar datang mengajar di istana dan memberikan presentasi di hadapan para bangsawan. Imam Bukhari menolak permintaan itu dengan tegas. Ia berkata, “Ilmu diajarkan di rumahku.” Bagi Imam Bukhari, ilmu merupakan anugerah Allah yang harus dijaga keindahannya. Ia menolak menjadikan ilmu sebagai sarana mencari kedudukan di mata penguasa. Ia juga menolak merendahkan martabat ilmu dengan mengunjungi istana hanya demi kehormatan duniawi.
Penolakan itu membuat sang penguasa murka. Khalid bin Ahmad kemudian memerintahkan masyarakat untuk berhenti menghadiri majelis ilmu Imam Bukhari. Namun, masyarakat tetap menolak perintah itu. Ribuan murid tetap datang ke rumah Imam Bukhari untuk menuntut ilmu, karena mereka percaya pada kejujuran dan kedalaman ilmunya.
Melihat pengaruh Imam Bukhari yang semakin besar, penguasa Khurasan mulai merasa khawatir. Ia pun mengambil langkah keras dengan mengasingkan Imam Bukhari dari kota Bukhara. Imam Bukhari terpaksa meninggalkan negerinya sendiri dan pindah ke Khartand, sebuah daerah terpencil yang jauh dari Samarkand.
Selama masa tayangnya, Imam Bukhari tetap menjalankan aktivitas keilmuannya. Ia terus menulis, berdoa, dan mengajarkan hadis kepada murid-murid yang setia datang kepadanya. Ia menjalani cobaan itu dengan sabar dan menerima takdir Allah dengan lapang dada. Meskipun hidup dalam kesunyian dan keterbatasan, semangatnya untuk menyebarkan ilmu tidak pernah padam. Namun, kondisi fisiknya akhirnya melemah karena tekanan dan usia yang menua. Pada malam hari raya Idul Fitri tahun 256 H (870 M), Imam Bukhari menghembuskan napas terakhir di tempat observasinya.
Warisan Abadi Sang Ulama
Wafatnya Imam Bukhari menggemparkan dunia Islam. Banyak ulama dan muridnya yang menangisi kepergiannya, namun mereka tetap melanjutkan perjuangannya dalam menjaga hadis Nabi SAW. Karya besarnya, Shahih al-Bukhari , menjadi bukti nyata keikhlasan dan keteguhan imannya. Dalam kitab itu, Imam Bukhari menyeleksi lebih dari 7.000 hadis sahih dari ratusan ribu hadis yang pernah ia pelajari. Ia menyaringnya dengan standar keilmuan yang sangat ketat agar umat Islam dapat memperoleh hadis yang benar-benar sahih.
Kisah hidup Imam Bukhari mengajarkan bahwa seorang pembawa ilmu harus menjaga kehormatan ilmunya. Ia tidak boleh menjual ilmu demi kepentingan dunia, kekuasaan, atau kedudukan. Imam Bukhari menolak penyerahan pada penguasa karena ia hanya penyerahan kepada Allah SWT. Ia menjadikan ilmu sebagai jalan menuju keridaan Allah, bukan sebagai alat mencari pujian manusia.
sebagaimana sabda Nabi SAW:
“Barang siapa menuntut ilmu untuk mencari wajah Allah, kemudian dia tidak menuntutnya kecuali untuk tujuan dunia, maka dia tidak akan mencium bau surga.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Imam Bukhari membuktikan makna hadis ini sepanjang hidupnya. Ia menunjukkan bahwa kemuliaan seorang alim tidak diukur dari kedekatannya dengan penguasa, tetapi dari keikhlasannya dalam menegakkan kebenaran dan menjaga amanah ilmu.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
