Islam, sebagai agama yang paripurna, tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, tetapi juga memberikan pedoman komprehensif untuk interaksi sosial antar sesama. Salah satu pilar utama yang ditegakkan dalam ajaran Islam adalah keadilan sosial. Konsep ini bukan sekadar idealisme, melainkan sebuah prinsip fundamental yang termanifestasi dalam berbagai aspek kehidupan, dari ekonomi, hukum, hingga etika bermasyarakat. Untuk memahami esensi keadilan sosial dalam Islam, kita dapat merujuk pada salah satu surat paling penting dalam Al-Quran, yaitu Surat An-Nisa.
Surat An-Nisa, yang berarti “Perempuan,” secara spesifik menyoroti isu-isu terkait hak-hak perempuan, anak yatim, dan distribusi warisan. Wahyu ilahi ini turun pada periode awal pembentukan masyarakat Muslim di Madinah, ketika banyak norma dan praktik sosial pra-Islam masih berlaku. Al-Quran datang untuk mereformasi praktik-praktik tersebut, menegakkan keadilan, dan mengangkat martabat kelompok-kelompok yang sebelumnya termarjinalkan.
Hak-Hak Perempuan: Membangun Kesetaraan yang Adil
Sebelum Islam, posisi perempuan dalam masyarakat Arab Jahiliyah sangat rentan. Mereka seringkali dianggap sebagai properti, tidak memiliki hak waris, dan diperlakukan diskriminatif. Surat An-Nisa dengan tegas mengubah paradigma ini. Allah SWT berfirman:
“Dan berikanlah kepada perempuan-perempuan mahar mereka sebagai pemberian yang tulus. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka terimalah pemberian itu sebagai rezeki yang baik dan halal.” (QS. An-Nisa: 4)
Ayat ini menegaskan hak perempuan atas mahar, bukan sebagai harga beli, melainkan sebagai hak milik mereka sepenuhnya. Ini adalah pengakuan awal terhadap kemandirian finansial perempuan. Lebih lanjut, Surat An-Nisa juga membahas hak-hak perempuan dalam pernikahan, perceraian, dan pengasuhan anak, memastikan bahwa mereka diperlakukan dengan adil dan bermartabat. Islam memandang perempuan sebagai subjek hukum yang setara, memiliki hak dan kewajiban yang proporsional dengan laki-laki, meskipun peran mereka dalam masyarakat mungkin berbeda. Prinsip keadilan ini tercermin dalam perlindungan hukum yang diberikan kepada perempuan dalam berbagai situasi.
Perlindungan Anak Yatim: Prioritas Utama dalam Keadilan Sosial
Anak yatim merupakan kelompok masyarakat yang sangat rentan. Kehilangan orang tua, terutama ayah sebagai tulang punggung keluarga, dapat menempatkan mereka dalam kesulitan ekonomi dan sosial. Islam sangat menekankan perlindungan dan pengasuhan anak yatim, menjadikannya salah satu indikator keadilan sosial. Surat An-Nisa berulang kali mengingatkan umat Muslim tentang tanggung jawab mereka terhadap anak yatim:
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan itu adalah dosa besar.” (QS. An-Nisa: 2)
Ayat ini secara eksplisit melarang penyalahgunaan harta anak yatim, menegaskan bahwa harta mereka harus dikelola dengan amanah dan dikembalikan kepada mereka ketika sudah dewasa. Islam memandang merawat anak yatim sebagai bentuk ibadah dan investasi di akhirat. Masyarakat Muslim memiliki kewajiban kolektif untuk memastikan kesejahteraan anak yatim, baik melalui bantuan materiil maupun pendidikan. Ini adalah wujud nyata dari keadilan sosial yang mengedepankan perlindungan bagi yang paling lemah.
Distribusi Warisan yang Adil: Mencegah Kesenjangan dan Ketimpangan
Salah satu kontribusi signifikan Surat An-Nisa terhadap keadilan sosial adalah penetapan aturan warisan yang detail dan adil. Sebelum Islam, sistem warisan seringkali bias dan tidak adil, di mana perempuan dan anak-anak seringkali tidak mendapatkan bagian. Surat An-Nisa menetapkan porsi warisan yang jelas untuk setiap ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan, berdasarkan derajat kekerabatan:
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh separuh (harta yang ditinggalkan).” (QS. An-Nisa: 11)
Ayat ini, beserta ayat-ayat warisan lainnya dalam surat ini, berfungsi untuk mencegah akumulasi kekayaan pada segelintir orang dan memastikan distribusi kekayaan yang lebih merata dalam masyarakat. Sistem warisan Islam bertujuan untuk mengurangi kesenjangan ekonomi dan memberikan kesempatan kepada seluruh anggota keluarga untuk memiliki bagian dari kekayaan yang ditinggalkan. Ini adalah upaya sistematis untuk mewujudkan keadilan distributif, mencegah penumpukan harta yang dapat menimbulkan ketimpangan sosial.
Implikasi Keadilan Sosial dalam Kehidupan Kontemporer
Prinsip-prinsip keadilan sosial yang terkandung dalam Surat An-Nisa relevan sepanjang masa. Dalam konteks modern, umat Muslim ditantang untuk mengimplementasikan nilai-nilai ini dalam sistem ekonomi, politik, dan sosial. Penegakan hak-hak perempuan, perlindungan anak-anak dan kelompok rentan lainnya, serta distribusi kekayaan yang adil, adalah bagian integral dari membangun masyarakat yang berkeadilan berdasarkan ajaran Islam.
Keadilan sosial dalam Islam bukan hanya tentang memberikan hak, tetapi juga tentang menunaikan tanggung jawab. Setiap individu, institusi, dan pemerintah memiliki peran dalam mewujudkan masyarakat yang adil. Melalui refleksi mendalam terhadap Surat An-Nisa, kita diingatkan akan komitmen Islam terhadap keadilan, kesetaraan, dan martabat manusia, yang semuanya adalah fondasi bagi peradaban yang berakhlak mulia.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
