Kalam
Beranda » Berita » Menjaga Lisan di Era Media Sosial: Kalam Thayyib dan Etika Digital Muslim

Menjaga Lisan di Era Media Sosial: Kalam Thayyib dan Etika Digital Muslim

Menjaga Lisan
Menjaga Lisan

SURAU.CO-Menjaga Lisan di Era Media Sosial menjadi tanggung jawab baru bagi setiap muslim di tengah derasnya arus komunikasi digital. Saat ini, setiap jempol berbicara, setiap tulisan menjadi saksi, dan setiap komentar meninggalkan jejak panjang di dunia maya. Karena itu, Menjaga Lisan di Era Media Sosial berarti menjaga kehormatan diri dan orang lain melalui kata-kata yang tertulis. Dunia digital menuntut kesadaran penuh bahwa lisan bukan hanya suara, tetapi juga teks yang menggambarkan hati dan keimanan.

Selain itu, dalam ajaran Islam, kalam thayyib—perkataan yang baik—merupakan ibadah yang bernilai tinggi. Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” Prinsip ini tetap berlaku di setiap ruang, baik nyata maupun digital. Jika dahulu lidah yang berbicara, kini jari yang menulis. Oleh sebab itu, setiap kata di layar memiliki dampak spiritual, sosial, dan emosional. Dengan kesadaran tersebut, setiap muslim dapat membentuk karakter berhati-hati dalam berkomunikasi.

Namun demikian, banyak pengguna media sosial tergoda menulis dengan emosi, menyebarkan kabar tanpa verifikasi, atau melontarkan kritik tanpa empati. Satu kalimat kasar saja bisa menciptakan konflik besar dan merusak citra seseorang. Karena penyebaran pesan begitu cepat, dampaknya pun tak dapat ditunda. Maka dari itu, siapa pun perlu berpikir sebelum mengetik dan memastikan bahwa setiap kata membawa manfaat, bukan mudarat.

Selain berdampak pada individu, pengalaman menunjukkan bahwa kehati-hatian dalam menulis juga berpengaruh positif terhadap lingkungan digital secara luas. Orang yang mempraktikkan kalam thayyib di dunia maya mampu menenangkan situasi, mempererat hubungan, dan membangun reputasi baik. Sebaliknya, mereka yang terbiasa menulis tanpa kendali justru kehilangan kepercayaan dan kesempatan. Dengan demikian, dunia digital bisa menjadi ladang pahala jika digunakan untuk menyebarkan kebaikan, bukan tempat melampiaskan emosi.

Menanam Kalam Thayyib di Dunia Digital

Menanam kalam thayyib di dunia digital berarti menghadirkan nilai kesantunan, kejujuran, dan empati dalam setiap interaksi daring. Selain menjaga ucapan, pengguna media sosial juga perlu menjaga tulisan. Setiap komentar, unggahan, dan pesan mencerminkan akhlak pribadi. Karena itu, Islam menuntun umat agar berbicara dan menulis dengan adab—tidak menghina, tidak mencela, dan tidak menyebarkan kebohongan. Nilai-nilai ini harus tetap hidup di dunia yang serba cepat dan tanpa batas.

Manajemen Waktu: Refleksi Mendalam Bab Bersegera dalam Kebaikan

Lebih jauh, kebiasaan terbaik dalam menjaga komunikasi digital adalah menahan diri sebelum mengetik. Dengan mengambil jeda sejenak untuk berpikir, seseorang dapat menghindari kesalahpahaman dan permusuhan. Apabila sebuah kalimat tidak memberi manfaat, maka diam lebih utama. Akibatnya, ruang digital akan terasa lebih damai dan menenangkan bagi semua pihak.

Selain itu, menyebarkan konten positif merupakan wujud nyata kalam thayyib di dunia digital. Tulisan edukatif, nasihat bijak, dan kisah inspiratif dapat menggantikan budaya gosip serta perdebatan yang tidak bermanfaat. Dengan langkah sederhana seperti ini, pengguna media sosial berkontribusi menciptakan budaya saling menghormati dan menumbuhkan ukhuwah Islamiyah di ruang maya.

Tidak hanya itu, banyak kreator muslim telah membuktikan bahwa dakwah di media sosial dapat dilakukan dengan cara yang santun dan kreatif. Mereka menyampaikan pesan moral melalui konten ringan namun bermakna. Dengan pendekatan yang positif dan komunikatif, pesan kebaikan menjadi lebih mudah diterima masyarakat luas. Hal ini menunjukkan bahwa kalam thayyib bukan sekadar teori, tetapi gaya hidup spiritual yang relevan di era digital.

Menjadikan Media Sosial Sebagai Ladang Amal

Ketika seseorang menulis dengan niat yang baik, setiap huruf yang diketik bernilai amal saleh. Karena itu, menjadikan media sosial sebagai ladang amal berarti menanamkan niat spiritual dalam setiap aktivitas daring. Setiap unggahan, komentar, atau tanggapan dapat menjadi ibadah jika bertujuan menebar manfaat. Dunia digital hanyalah alat; manusialah yang menentukan apakah alat itu menjadi jalan kebaikan atau keburukan.

Selain niat, perubahan dari pengguna pasif menjadi penyebar nilai juga memerlukan disiplin moral dan kesadaran diri. Misalnya, dengan memeriksa kebenaran berita sebelum membagikan, memilih kata yang sopan, dan menghormati perbedaan pendapat. Tindakan kecil ini mencerminkan jihad sosial di era modern. Melalui sikap seperti itu, umat Islam dapat membangun peradaban digital yang beretika dan penuh keberkahan.

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

Pada dasarnya, etika digital merupakan lanjutan dari akhlak Islam klasik yang kini menemukan wadah baru di dunia maya. Adab berbicara yang diajarkan para ulama terdahulu kini diterjemahkan dalam bentuk tanggung jawab digital. Mereka yang mampu menjaga lisannya di ruang maya sejatinya sedang menegakkan perintah Allah dalam konteks zaman yang berubah.

Akhirnya, menjaga lisan di dunia digital bukan hanya soal kata, tetapi juga soal niat, sikap, dan tanggung jawab moral. Ketika niat diarahkan untuk menebar kebaikan, setiap interaksi daring akan berubah menjadi ladang amal. Sebaliknya, ketika niat untuk menjatuhkan orang lain mendominasi, tulisan tersebut menjadi beban moral yang berat. Oleh karena itu, setiap muslim perlu kembali mengendalikan lisannya—baik yang terdengar maupun yang tertulis—agar dunia digital tetap menjadi ruang yang berisi keberkahan dan kebaikan. (Hendri Hasyim)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement