SURAU.CO – Kisah tentang Manna wa Salwa menjadi salah satu kisah menarik dalam Al-Qur’an yang menggambarkan bentuk rezeki luar biasa yang Allah SWT berikan kepada Bani Israil. Dua jenis makanan ini tidak hanya melambangkan karunia Allah, tetapi juga memuat nilai spiritual, sosial, dan ilmiah. Melalui tafsir klasik seperti Tafsir al-Thabariy , kita dapat memahami makna Manna wa Salwa secara mendalam. Ketika kita menghubungkannya dengan ilmu gizi modern, muncul hubungan menarik antara ajaran agama dan pengetahuan sains kontemporer.
Allah SWT menyebut Manna wa Salwa dalam beberapa ayat, salah satunya pada Surat Al-Baqarah ayat 57:
“Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu manna dan salwa. Makanlah dari rezeki yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu…”
Ayat ini menggambarkan masa ketika Bani Israil hidup di padang pasir setelah mereka keluar dari Mesir bersama Nabi Musa AS. Dalam kondisi sulit, Allah menurunkan makanan langsung dari langit, yaitu manna dan salwa , sebagai wujud kasih sayang dan pemeliharaan-Nya terhadap mereka.
Tafsir Al-Thabariy tentang Manna wa Salwa
Imam Al-Thabariy dalam Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āyi al-Qur’ān menjelaskan secara rinci makna dua istilah ini. Ia menjelaskan bahwa manna merupakan zat manis yang keluar dari pepohonan atau turun seperti embun di pagi hari. Zat ini terasa manis dan dapat dijadikan makanan pokok bagi Bani Israil. Al-Thabariy menukil berbagai pendapat ulama terdahulu, termasuk pendapat yang menyatakan bahwa manna menyerupai getah manis dari pohon tertentu yang bisa mereka makan langsung atau olah menjadi makanan lain.
Sedangkan salwa , menurut Al-Thabariy, berarti burung kecil yang berdaging lezat. Burung-burung ini datang dalam jumlah banyak sehingga Bani Israil dapat menangkap dan memasaknya dengan mudah. Para ahli tafsir sepakat bahwa salwa berfungsi sebagai sumber protein yang melengkapi manna sebagai sumber karbohidrat dan energi.
Dari penjelasan ini, kita dapat melihat bahwa manna wa salwa bukan hanya simbol spiritual tentang rezeki, tetapi juga makanan nyata yang menyediakan gizi seimbang bagi manusia.
Menurut Al-Thabariy, kisah ini tidak sekadar menggambarkan karunia Allah dalam bentuk makanan, tetapi juga menyampaikan pelajaran moral yang mendalam. Bani Israil sempat mengeluh dan merasa bosan dengan makanan yang sama, lalu mereka meminta makanan lain seperti sayuran dan bawang dari bumi. Allah menegur sikap mereka karena mereka tidak mensyukuri rezeki yang mulia tersebut.
Pelajaran utama dari kisah ini mengajarkan kita untuk selalu bersyukur atas nikmat Allah. Manna wa salwa menunjukkan kesempurnaan rezeki karena tercukupinya kebutuhan gizi, mudah didapat, dan tidak memerlukan usaha berat. Namun, ketika manusia berhenti bersyukur, Allah dapat mencabut kenikmatan itu kapan saja.
Relevansi Manna wa Salwa dengan Ilmu Gizi Modern
Jika kita mengulas kisah Manna wa Salwa melalui kacamata ilmu gizi, terdapat banyak hal menarik untuk dipelajari. Berdasarkan tafsir Al-Thabariy, manna merupakan zat manis alami yang mirip getah pohon atau embun madu. Zat ini mengandung karbohidrat sederhana yang berfungsi sebagai sumber energi cepat bagi tubuh. Dalam ilmu gizi modern, kita dapat membandingkan manna dengan bahan alami seperti madu, sirup pohon, atau resin manis yang kaya glukosa dan fruktosa.
Sementara itu, salwa atau burung kecil mengandung protein hewani berkualitas tinggi. Protein berperan penting dalam pertumbuhan, perbaikan jaringan, serta pembentukan enzim dan hormon. Kombinasi manna dan salwa berarti kombinasi antara sumber energi dan sumber protein—dua komponen utama dalam pola makan seimbang.
Jika kita membandingkannya dengan konsep diet seimbang modern , manna wa salwa menggambarkan komposisi pangan ideal. Manna berfungsi sebagai sumber karbohidrat yang mudah dicerna, sedangkan salwa menjadi sumber protein dan lemak sehat. Dalam konteks masyarakat gurun seperti Bani Israil, kombinasi makanan tersebut membantu mereka mempertahankan stamina dan ketahanan tubuh.
Pelajaran Gizi dan Kehidupan dari Manna wa Salwa
Kisah ini juga mengajarkan prinsip penting dalam ilmu gizi dan kehidupan sehari-hari, yaitu keseimbangan dan kemudahan. Allah memberikan manna wa salwa dalam jumlah yang cukup—tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Prinsip ini sejalan dengan konsep gizi modern yang menekankan keseimbangan konsumsi zat gizi. Tubuh membutuhkan energi, protein, vitamin, dan mineral dalam takaran seimbang agar tetap sehat.
Selain itu, manna wa salwa menyampaikan pesan ekologis yang relevan bagi manusia modern. Kedua jenis makanan ini berasal langsung dari alam tanpa melalui proses pengolahan yang rumit. Kisah ini mengingatkan kita bahwa makanan alami memiliki nilai gizi tinggi dan dapat menjaga kesehatan secara optimal. Konsep ini sejalan dengan tren modern seperti Whole Food dan Clean Eating , yang mendorong kita untuk mengonsumsi makanan alami tanpa bahan kimia tambahan.
Tafsir Al-Thabariy memberikan penjelasan mendalam tentang manna wa salwa sebagai karunia Allah yang nyata. Ia menggambarkan keduanya sebagai dua jenis makanan yang memenuhi kebutuhan dasar manusia— manna menyediakan energi, sedangkan salwa menyediakan protein.
Dari sudut pandang ilmu gizi, manna wa salwa mencerminkan prinsip pola makan sehat yang sederhana, alami, dan seimbang. Dari sisi spiritual, kisah ini menanamkan nilai syukur, kasih sayang, dan kepasrahan kepada Allah dalam menerima rezeki.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
