SURAU.CO – Abu Hazim Salamah bin Dinar rahimahullah adalah salah satu tabi’in yang menjadi teladan dalam ilmu, ibadah, dan kezuhudan. Ia seorang imam, hafizh, dan ulama terkemuka di Madinah pada zamannya. Umat mengakui keilmuannya secara luas. Namun, keteguhan hati dan keikhlasannya dalam menjalani kehidupan sederhana membuat namanya harum sepanjang masa.
Suatu hari, Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik mengutus seseorang untuk memanggil Abu Hazim agar datang menemuinya. Abu Hazim menjawab dengan tegas, “Jika dia memiliki keperluan, seharusnya dia datang kepadaku. Aku sendiri tidak membutuhkan sesuatu darinya.”
Ucapan itu menunjukkan bagaimana Abu Hazim menjaga kehormatan ilmunya. Ia menolak menampilkan diri di hadapan penguasa hanya demi urusan dunia. Ia menegakkan prinsip bahwa seorang alim harus menjaga martabatnya. Para ulama menjunjung tinggi kehormatan agama, sedangkan para khalifah pun menghormati mereka sebagai penjaga agama, bukan sebagai pelayan kekuasaan.
Dialog Hikmah dengan Khalifah Sulaiman
Ketika Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik akhirnya datang sendiri ke Madinah, ia meminta untuk bertemu Abu Hazim. Dalam pertemuan itu, sang khalifah bertanya, “Hai Abu Hazim, apakah kamu memiliki harta?”
Abu Hazim menjawab dengan tenang, “Aku memiliki dua harta.”
Khalifah terkejut dan bertanya, “Apa itu?”
Ia menjawab, “Aku ridha terhadap bagian Allah SWT, dan aku tidak berharap pada apa yang dimiliki orang lain.”
Jawaban itu menggugah hati khalifah. Abu Hazim menjelaskan bahwa kekayaan sejati terletak pada rasa cukup dan keridaan kepada Allah, bukan pada banyaknya harta. Ia menilai harta bukan sebagai sumber kebahagiaan, namun sebagai ujian yang dapat menjerumuskan ketika hati terlalu melekat padanya.
Khalifah lalu berkata, “Sebutlah apa yang kamu butuhkan.”
Abu Hazim menjawab penuh keyakinan, “Aku sudah mengajukan kebutuhanku kepada Dzat yang tidak satumakhluk pun mampu menghalangi karunia-Nya. Aku bersyukur atas apa yang Dia beri, dan aku bersabar atas apa yang Dia tahan dariku.”
Ia menambahkan dengan logika iman yang tajam, “Jika Allah menetapkan sesuatu untukku, tidak ada satu pun orang yang mampu menghalanginya. Dan jika Dia tidak menakdirkannya untukku, seluruh dunia tidak akan mampu memberikannya secara khusus.”
Melalui penjelasan ini, Abu Hazim menunjukkan keyakinannya pada takdir Allah. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan tumbuh dari kepercayaan kepada ketetapan Allah, bukan dari usaha mengejar sesuatu yang bukan hak kita.
Menasihati Penguasa dengan Keberanian
Dalam dialog itu, Khalifah meminta, “Hai Abu Hazim, doakan aku agar mendapatkan kebaikan.”
Abu Hazim menjawab dengan berani, “Doaku di hadapanmu tidak akan bermanfaat jika orang-orang yang kau zalimi mendoakan keburukanmu dari jauh. Doa siapa yang lebih cepat Allah kabulkan?”
Perkataan itu membuat Khalifah Sulaiman menangis. Ia menyetujui kebenaran yang keluar dari hati yang bersih. Abu Hazim berbicara tanpa rasa takut dan tanpa pamrih. Ia tidak mencari muka dan tidak khawatir kehilangan kedudukan karena ia hanya berharap pada keridaan Allah.
Pada kesempatan lain, Khalifah bertanya, “Mengapa kita takut mati?”
Abu Hazim menjawab dengan tajam, “Kalian memakmurkan dunia kalian dan merobohkan akhirat kalian. Kalian pun benci pindah dari tempat yang makmur menuju puing-puing yang runtuh.”
Jawabannya menembus siapa pun yang mendengarnya. Ia menggambarkan kondisi manusia yang terlalu mencintai dunia. Ketika seseorang menghiasi dunia dan mengabaikan amal akhirat, ia akan takut meninggalkan dunia karena akhiratnya tampak kosong.
Sahabatnya, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, suatu hari berkata, “Wahai paman, aku bersedih karena aku mencintai dunia.”
Abu Hazim menjawab dengan bijak, “Aku tidak mencela diriku sendiri karena mencintai dunia. Allah memang menanamkan rasa cinta itu ke dalam diri kita. Tetapi aku mencela diriku ketika cinta dunia membuat melanggar larangan Allah dan menjauh dari apa yang Dia sayangi.”
Dengan nasihat itu, Abu Hazim menjelaskan bahwa mencintai dunia bukanlah dosa. Namun, cinta dunia menjadi berbahaya ketika ia membuat seseorang mengabaikan cinta kepada Allah dan berani menentang perintah-Nya.
Petuah Zuhud dan Kebijaksanaan Hidup
Abu Hazim meninggalkan banyak kata bijak yang menjadi mutiara hikmah. Ia pernah berkata, “Semakin berat beban agama dan dunia.” Ketika seseorang menanyakan maksudnya, ia menjawab, “Dalam urusan agama, aku jarang menemukan penolong. Dalam urusan dunia, setiap kali aku mengulurkan tangan, aku melihat orang fajir sudah mendahuluiku.”
Ia juga berkata, “Jika kamu menjaga doa hal, kamu akan mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat. Bersabarlah terhadap sesuatu yang tidak kamu sukai jika Allah meridai hal itu. Dan tahanlah dirimu dari sesuatu yang kamu sukai tetapi Allah membencinya.”
Dalam nasehat lain, ia menegaskan, “Orang yang mudah bosan tidak akan memiliki teman, orang yang hasad tidak akan pernah tenang, dan orang yang berpikir tentang akibat dari suatu perbuatan akan memperbaiki akalnya.”
Kemudian, Ia pun mengingatkan, “Siapa pun yang memperbaiki rumah dengan Allah, Allah akan memperbaiki keadaannya di hadapan manusia. Tetapi siapa pun yang merusak rumah dengan Allah, Allah akan membuat buruk mata manusia.”
Abu Hazim Salamah bin Dinar menunjukkan bahwa kehormatan seorang hamba bergantung pada ketaatannya kepada Allah, bukan pada jabatan, harta, atau kekuasaan. Ia mengajarkan manusia untuk bergantung hanya kepada Allah, berbicara jujur di hadapan siapa pun, dan menjaga hati agar tidak diperbudak dunia.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
