Khazanah
Beranda » Berita » Abu Sufyan ibn al-Harits : Kesetiaan yang Teruji di Hunain

Abu Sufyan ibn al-Harits : Kesetiaan yang Teruji di Hunain

Ilustrasi pasukan muslim menuju medan perang.
Ilustrasi pasukan muslim menuju medan perang.

SURAU.CO-Abu Sufyan ibn al-Harits adalah seorang sahabat Nabi dari suku Quraisy keturunan Bani Hasyim. Ayahnya adalah al-Harits ibn Abdul Muthalib, sehingga ia adalah anak paman Rasulullah. Ia juga memiliki ibu susuan yang sama dengan Rasulullah Saw., yaitu Halimah al-Sa‘diyah. Ibu kandungnya adalah Ghaziyah bint Qais. Sejak anak-anak, Nabi Saw. dan Abu Sufyan hidup dalam kebahagiaan dan liputan kasih sayang. Keduanya tidak pernah bermusuhan dan berselisih hingga matahari Islam terbit. Saat itulah, Nabi Saw. terpisah dari saudaranya itu. Abu Sufyan dikenal sebagai penyair ulung yang terbiasa membuat syair-syair ejekan yang memicu permusuhan dan kemarahan.

Serangan Syair dan Para Pembela

Dengan kecakapannya menggubah syair, Abu Sufyan sering kali menyerang dan menghina saudaranya, Muhammad Saw., dengan syair-syair bernada celaan dan kecaman. Namun, Allah telah mengokohkan kekuatan Rasulullah Saw. dan memberinya tiga penyair ulung untuk melawan dan membalas serangan para penyair Quraisy. Ketiga penyair itu adalah Ka‘b ibn Malik, Hassan ibn Tsabit, dan Abdullah ibn Ruwahah.

Ada banyak penyair musyrik yang sering kali menyerang dan mencela Nabi Saw. dengan gubahan kata-kata mereka. Di antara yang paling gigih dan paling tajam kata-katanya meliputi Abu Sufyan ibn al-Harits, Abdullah ibn al-Za‘bari, Amr ibn al-Ash, dan Dhirar ibn al-Khattab. Mereka terus menyerang dan menghina Nabi Saw. dengan syair-syair mereka, sehingga Allah memberi petunjuk kepada mereka dan menyelamatkan mereka dari kesesatan. Mereka pun beralih dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang.

Ancaman Kelaparan dan Syahadat

Lalu, bagaimanakah kisah Abu Sufyan ibn al-Harits menemukan Islam? Inilah yang akan kami paparkan berdasarkan penuturan Ibn Ishaq yang dicatat oleh Ibn Hisyam.

Ibn Ishaq menuturkan bahwa suatu hari Abu Sufyan ibn al-Harits ibn Abdul Muthalib dan Abdullah ibn Abu Umayyah ibn al-Mughirah bermaksud menemui Nabi Saw. di Naqil al-Iqab, daerah antara Makkah dan Madinah. Ummu Salamah mengabarkan kedatangan mereka kepada Nabi Saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, anak paman dan anak bibi yang juga iparmu ingin bertemu denganmu.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Nabi Saw. menjawab, “Aku tidak punya urusan dengan mereka berdua. Anak pamanku itu adalah orang yang merusak nama baikku, sementara anak bibiku dan iparku adalah orang yang telah mengatakan keburukan sewaktu di Makkah.”

Ummu Salamah menyampaikan penolakan Nabi Saw. kepada mereka. Abu Sufyan, yang saat itu membawa seorang anak laki-laki, berkata, “Demi Allah, kalau aku tidak diizinkan, akan kusakiti anak ini, kemudian kami berdua akan pergi menyusuri pelosok bumi hingga kami mati karena kehausan dan kelaparan.”

Ketika ucapannya itu sampai ke telinga Rasulullah Saw., beliau memperkenankan keduanya menemui beliau, dan mereka pun mengucapkan syahadat.

Kesetiaan di Perang Hunain

Rasulullah Saw. telah melunakkan gelegak kebencian Abu Sufyan ibn al-Harits. Setelah ia bersyahadat, Rasulullah Saw. menerimanya, memaafkannya, dan ia menjadi muslim yang baik.

Bersama Rasulullah Saw., Abu Sufyan ikut dalam Futuh Makkah. Ia juga ikut dalam ekspedisi Hunain dan ia berperang dengan semangat. Dalam peperangan itu ia terkena sayatan pedang. Ketika itu, al-Abbas, paman Rasulullah, memegang tali kendali bagal Rasulullah dan berkata, “Ridailah Abu Sufyan, wahai Rasulullah.”

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Rasulullah Saw. menjawab, “Aku telah meridainya, Allah telah mengampuni keburukan yang pernah ia lakukan kepadaku.”

Mendengar jawaban Rasulullah Saw. itu, Abu Sufyan mendekatkan kepalanya kepada kaki Rasulullah yang duduk di atas tunggangannya, kemudian menciuminya. Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai saudaraku, demi usiaku, bangkit, dan berperanglah.”

Allah memberikan kemenangan kepada Rasulullah Saw. dan kaum muslimin. Siapa pun yang didukung dan ditolong oleh Allah, pasti akan mengibarkan panji kemenangan. Sebaliknya, siapa pun yang disesatkan oleh Allah, niscaya benderanya akan jatuh terpuruk.

Ujian di Lembah Hunain

Dalam Musnad-rūyāh menuturkan jalannya peperangan di Hunain. Pasukan muslimin yang bergerak ke Hunain berjumlah dua belas ribu orang. Sepuluh ribu di antaranya adalah pasukan dari Madinah dan dua ribu lainnya adalah pasukan Makkah—orang-orang yang baru masuk Islam setelah Futuh Makkah.

Setelah semuanya siaga, Rasulullah Saw. memberi isyarat kepada Khalid dan pasukan kavaleri Bani Salim untuk memulai serangan. Mereka memacu hewan tunggangannya masing-masing dengan semangat. Teriakan mereka membahana memenuhi cakrawala; dada mereka dipenuhi keyakinan bahwa kemenangan akan segera tiba.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Gerakan pasukan kavaleri itu diikuti pasukan infanteri yang maju berderap tanpa gentar sedikit pun. Baris demi baris mereka melangkah ke arah musuh. Mereka sendiri merasa takjub dan kagum menyaksikan kegempitaan dan semangat pasukan. Namun, rasa bangga dan percaya diri yang berlebihan membuat mereka lengah dan melupakan perintah pemimpin, yaitu agar mereka menghindari daerah lembah yang luas dan terbuka. Rasul Saw. telah berpesan agar mereka jangan bergerak hingga benar-benar menguasai medan dan terlindung dari serangan musuh.

Mendapat serangan tak terduga

Apa yang Rasulullah khawatirkan benar-benar terjadi. Ketika pasukannya membanggakan besarnya jumlah pasukan, serangan musuh datang mengejutkan. Pemimpin musuh memerintahkan pasukan pemanah untuk menghujani pasukan muslimin yang berada di medan terbuka. Langit dipenuhi anak panah. Pasukan muslimin serabutan berlarian ke sana kemari mencari tempat berlindung dari hujan anak panah. Saat anak panah berhenti, tiba-tiba batu-batu besar beterbangan ke arah mereka dilontarkan ketapel-ketapel musuh. Barisan pasukan muslimin benar-benar porak-poranda. Lalu dari berbagai arah yang berbeda muncul pasukan musuh mengepung. Kuda dan unta yang ditunggangi pasukan muslimin meringkik ketakutan.

Pasukan musuh yang muncul tiba-tiba dari celah-celah lembah terus menyerang tanpa henti hingga semua pasukan infanteri Muhammad terdesak hebat dan berlari mengikuti pasukan kavaleri.

Rasulullah Saw. terkejut. Dari dua belas ribu pasukannya, yang masih tegak berdiri di sisinya hanya beberapa muslim generasi pertama, seperti Abu Bakr, Umar, dan Usamah ibn Zaid. Al-Abbas memegang tali kendali bagal yang ditunggangi Rasulullah Saw.. Beberapa anggota keluarga Rasul bertahan mendampingi beliau, termasuk Ali ibn Abu Thalib, Abu Sufyan ibn al-Harits, al-Fadhl ibn al-Abbas, Rabiah ibn al-Harits ibn Abdul Muthalib, dan beberapa yang lainnya. Mereka bertahan di sisi Rasulullah Saw. hingga sebagian orang kembali bergabung dengan mereka. Saat itulah Rasulullah Saw. mengetahui kesetiaan Abu Sufyan dan menyatakan bahwa Abu Sufyan kelak masuk surga. Rasulullah Saw. bersabda, “Aku berharap ia menjadi pengganti Hamzah.”

Wafat dan Kemuliaan

Pada tahun ke-20 Hijriah, Abu Sufyan berhaji dan mencukur rambutnya. Namun, ada benjolan di kepalanya, dan ia memotongnya. Tindakannya itu menyebabkan infeksi di kepala yang membuatnya jatuh sakit selama beberapa hari. Abu Sufyan wafat sepulangnya dari ibadah haji. Umar ibn Khattab termasuk sahabat yang ikut menyalatinya.

Abu Sufyan termasuk sahabat yang memiliki kemuliaan. Ada yang mengatakan, ketika maut hendak menjemput, Abu Sufyan sempat berpesan kepada istri dan anak-anaknya,

“Kalian tak usah menangisiku, karena sejak aku masuk Islam, aku adalah orang yang bersih dari dosa.”

Ada yang mengatakan bahwa Abu Sufyan menggali kuburnya sendiri tiga hari sebelum wafat.(St.Diyar)

Referensi:Muhammad Raji Hasan Kinas, Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, 2012


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement