Kisah
Beranda » Berita » Kisah Masuk Islamnya Ali bin Abi Thalib

Kisah Masuk Islamnya Ali bin Abi Thalib

Kisah Masuk Islamnya Ali bin Abi Thalib
Ilustrasi (Foto: Google)

SURAU.CO – Ali bin Abi Thalib merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang memiliki kedudukan sangat. Ia bukan hanya sepupu Rasulullah, tetapi juga menantu beliau dan termasuk ke dalam golongan Assabiqunal Awwalun—yakni orang-orang pertama yang memeluk Islam.

Nama lengkapnya adalah Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf, berasal dari kabilah Quraisy yang terhormat. Ali lahir di Makkah pada tanggal 13 Rajab, 33 tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sejak kecil, ia tumbuh di bawah asuhan langsung Rasulullah. Ketika Makkah mengalami masa paceklik, Nabi yang kala itu belum diangkat menjadi rasul meminta izin kepada pamannya, Abu Thalib, untuk merawat Ali agar meringankan beban keluarganya.

Sejak saat itu, Ali tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang, keteladanan, dan nilai-nilai moral yang tinggi. Ia menyaksikan langsung kejujuran, kelembutan, dan kebijaksanaan Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan ini membuat Ali begitu dekat dan percaya kepada Nabi SAW bahkan sebelum beliau menerima wahyu.

Momen Pertama Melihat Rasulullah Salat

Mengutip dari Biografi Ali bin Abi Thalib karya Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi, kisah keislaman Ali bermula setelah Sayyidah Khadijah RA memeluk Islam. Suatu hari, Ali masuk ke rumah Rasulullah dan mendapati beliau sedang melaksanakan salat bersama Khadijah. Pemandangan itu tentu mengejutkannya, karena ritual tersebut belum pernah dilihatnya sebelumnya di kalangan Quraisy.

Dengan rasa ingin tahu, Ali bertanya, “Ini apa, wahai Muhammad?”

Mengenal Dunia agar Tidak Tertipu olehnya: Tafsir Hikmah Al-Hikam

Rasulullah dengan lembut menjawab, “Ini adalah agama Allah, agama yang dipilih oleh-Nya dengan kehendak-Nya. Dengannya, Dia mengutus aku sebagai rasul-Nya. Aku ajak engkau, wahai Ali, untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan untuk menyembah-Nya, serta mengingkari Latta dan Uzza.”

Mendengar ajakan itu, Ali tidak langsung memberikan jawaban. Ia berkata, “Ini adalah perkara yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Namun aku bukanlah orang yang memiliki keputusan atas perkaraku sebelum berbicara kepada Abu Thalib.”

Rasulullah SAW, yang saat itu masih berdakwah secara sembunyi-sembunyi, tidak menghendaki rahasianya tersebar sebelum ada perintah Allah. Maka beliau berkata kepada Ali, “Wahai Ali, jika engkau tidak berkenan masuk Islam, maka jagalah rahasia ini.”

Ali pun pulang dengan hati yang penuh rasa penasaran dan keingintahuan yang mendalam. Malam itu ia merenung. Di dalam hatinya bergolak berbagai pertanyaan: siapakah Allah yang disembah Muhammad, mengapa beliau menolak Latta dan Uzza yang disembah banyak orang, dan apa makna ibadah yang baru saja ia lihat?

Hidayah Datang di Malam Sunyi

Malam itu menjadi malam yang menentukan bagi Ali bin Abi Thalib. Setelah merenung panjang, cahaya hidayah menyentuh hatinya. Ia mulai memahami bahwa kebenaran ada pada ajaran yang dibawa oleh sepupunya, Muhammad SAW. Ia menyadari bahwa berhala-berhala yang disembah kaumnya tidak pernah memberi manfaat atau mudarat.

Panjang Umur Belum Tentu Bermakna: Hikmah dalam Al-Hikam tentang Kualitas Usia

Keesokan paginya, Ali datang kepada Rasulullah dengan tekad yang bulat. Ia berkata, “Apa yang engkau perintahkan kepadaku, wahai Muhammad?”

Rasulullah menjawab, “Kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, tidak menyekutukan-Nya, dan engkau mengingkari Latta dan Uzza serta segala bentuk penentangan kepada Allah.”

Dengan penuh keyakinan, Ali pun mengucapkan dua kalimat syahadat. Sejak saat itu, ia resmi menjadi salah satu Muslim pertama dalam sejarah Islam.

Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai usia Ali saat masuk Islam. Menurut Barisan Pemuda Pembela Nabi SAW karya Imron Mustofa, sebagian menyebut ia berusia tujuh tahun, sebagian delapan tahun, dan ada pula yang menyebut sepuluh tahun. Namun dari berbagai riwayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Ali memeluk Islam pada usia yang sangat muda.

Meskipun masih anak-anak, keimanannya begitu kuat. Ia tidak gentar menghadapi tekanan masyarakat Quraisy yang menentang keras dakwah Nabi SAW. Ia ikut bersama Rasulullah dalam masa-masa sulit, mulai dari dakwah sembunyi-sembunyi hingga terbukanya dakwah secara terang-terangan.

Bahagia di Tengah Luka: Rahasia Spiritual Dzikir dari Al-Hikam

Pengorbanan dan Rasa Terima Kasih

Keputusan Ali untuk memeluk Islam di usia muda bukan hanya karena keyakinan spiritual, tetapi juga merupakan bentuk rasa terima kasih kepada Rasulullah yang telah merawat dan mendidiknya dengan penuh kasih sayang. Ia tahu bahwa sosok yang membesarkannya bukanlah manusia biasa, melainkan utusan Allah yang membawa cahaya kebenaran.

Ali juga menunjukkan kesetiaan yang luar biasa sepanjang hidupnya. Ia menjadi pembela utama Rasulullah dalam setiap peperangan, menanggung risiko besar demi melindungi Islam dan kaum Muslimin. Dalam Perang Badar, Uhud, dan Khandaq, keberaniannya menjadi legenda. Bahkan setelah wafatnya Nabi SAW, Ali tetap teguh menjaga persatuan umat.

Kisah masuk Islamnya Ali bin Abi Thalib menunjukkan bahwa hidayah bisa datang melalui pengamatan yang sederhana, tetapi dengan hati yang tulus mencari kebenaran. Saat melihat Rasulullah dan Khadijah salat, Ali tidak menolak atau mencemooh, melainkan bertanya dengan rasa ingin tahu yang jujur. Dari situlah Allah membuka hatinya untuk menerima cahaya Islam.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement