Khazanah
Beranda » Berita » Al-Barra ibn Malik: Sahabat yang Merindukan Kesyahidan

Al-Barra ibn Malik: Sahabat yang Merindukan Kesyahidan

Ilustrasi prajurit yang menghunus pedang menuju medan jihad.
Ilustrasi prajurit yang menghunus pedang menuju medan jihad.

SURAU.CO-Al-Barra ibn Malik adalah sahabat Nabi dari kalangan Anshar, berasal dari kabilah Khazraj, keturunan Bani Najjar. Ayahnya bernama Malik ibn al-Nadhar, yang menikah dengan Sahlah binti Malik, yang masyhur dengan panggilan Ummu Sulaim. Pasangan Sahlah dan Malik dikaruniai dua orang anak, yaitu Anas dan al-Barra.

Ummu Sulaim memeluk Islam dan mengikuti ajaran Rasulullah Saw. ketika suaminya, Malik, sedang merantau ke luar kota. Saat pulang ke Makkah, Malik mendengar bahwa istrinya telah memeluk Islam dan menjadi pengikut Muhammad. Maka, ia bergegas pulang dan menyuruh istrinya agar kembali ke dalam kemusyrikan. Tetapi, Ummu Sulaim menolak, sehingga Malik ibn al-Nadhar meninggalkan istri dan dua orang putranya. Ia kemudian pergi ke Syam hingga ia mati dan dikuburkan di sana.

Bagi Ummu Sulaim, perpisahan dengan Malik ibn al-Nadhar bukanlah masalah besar. Keyakinan terhadap kebenaran agama yang baru dianutnya membuatnya merasa lebih yakin dan tenang menjalani kehidupan. Ummu Sulaim mencurahkan segenap perhatiannya untuk mendidik kedua putranya agar mereka dapat menjalani kehidupan sesuai dengan ajaran agama. Ia berusaha menanamkan dalam jiwa mereka nilai-nilai agama yang suci dan mulia.

Teladan Pamannya dan Keinginan Mati Syahid

Anas ibn Malik memiliki nama yang sama dengan nama pamannya, Anas ibn al-Nadhar, yang syahid dalam Perang Uhud. Dalam perang itu, Anas ibn al-Nadhar tampil sebagai kesatria yang gagah berani, tidak mengenal takut sedikit pun, dan berjuang hingga titik darah penghabisan.

Dalam perang itu, ketika banyak kaum muslimin melarikan diri dari medan perang, Anas ibn al-Nadhar justru terus merangsek menyerang musuh. Saat itulah, beberapa kejap sebelum roboh menjadi syahid, Anas bertemu dengan Sa‘d ibn Muaz dan berkata kepadanya,

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

“Hai Sa‘d ibn Muaz, demi Allah yang menciptakan al-Nadhar, aku sungguh mencium wangi surga dari bawah bukit Uhud.” Ucapannya ternyata benar, ia mencium harum surga dan segera menjemput kenikmatan yang abadi itu.

Sementara, saudara Anas yang bernama al-Barra, berhasrat mengikuti jejak langkah Malik ibn al-Nadhar. Keperwiraan sang paman menggugah semangat al-Barra, sehingga ia berkeinginan besar menjadi pejuang dan syahid di medan perang. Jika pamannya itu mencintai kesyahidan, al-Barra merindukannya sampai ia jatuh sakit.

Doa untuk Pulih dan Jihad

Ketika teman dan kerabat menjenguk al-Barra, mereka semua menunjukkan rasa khawatir karena melihat si sakit begitu payah. Mereka menganggap al-Barra menderita sakit yang tak terobati dan tinggal menunggu ajal. Namun, al-Barra sendiri tidak pernah berputus asa. Ia mengetahui kekhawatiran orang yang menjenguknya dan ia dapat membaca apa yang mereka pikirkan. Al-Barra memandangi wajah mereka satu per satu, kemudian dengan penuh keyakinan kepada Tuhannya dan pikiran yang dipandu cahaya-Nya, al-Barra berkata,

“Aku tahu, kalian khawatir aku akan mati di atas ranjangku ini. Tenanglah, Allah tidak mengharamkanku dari kesyahidan yang kurencanakan.”

Setiap saat tanpa pernah bosan, al-Barra berdoa memohon kepada Allah agar keadaannya segera dipulihkan seperti dahulu, bahkan mudah-mudahan menjadi lebih kuat, lebih bugar, dan lebih tangkas. Tidak lama kemudian, sedikit demi sedikit kesehatan dan kekuatan al-Barra pulih seperti sediakala, dan ia dapat melakukan berbagai aktivitas bersama kaum muslimin lainnya.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Tidak Pernah Absen Berjihad

Karena mengharapkan kesyahidan di medan perang, al-Barra tidak pernah absen mengikuti semua peperangan yang dipimpin oleh Rasulullah Saw., kecuali Perang Badar. Sebagaimana pamannya dan sebagian kaum muslimin, ia tidak ikut Perang Badar karena mereka menyangka bahwa keberangkatan Rasulullah Saw. dan kaum muslimin hanya untuk mencegat kafilah dagang, bukan untuk berperang. Meskipun demikian, Rasulullah Saw. sama sekali tidak marah atau membenci siapa pun yang tidak ikut berperang.

Akhirnya, kesempatan al-Barra untuk mewujudkan cita-citanya datang juga, yaitu berperang bersama Nabi Saw. dan meraih kesyahidan. Sejak berangkat hingga berada di medan laga, ia tak merasakan gentar sedikit pun. Bahkan, ketika pasukan Muslim terdesak, tak terlintas sedikit pun dalam pikirannya keinginan untuk mundur dari medan perang. Ia kokoh di tempatnya memerangi kaum musyrik yang merangsek. Bagaimana mungkin ia melarikan diri, sementara keinginan mati syahid selalu menghiasi pikirannya?

Ia telah bertekad untuk terus berperang hingga meraih kesyahidan. Namun, Allah berkehendak lain, cita-citanya mendapat kesyahidan tidak terwujud saat itu. Ia dan kaum muslimin lain pulang dengan selamat ke Madinah. Sejak Perang Uhud, ia tidak pernah absen dari berbagai peperangan bersama Nabi Saw.

Ketika Rasulullah Saw. wafat, al-Barra dan seluruh kaum muslimin berduka. Seluruh Madinah seakan diliputi mega mendung karena ujian hebat yang dirasakan kaum muslimin. Namun, seperti itulah kehendak dan ketentuan Allah, tak ada seorang pun yang dapat menolak atau mengubahnya.(St.Diyar)

Referensi:Muhammad Raji Hasan Kinas, Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, 2012

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement